mayadefitri

Tuesday, July 11, 2006

Cerita Hari Ini, sekadar cerita

Cerita hari ini....? Habis nganter Opi pulang....stl kemaren aku nganter dy psikotes. Lumayan juga.....tes tiga jam lebih. Semoga aja keterima. Oiya...karena waktu dy terbatas juga...n duit gw terbatas juga (heheh) maka sorenya....liat2x Paris...sambil aku lewatin di Jl Imogiri. Mampir bentar ke t4 Heri...tp dianya gak ada..bp ibunya juga gak ada. Yg ada cuman seorg cewek...eh tyt Tono udah nikah...malahan lebih dulu drpd Tono. Skrg istri Tono itulagi hamil muda. Mas Yunusnya kerja di India.
Rumah Heri sebagian besar ambruk...udah buat dr "gedek" di bekas ruang tamunya dulu. Katanya...rimah nertrua Heri, tempat Heri tinggal, malah ambruk 100%, bahkan anak Heri yg baru berumur bbrp bulan juga lecet2x ama ibunya juga. Waktu itu Iis lagi nyci, katanya.
Lewat daerah Sriharjo, termasuk kampungnya Heri memang sangat parah...smape2x aku sdr juga miris.
Ya...lama2x..bisa2x..gw hiasa dg kesedihan deh.
Ok...itu dulu ya ceritanya...kapan2x lanjut lagi

Monday, July 10, 2006

JAYADI, cerita tg seorg teman

Baiklah, aku perkenalkan seorang teman yang pernah agak istimewa. Perihal kenapa….hanya sedikit istimewa, lihatlah penuturanku berikut.
Aku mengenalnya awal2x th 2005. Hingga ketika aku BT bgt, aku pun ke sana. Tragedi dalam hidupku itu…memang membawaku smape ke sana. Tragedi…kenapa aku mengatakan demikian..karena itulah kukira masalah bertumpuk-tumpuk yang paling berat kurasakan dalam hidupku. Maka kuingin pencerahan dan menerabas kebuntuan itu.
Yup, benar, aku mendapatkan semangat hidupku kembali. Tapi, dari situlah aku jatuh ke laki-laki itu. Entah sengaja ato tidak, aku seperti menjadi selingkuhan dia. Tiba2x aku seperti berada pada posisi itu, orang lain pasti akan mengatakan demikian meski aku menolak anggapan itu. Akulebih tau apa yang aku mau.
Dari awal, aku pun menginginkan ia sebagai teman biasa. Aku ingin mengenal dia apa adanya, berikut orang-orang yang ada di sekitarnya. Pacar dia, keluarga dia, dsb. Biasa2x saja. Tapi, aku terproteksi untuk itu!
Akhirnya, aku pun mengetahui selingkuhan dia maupun istrinya. Hach! Biasa saja, karena akumerasa tak punya nafsu untuk macari dia ato memiliki dia. Akhirnya, semakin ke sini, aku semakin tau siapa dia. Bla-bla-bla. Maaf, aku tak bisa lebih jauh menjaga persahabatan jika engkau mendasarkan diri pada niat tidak baik. Sekali-dua kali difitnah, it’s OK tapi jika kau pun tak berubah, maafkan saya, I can not.
We are not equal in our friendship, I told U. selama ini aku dieem( tak ingin berkeberatan) aja untuk kau suruh2x dateng, tapi kapan kau punya niat untuk mengenalku dan datang menemuiku? Sesekali kupancing kau untuk “keluar kandang” tapi apa pernah bisa? Aku hanya ingin kau melakukan sesuatu atas kesadaran dan kerelaanmu. Aku gak mau menuntut yang banyak2x, kan?
Oiya, aku sempat buka catatan tentangmu, yang aku buat menjelang datangnya tahun 2006, I read: “Jayadi, anak Tawangmangu, yang meski aku tau bahwa kamu “solopok”, tapi kita tetap bisa berteman baik. Kamupasti bersesia membantukujika kamu mampu. Semoga kita tetap bisa bekerjasama dalam kebaikan yach!” Yup…begitulah kata-kata yang aku buat waktu itu.
Niatku di awal….tentang pengen naik gunung bareng, pengen foto kopi buletinmu, liat-liat ular….itu hanya suatu harapan yang tersimpan…..dibuka kapan2xnya gak tau mo kapan sehingga lum kesampaian. Setelah jadi seperti ini, apa masih bisa, ya?
Kukatakan secara terbuka, aku males dan tak ingin ada pamrih yang aneh2x dalam sebuah pertemanan atopun persahabatan. Males dg kebohongan2x. I just want T-U-L-U-S, honest. Tapi, setulus2x seseorang, setulus2x gw, akhirnya gw butuh yang namanya keseimbangan timbal-balik. Gw gak bisa terus memelihara makan hati gw. It’s not necessary to think that U’re great at Maya’s eyes. I want to know U as U are, not as the image that U want to be.

MR KUIP alias MR KELAP-KELIP

MR KUIP alias MR KELAP-KELIP
I intriduced by my friend to him, Mr. Jan van der Kuip. I prefer to call him as Mr. Kuip or Mr. Kelap-kalip than other nick name. So far, we just make an interaction by email.
Yup…it seems funny. None call U as Mr.Kuip or Mr. Kalap-kelip except Maya. Hearing his name, it’s make me remember to “kunang-kunang” that allways shine in the night, kelap-kelip. It’s always give us a bright situation, a little bright but it’s so romantic condition. They give a hope in the dark, in the bad condition.
Yup, as the common, Europe man are romantic person. He can talk about the star in the sky, about love n live, how to sign out from the complicated things. All of things he can speaks, make me fly in my imagination whether I live just at the earth.
But, I can not look after the relation. He is not consistant (is it right?). Now he say A, then B, C, D, and I don’t know the future. I dissappointed. I can not take. I want to know the truth. I can not believe until I know the fact, by myself. I respect to averyone due to the fact that I can know by my heart.
So…I will see the kunang-kunang again…that give me a hope in the dark.

METAMORFOSIS ARISAN DALAM DUNIA PERBANKAN, tulisan gw

METAMORFOSIS ARISAN DALAM DUNIA PERBANKAN
(Studi Kasus dari SAE di BPR BDE)
Oleh: Maya Fitrianingsih

Anda masih ingat film Arisan? Apa yang Anda ingat dari film garapan Nia Iskandar di Nata ini?
Ya, dari judulnya saja dapat dipastikan bahwa di dalamnya bercerita tentang arisan, kegiatan yang ada di sekitar kita. Namun, arisan disini tidak lagi konvensional sebagai ajang berkumpul dan mengobrol. Arisan telah berkembang, bermetamorfosis menjadi gaya hidup masyarakat kosmopolitan.
Nah, bicara tentang metamorfosis, ternyata metode ini dapat pula diadaptasikan pada dunia perbankan. Dari sinilah, dapat kita tilik bagaimana dan sejauh mana arisan mampu menancapkan citra sebuah bank.

Arisan, Dari Waktu Ke Waktu
Kurang diketahui bagaimana sejarah munculnya arisan pada masyarakat kita. Beberapa dekade lalu, arisan identik dengan ibu-ibu yang berkumpul, menyetorkan uang dalam jumlah tertentu. Kemudian salah satu diantaranya mengocok sebuah botol kecil berisi nomor undian. Begitu tau nomor siapa yang berhak membawa total setoran saat itu, sontak teriring dengan sorakan dan celotehan.
Pada saat sekarang, boleh jadi arisan tak melulu untuk berkumpul dan membicarakan sesuatu yang berhubungan dengan ikatan kepentingan antar peserta. Mereka bisa memodifikasi momen itu secara kreatif. Arisan bisa diisi dengan pengajian, reuni, grand opening tempat usaha baru, pesta atau perhelatan lainnya. Materi undian bisa berupa uang, barang atau jasa tertentu.
Bagi kalangan jetset, tempat arisan bisa di mal, hotel, restoran, villa mewah, bahkan kapal pesiar. Lokasinya pun tak tanggung-tanggung, bisa sambil berlibur di pulau atau negara tertentu. Bagi mereka yang “beredar di atas awan” seperti ini, tentu anggotanya eksklusif. karena tujuan utamanya bukan lagi sekadar uang.
Jika biasanya kegiatan arisan didasarkan pada ikatan primordial semacam hubungan kekerabatan atau kedaerahan maka jelas jika arisan itu dimaksudkanm untuk tujuan sosial dan mempererat komunikasi. Unsur-unsur ekonomi hanya menyertai motif sosialnya. Uang setoran dipakai sebagai mekanisme agar semua anggota hadir. Kini, motif ekonomi dan sosial tak sekadar diterjemahkan secara dangkal tetapi merambah peran sebagai wahana mencapau kepentingan-kepentingan lebih lanjut seperti memperluas jaringan, mempermudah koneksi, sosialisasi usaha atau keahlian. Bahkan, boleh jadi pula sekadar untuk meningkatkan gengsi dan image eksklusif para anggotanya.
Semetara itu, media arisan pun bisa melalui korespondensi surat-menyurat, e-mail dan sebagainya. Multi Level Marketing (MLM) dan arisan berantai bisa dijadikan sebagai contoh.
Kini, arisan tidak identik dengan ibu-ibu yang “kurang kerjaan” dengan berkumpul adan bergosip, namun telah menjadi tujuan ekonomi untuk menginvestasikan uang, sarana memperlancar bisnis, atau sekadar menuruti obsesi gengsi.

Arisan Dalam Dunia Perbankan
Metode arisan pun telah diadaptasikan oleh beberapa bank sebagai salah satu bentuk produk atau layanannya. Tentu saja hal ini tidak lepas dari hakikat bank sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sebagai contoh, Bank Perkreditan Rakyat Bhakti daya eknonomi (BPR BDE) yang menghimpun dana masyarakat dengan sistem seperti arisan lewat produknya, SAE (Simpanan Arisan Ekonomi).
Tiap satu group yang terdiri dari 250 peserta, semisal dengan setoran Rp.50.000,- , arisan dilaksanakan dalam jangka waktu 36 bulan. Penarikan undian dilaksanakan setiap bulan dan peserta yang mendapatkan nomor undiannya akan mendapat sejumlah uang yang telah disetornya ditambah bonus yang angka nominalnya tetap, yaitu bonus Rp.750.000,-. Kemudian, peserta yang nomornya telah keluar ini dinyatakan gugur dan tidak berkewajiban untuk setor lagi.
Dengan sistem seperti ini, otomatis peserta yang mendapatkan undian di masa-masa awal pengundian, tentu lebih untung. Namun, ia tidak berhak untuk mengikuti undian selingan selingan yang diadakan tiap tiga bulan sekali dengan hadiah sejumlah uang. Ia juga tidak berhak mengikuti undian doorprice yang bisa berujud barang-barang elektronik, bahkan sepeda motor.
Jika dibandingkan dengan maraknya berbagai kuis yang diselenggarakan lewat media radio atau televisi, tentu peluang mendapatkan keuntungan lewat arisan seperti ini akan lebih besar dibanding dengan spekulasi ketika mengikuti kuis-kuis oleh operator telepon . Fenomena undian sms (short message service) pada ajang pencarian bakat (semisal AFI, KDI, Indonesian Idol dan sebagainya) yang mampu memprovokasi masyarakat untuk mengirim sms sebayak-banyaknya, telah membawa keuntungan yang fantastis bagi operator. Boleh jadi, iming-iming hadiah merupakan motivasi bagi sebagian masyarakat untuk konsumtif mengeluarkan pulsa. Artinya, hadiah merupakan satu motif yang menggairahkan seseorang untuk melakukan sesuatu, apalagi jika keuntungannya lebih rasional dan lebih besar peluangnya.
Bagi bank yang menyelenggarakan simpanan dengan sistem arisan seperti ini, berarti menghimpun dana dari masyarakat dalam jumlah yang dapat dikalkulasikan setiap bulan atau periodenya. Dana tersebut akan diputar untuk masyarakat lain yang menggunakan kredit. Bagi BPR, tentu saja sasarannya adalah masyarakat menengah ke bawah yang ada di sekitarnya. Artinya, sebagaimana prinsip kegotongroyongan dalam arisan, bank dan nasabah pun sama-sama untung.
Hingga generasi ke delapan, tahun 2005, yang disebut SAE MERAPI di BPR BDE tercatat bahwa lebih dari 10.000 orang telah menjadi peserta arisan SAE.
Dalam sistem arisan seperti ini, peserta arisan yang mendapatkan undian di awal periode, boleh diartikan mendapatkan bonus lebih cepat dari jumlah komulatif setoran yang relatif sedikit. Dengan demikian, ia berpeluang mengembangkan dulu uang yang telah diperolehnya.
Arisan juga bermanfaat bagi mereka yang tergolong susah menabung. Mau tak mau, ia “dipaksa” mengatur dan menyisihkan uang tiap periode tertentu. Bagi bank, produk terobosan seperti ini akan lebih mendorong masyarakat untuk mau berhubungan dengan bank. Tak bisa dipungkiri bahwa pada kenyataannya masih banyak masyarakat yang enggan untuk berurusan dengan bank.
Tak kalah penting adalah kesempatan bank untuk melakukan sosialisasi diri , memasarkan produk dan mendekatkan hubungan emosional dengan nasabah. Momen penarikan undian tiap bulannya merupakan kesempatan yang baik untuk menggali informasi dari pangsa pasar, yakni untuk mengetahui apa kemauan dan kebutuhan mereka. Yup, dari resep sederhana sistem arisan ini, terbetik manfaat penting arisan: silaturahmi dan komunikasi. Bukankah bagi bank, nasabah adalah anggota keluarga? Dari keakraban itu, selanjutnya, meminjam bahasa gaul para remaja, so what gitu loh?Bank akan tahu langkah apa yang akan diambilnya. Metamorfosis arisan yang diterapkan pasda dunia perbankan seperti ini memungkinkan dilahirkannya produk dan layanan lain yang lebih inovatif dan mengena. Pada akhirnya manfaatnya akan bermuara pada fungsi bank sebagai intermediasi keuangan. Bank mendapatkan untung, masyarakat pun berkesempatan untuk meningkatkan pertumbuhan usahanya. 

Catatan: tulisan tersebut aku buat akhir Maret 2006, mo diikutin ke lomba yg diadakan bank itu, tp …emang aku gak yakin, heheh. Tau gak……masukinnya aja hari terakhir…setelah jam kantor, lagi! Nyrepek bgt. Anyway…mungkin itu sekadar apologi aja…tp memang begitu. Yang jelas…arisannya macam itu memang aku pikir menguntungkan loh…kalo gak ada lomba itu mungkin aku lum tau ada sistem kayak gitu. So…….aku promosiin deh arisan macam itu….di Bank BDE Pakem yaaa. Katanya…memang ada bbrp bank lain yg sudah memakai sistem spt itu, tapi sejauh ini aku lum tau bank mana aja yg ada sistem macam ini. So….buruan deh!

Sunday, July 09, 2006

EKSEKUSI, sebuah cerpen

EKSEKUSI
Oleh: Maya de Fitri

Wanita dijajah pria sejak dulu, dijadikan perhiasan sangkar madu, bla-bla-bla. Aku sangat tak suka kalinat itu. Namun justru dari situlah aku jadi hafal syair itu.
Kurang ajar benar makhluk yang bernama laki-laki itu. Bagaimana mungkin ia bisa menganalogikan perempuan sebagai sangkar? Yang membuatnya terasa mewah dan terhormat dalam pelayanan perempuan. Sementara di sisi lain, perempuan dianggap sebagai penjara yang memberinya madu berharga. Ia menjajahnya. Mengawininya di malam hari dan menganiayanya sepanjanghari. Bahkan dalam perkawinan dan pernikahan, seumur waktu ia bisa menganiayanya dalam kesenangan dan kemarahan mereka. Paradoks, bukan?
Oleh karena itu, ingatlah kembali ikrarku: kini saatnya kau terima balasanku. Bertekuklah tubuh dan lutut di ujung kakiku. Aku bukan wanita singwani ditata, sing senenge ditata-tata, sing gaweane ditata-tata kaya sing nang Gembiraloka.
Lagi-lagi, seorang lelaki mendekatiku. Mulanya aku tersenyum saja melihat betapa halusnya persuasi itu. Puihh! Lama-lama mual juga. Pelan tapi pasti, seakan tanpa dosa, didekatinya aku. Daripada aku berpikirdaripada-daripada, mending, kupancing saja dia.
Apa sih yang diinginkan lelaki? Sesosok tubuh untuk didekap dan mendekap? Atau, seonggok hati yang takutnya akan rentan dan rusak jika tanpa perlindungan laki-laki sehingga kemudian laki-laki bisa sok pahlawan di rembang petang? Huh�.Dasar lelaki!
Maka, kupikat dia. Kupeluk dia, kubisikkan kata-kata paling mesra yang pernah aku baca, dengar dan lihat dalam karya-karya picisan. Muak juga ketika aku harus mengingat referensi masa lalu itu. Saat kupikirlagi, aku pun bisa sok-sokan merangkai kata, membuatnya kian terpesona. Baru kusadari bahwa aku pun bisa menjadi pengarang besarjika aku mau mengasah kemampuan. Hahaha�.kudekap semua itu dalam tatapan sendu penuh penyesalan.
Dia pun bersimpuh di ujung lututku yang menjuntaikan kaki manisku. Di sini, di pinggir ranjang yang kau pesan tadi petang, akan jadi saksi bisu eksekusi ketakberdayaanmu.
Di sini ku bergeming. Ingin kucitrakan bahwa aku pun menginginkanmu, di balik semua alasan yang telah kujabarkan bahwa aku tak mungkin bersamamu.
Kulihat kau semakin merengek dan membualkan betapa kau menginginkanku. Hach!
Iseng-iseng, kuberikan pandanganku kepada dua matamu.
Gila! Kau menangis. Seperti anak kecil yang minta dekapan, minum susu dan dininabobokan.
Seperti inikah cinta? Apa iya? Seperti inikah raut Tunggul Ametung saat ingin mendapatkan Ken Dedes dengan sebulat-bulatnya. Seperti ini pulakah saat Ken Arok jatuh cinta, jatuh cinta dan bertekuk lutut memohon cintanya? Tiba-tiba aku merasa bisa sehebat Ken Dedes.
Yup. Maafkan aku. Setengah pura-pura, tiba-tiba ada belas kasih padaku. Kuusapkan tangan menghapus sembabnya tanggul air matamu. Kuangkat bahu kekarmu. Kurasa tiba-tiba api listrik menyeretkanku untuk mendamaikan tangis rengekanmu.
Gila! Lagi-lagi gila! Kau mengeksekusiku dengan halus. Halus yang sehalus-halusnya. Tandas.
Tak apalah. Tunggulah beberapa waktu yang akan datang. Besok aku akan merencanakan bagianku, eksekusi yang tertunda. Sesuatu yang lebih fenomenal dan sensasional. Hanya akan ada kepatuhan mereka untuk kuberdayakan dan kuperdayakan. Nantikanlah saatnya. Sekarang mah, untuk sementara, emmmh�..kunikati aaaja dia! Hmmmm.

dagen_pvr, 22052K6

Catatn: dibuat Mei 2006...aku ikutin di kontes KillTheBooks..gak tau nyangkut apa kagak

Tuesday, July 04, 2006

PIC GW

selaluuuu orangnanya...pic-pic-pic. Emangnya perlu penasaran? Biasa aja lah. Makanya..kalo ada ygnanya...apsti aku katakan gw jelek, ite,, busikan, etc...biar pada gak penasaran ma gw. So...now, I'll posting sedikittt pic jaduul gw, hehehe. Check it!
hehehe...udah gw hapus picnya...krn gw gak mau yg namanya Eko Wahyudi ngeliat, heheh
laen kali aja diposting lagi, hehehe

Monday, July 03, 2006

SEKOLAH ITU TAK GAMPANG, sebuah opini dari kontroversialnya Unas 2006

SEKOLAH ITU TAK GAMPANG
Oleh: Maya Fitrianingsih


Pengumuman hasil Ujian Nasional (Unas) tingkat SMA dan SMK pada Senin (19/6) lalu menyisakan banyak persoalan. Standardisasi nilai minimal Unas yang berperan dalam menentukan kelulusan mengisyaratkan bahwa apabila seorang siswa memperoleh nilai di bawah standar, pada salah satu atau lebih mata pelajaran yang diujikan, alamat bahwa siswa tersebut idak lulus. Alhasil, meski angka kelulusan SMA/ SMK tahun ini secara nasional meningkat jika dibanding dengan tahun lalu, namun angka ketidaklulusan yang mencapai 9 persen dari 1.916.937 siswa ini dinilai cukup signifikan. Tercatat, seorang siswa di Kalimantan bunuh diri sementara empat siswa tidak lulus di Jakarta mencoba bunuh diri.
Tidak sedikit diantara siswa yang tidak lulus Unas ini merupakan siswa berprestasi dan telah diterima di perguruan tinggi favorit melalui jalur khusus (PMDK) ataupun program beasiswa dari luar negeri. Hasil Unas membuat harapan mereka terpental ke tanah. Buntutnya, persoalan ini dibawa ke DPR yang kemudian mendesak pemerintah untuk melakukan ujian ulangan. Pun ketika dibawa ke Komnas HAM, Komnas HAM menilai bahwa pelaksanaan Unas merupakan pelanggaran terhadap hak azasi pengembangan diri. Pemerintah tidak berhak mengadili lulus-tidaknya siswa sampai sejauh itu. Unas dinilai bertentangan dengan UU Sisdiknas karena dalam UU dikatakan bahwa yang dapat menentukan kelulusan adalah sekolah, namun kemudian ada peraturan pemerintah (PP 19/ 2005 yang mengatakan bahwa yang menentukan kelulusan adalahj guru, sekolah dan pemerintah.
Menanggapi desakan pengadaan ujian ulangan, pemerintah tetap coba bergeming. Mendiknas Bambang Sudibyo belum bisa memutuskan sampai diadakannya rapaty internal, apalagi masih menunggu hasil Unas SMP. Mendiknas berujar bahwa tidak diberlakukannya ujian ulangan bertujuan untuk memacu intensitas belajar secara optimal. Dan terbukti, terjadi peningkatan cukup signifikan pada tingkat kelulusan SMA/ SMK. Jika mekanisme adanya ujian ulangan dibakukan sebagaimana yang terjadi di tahun lalu, dikhawatirkan memunculkan asumsi adanya amnesti yang akan memperlemah mental siswa, berlawanan dengan tujuan semula yang dimaksudkan untuk memacu intensitas belajar siswa.
Sementara itu, menanggapi harapan diadakannya ujian ulangan, wapres Jusuf Kalla menyatakan bahwa ujian ulangan merupakan ketidakadilan bagi siswa yang telah lulus Unas. Meski demikian, banyak pihak menilai bahwa ujian ulang tetap lebih baik untuk dilakukan karena hal itu masih dimungkinkan secara yuridis. PP 19/2005 menyebutkan Unas bisa diajukan dua kali, sementara UU Sisdiknas pasal 58 ayat 1 dan 2 secara tegas menyatakan bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik. Sedangkan evaluasi peserta didik satuan pendidikan dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.
Konsep awal Unas sebagai usaha standardisasi mutu, memang mempunyai banyak kelemahan. Sejak awal telah diprediksikan bahwa standardisasi nilai yang ditetapkan oleh pemerintah itu dipandang sebagai nilai yang berat bagi siswa. Namun, patok nilai telah dipancangkan. Apabila ujian ulangan dilakukan lagi sebagaimana tahun lalu, hal ini mempertegas betapa kurang matangnya sistem yang selama ini diberlakukan. Juga dari sisi ketidakkonsistenan pemerintah dengan adanya sesuatu yang mudah berubah. Jika ujian ulangan sampai dilakukan berkali-kali dan itu diterapkan dari tahun ke tahun, jangan-jangan standardisasi akan berubah menjadi labelisasi dan stratifikasi kelulusan apakah kelulusan itu melalui Unas atau Unas ulangan. Dan ini tidak kurang berbahaya, layaknya sistem rangkingisasi yang cenderung menjadi kebanggan semu bagi mereka yang dianggap pintar dan mereka yang dianggap kurang pintar.
Ketidaklulusan menjadi pukulan berat bagi siswa yang bersangkutan. Dalam kondisi demikian, kadangkala susah untuk diajak berpikir jernih dan menatap masa depan dengan lebih optimis. Rencana melanjutkan pendidikan bagi mereka yang boleh jadi telah jauh-jauh hari dipancangkan ke depan, menjadi hancur. Apalagi bagi mereka yang telah diterima di perguruan tinggi melalui jalur khusus. Mereka masih berharap adanya ujian ulangan , meski ketidaklulusan itu telah membuyarkan konsentrasinya untuk sekadar mengerjakan ujian.
Pro-kontra standardisasi nilai Unas sebagai prasyarat kelulusan siswa masih bergulir. Kegaduhan ini menambah daftar permasalahan yang sudah ada sejak sebelumnya di dunia pendidikan. Bagi orang tua, mereka tidak sekadar dibebani dengan biaya pendidikan yang dirasa kian tinggi. Orang tua dituntut lebih dalam membentuk kepribadian anak yang kuat, termasuk dalam membentuk sikap mental baja di tengah tekanan yang dihadapi anak dalam hal pendidikannya di sekolah.
Dengan sistem Unas yang menjadi patokan kelulusan siswa, pada waktu hari H pelaksanaan ujian tidak mengijinkan adanya something wrong. Tidak boleh ada sesuatu yang salah. Jika hal ini menjadi harga mati maka ini bisa menjadi bencana tambahan bagi dunia pendidikan di Yogyakarta, khususnya pada hasil Unas SD nantinya. Setelah rusaknya banyak gedung dan fasilitas sekolah, anak-anak kelas 6 SD di Yogya yang menjalani Unas di tengah kondisi psikologis paska gempa, tentu saja akan berpengaruh pada pada hasil ujian mereka. Kondisi psikologis yang berbeda akan memberikan hasil yang berbeda. Belum lagi bagi mereka yang mengalami kejadian tragis waktu bencana, kehilangan buku dan hidup di pengungsian, tentu tidak bisa melakukan persiapan ujian secara maksimal. Bagaimana mungkin mereka seakan tidak terjadi apa-apa sementara mereka mengerjakan ujian dalam tenda yang bersebelahan dengan puing-puing bangunan yang biasanya mereka gunakan untuk belajar?
Sistem yang baru, dimana pun akan memunculkan banyak kekhawatiran, apalagi dengan sistem Unas yang seperti ini,. Anak-anak tentu berpacu dengan target nilai Unas. Unas akan menjadi momok bagi kehidupan mereka. Jika tidak segera didapatkan sistem yang mantap, lagi-lagi anak akan sekolah hanya menjadi kelinci percobaan bagi sistem evaluasi hasil belajar.
Belum lagi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan zaman. Anak-anak tak hanya bersaing dengan teman-temannya satu sekolah tapi juga atas laju ilmu pengetahuan dan teknologi serta kenyataan tantangan secara global. Jika tidak disikapi secara arif, hal ini berpotensi menjadi penyebab stress pada anak. Anak susah menikmati proses pendidikannya karena terus dihantui kekhawatiran-kekhawatiran sehingga orang tua harus wanti-wanti pada mereka, “Sekolah itu tak gampang, Nak!” sambil coba membesarkan hati mereka. Bila pesan ini salah disampaikan, bisa-bisa justru tambah menjadi beban bagi siwa. Boleh jadi ia akan balik minta pengertian dan pemakluman bahwa sekolah itu tak gampang, di tengah sistem yang belum mantap. Dibutuhkan kebesaran hati siapa saja untuk lebih menghargai proses belajar dibanding dengan sekadar nilai yang ditentukan dari sekian menit waktu pelaksanaan Unas. ***

Catatan:
dibuat Juni 2006 ini, tapi aku yakin gak dimuat karena ini opini straight banget...kalo sehari-duia hari gak dimuat pasti udah basi

ATM KONDOM DAN PENDIDIKN SEKS, sebuah opini

ATM KONDOM DAN PENDIDIKAN SEKS
Oleh: Maya Fitrianingsih

Lagi-lagi, perbincangan mengenai perlu tidaknya
merealisasikan rencana ATM kondom di Yogyakarta,
beserta 9 kota lainnya, mengemuka. Pro-kontra ini
biasanya didasarkan atas 2 alasan utama. Bagi yang
kontra, didasarkan pada kekhawatiran bila ATM kondom
ini menjadi sarana melegitimasi pergaulan bebas.
Sedangkan pihak yang sepakat mendasarkan pada
pentingnya mencegah penularan penyakit menular seksual
(PMS) dan AIDS.
Pergaulan Bebas
Publisitas yang mengatakan bahwa tak kurang dari 75
prosen mahasiswi di Yogyakarta tidak virgin lagi,
diakui telah membawa dampak yang besar bagi pencitraan
wajah Yogyakarta sebagai kota pelajar. Yogyakarta tak
ubahnya seperti daerah-daerah lain yang mulai
terkontaminasi budaya sekuler. Meski pergaulan bebas
tidak sekadar ada dalam masyarakat barat, pada masa
lalu hal ini hanya menjadi bagian undercover dari
kehidupan masyarakat kita. Kini, terjadi pergeseran
dari hal-hal yang bersifat tersembunyi menjadi lebih
terbuka.
Pergaulan anak muda yang lebih terbuka ini, diakui
sebagai konsekuensi dari keterbukaan informasi yang
melanda secara global. Penetrasi budaya merupakan
konsekuensi dari menguatnya interaksi
ekonomi-sosial-budaya itu sendiri. Nilai-nilai yang
semula ada pun mulai dipandang sebagai sesuatu yang
tradisinal nan puritan.
Yogyakarta dengan ratusan sarana pendidikan tingginya,
ditunjang dengan biaya hidup yang relatif rendah,
suasana yang lebih kondusif dan sebagainya
menjadikannya sebagai kota idaman mencari ilmu. Ketika
jumlah mahasiswa (dan pelajar secara umum) luar
terakumulasi di Yogyakarta, melemahnya kontrol orang
tua terhadap keseharian anaknya, jika tidak hati-hati
memberi kerawanan tersendiri.
Dari sisi usia, mahasiswa merupakan usia di ujung
remaja menuju tahap peralihan ke arah yang lebih
dewasa. Tentu saja ini menjadi usia riskan. Usia
dewasa yang identik untuk melazimkan adanya
pernikahan. Perkawinan merupakan sesuatu yang bersifat
naluriah, sementara kebutuhan biologis dalam artian
seksual mulai tumbuh mengemuka saat remaja. Pada masa
kuliah inilah menjadi tahapan dengan kematangan fisik
dan mulai menjelang ke arah kematangan berfikir.
Artinya, masa muda, katakanlah masa kuliah, menjadi
masa pancaroba, tanpa menghilangkan sisi have fun.
Ketika faktor ini bertemu dengan faktor lain seperti
adanya resapan budaya luar sehingga sebagian dari
mereka melegalkan perilaku bebas ini. Dan ini menjadi
tantangan yang berat bagi predikat Yogyakarta sebagai
kota pendidikan.
Lihat saja realitas yang teramati oleh kita, bagaimana
frekuensi alat kontrasepsi kondom yang dikatakan
meningkat beberapa kali lipat pada akhir pekan,
khususnya di jalur daerah yang banyak komunitas
mahasiswanya sampai ke tempat rekreasi dan hiburan.
Lihat pula perilaku sopan-santun yang mulai melebar,
dimana banyak terjadi perilaku bermesraan di depan
umum. Hal ini lumrah kita lihat di ruang-ruang publik
kita. Lalu, moralitaslah yang kemudian dipertanyakan.
Benturan cara pandang generasi muda dan generasi tua/
terdahulu pun menjadi perbincangan yang berakhir pada
kekhawatiran generasi tua akan menebalnya tingkat
permisifitas anak-anak mereka.
Ketika alat kontrasepsi kondom, yang semula menjadi
barang privat yang hanya digunakan di wilayah privat
antara suami-istri untuk mencegah kehamilan, kini
menjadi barang yang umum dipakai untuk mencegah
kehamilan oleh pasangan ilegal. Perbincangan dan cara
belinya pun tak perlu lagi malu-malu seperti juga pada
pemenuhan kebutuhan primer lain.
Realisasi pengadaan ATM kondom dikhawatirkan akan
mempermudah cara mendapatkannya, dan pada akhirnya
melegitimasi pergaulan bebas itu sendiri. Kurang
diketahui pasti, berapa prosentase pengguna kondom
dibanding dengan penggunaan alatkontrasepsi lain,
berapa pula prosentase penggunaan kondom oleh pasangan
ilegal dibanding pada pasangan legal (perkawinan).
Yang jelas, alat kontrasepsi kondom tergolong paling
mudah dan cukup egfektif untuk mencegah kehamilan.
Pencegahan Penularan PMS dan AIDS
Di sisi lain, manfaat terpenting dari penggunaan
kondom adalah mencegah penularan penyakit kelamin/
penyakit menular seksual (PMS) termasuk di dalamnya
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). Terlebih
dengan menggejalanya penyebaran AIDS di Indonesia,
keberadaan kondom menjadi sangat penting. Dua dekade
yang lalu, dalam teknologi pengembangan kondom,
perlindungan ekstra bagi virus penyebab AIDS menjadi
inovasi yang dijadikan sebagai iming-iming oleh
produsen kondom. Dengan penambahan lapisan gel yang
menjadi human alpha interferon yang saat itu terbukti
ampuh sebagai pembunuh virus, dan juga spermisida
nonoxynol-9.
Kini, perkembangan teknologi kondom sudah demikian
pesatnya, termasuk dalam hal bahan, minimalisasi
ukuran pori-pori untuk mencegah kebocoran,
elastisitas, bahan tambahan gel, dan sebagainya.
Bahkan, dengan berbagai macam rasa untuk menambahkan
sensasi hubungan seksual. Makin mudah, murah dan
bervariasi.
Menyikapi penyebaran virus Human immuno Deficiency
Virus (HIV) penyebab AIDS, maka penggunaan kondom
menjadi lebih populer. Cara inilah yang dianggap
paling efektif untuk pencegahan HIV-AIDS bagi mereka
yang melakukan seks aktif berisiko. Belum ada obat
atau vaksin yang dianggap efektif mampu menuntaskan
permasalahan AIDS ini.
Oleh karenanya, wajar jika penggunaan kondom ini
dikampanyekan oleh banyak pihak. Disamping itu,
menyikapi perkembangan gaya hidup, maka penyediaannya
pun dianggap perlu untuk dipermudah dengan sistem ATM.
Dengan hanya memasukkan tiga uang koin Rp. 500
berwarna putih, akan didapatkan satu paket kondom
berisi tiga biji.
Mungkin, dalam bayangan Luther George Simijian, penemu
pertama ATM, saat ia mematenkan alat temuannya pada
tahun 1939, ia belum berfikir bahwa sistem yang serupa
dengan temuannya itu akan dipergunakan pula untuk
produk kondom.
ATM kondom sebenarnya tidak sama persis dengan ATM
yang kita kenal luas karena tidak perlu mempunyai
account keanggotaan khusus. Siapa saja dimungkinkan
untuk mendapatkan tanpa perlu tanda keanggotaan
segala. Seperti halnya telepon umum. Di luar negeri,
sistem seperti ini untuk pembelian minuman ringan
sudah bukan hal yang asing lagi, bahkan untuk
mendapatkan rangkaian bunga.
Kelebihan ATM kondom terletak pada accesabilitasnya.
Dari sinilah dikhawatirkan akan mempengaruhi anak-anak
atau remaja untuk mencoba atau menggunakannya. Toh tak
ada batasan usia, status atau apapun.
Sosialisasi rencana pengadaan ATM kondom ini paling
tidak membuka wacana mengenai bagaimana dan dimana
saja alat ini dipandang perlu untuk ditempatkan. Dan
mengapa Yogyakarta dipilih sebagai salah satu diantara
10 kota yang akan punya alat ini semisal Jakarta,
Bandung, Surabaya, Kepulauan Riau, Papua yang
persebaran/ pertumbuhan penderita HIV-AIDSnya
tergolong paling cepat di Indonesia. Inilah alasan
logis penggunaan ATM kondom di tempat-tempat hiburan,
hotel/ kawasan wisata dimana banyak dimungkinkan
dilakukannya hubungan seksual.
Pendidikan Seks
Seiring perkembangan zaman, di sana-sini terjadi
pergeseran nilai dan budaya. Hal yang semula dianggap
tabu dan hanya menjadi urusan privat seseorang, kini
mulai longgaruntuk mengatakannya sebagai sesuatu yang
biasa-biasa saja. Paling mengkhawatirkan tentu saja
bagi generasi muda seusia anak-anak dan remaja karena
masa itulah tingkat kerawanan secara sosial-psikologis
mulai dipertaruhkan.
Menyikapi hal ini, dalam kaitannya dengan pengadaan
ATM kondom, pendidikan seks sejak dini menjadi
kebutuhan. Anak-anak musti dipersiapkan sejak awal
agar mendapatkan pengetahuan yang cukup dari orangtua
mereka, bukan didahului oleh informasi dari luar yang
besar kemungkinan akan masuk secara parsial dalam
benak mereka. Bahkan, acapkali informasi yang
betebaran di luar, baik lewat media televisi, majalah,
internet maupun kelompok sebaya mereka itu tidak benar
dan berat sebelah. Di sinilah peran orangtua untuk
mempersiapkan mereka dengan pengetahuan yang benar dan
terarah.
Salah satu hal penting dari aspek pendidikan seks ini
adalah pentingnya komunikasi terbuka antara anak dan
orang tua. Tidak seperti kebanyakan orang zaman dulu
yang tertutup dan menganggap anak tak perlu tahu
sehingga dirasa cukup untuk langsung memberikan
istilah “tabu” untuk membendung keingintahuan
anak. Di sinilah perlu kebesaran hati orangtua untuk
mendengarkan mereka serta kesiapan orang tua itu
sendiri untuk memberikan pendidikan seks yang tepat
sasaran bagi anak.
Dengan demikian, rencana pengadan ATM kondom ini
menjadi tantangan bagi orang tua seberapa siapkah
mereka mampu memberikan pendidikan seks secara baik
dan benar, selain juga pendidikan kepribadian untuk
membendung berbagai persoalan semacam pergaulan bebas.
Sebelum lebih terlambat, masih ada waktu untuk belajar
dan memperbaiki komunikasi dengan anak, sebelum
semuanya menjadi lebih terlambat. Disinilah pro-kontra
ATM kondom memberikan warning/peringatan.***

Catatan:
dibuat Mei 2006, dikirim ke media tapi kayaknya GAK DIMUAT

LAKI-LAKI MISTERIUS, tulisan pengalaman

LAKI – LAKI MISTERIUS
Aku punya teman yang kenalan melalui chatting. Baru kali itu aku
berbincang lewat internet sama dia, tanpa aku tahu wajah "penampakannya"
secara nyata, kecuali dari satu pic kecil ukuran pas foto. Selanjutnya,
komunikasi lebih banyak lewat telepon atau sesekali lewat e-mail karena
Kikin, temanku itu, tinggal di Cirebon. Meski demikian, pertemanan kami
asik-asik saja. Jika ada momen kebetulan, kami tentu akan bertatap muka
juga.
Setelah satu setengah tahun, barulah kesempatan yang diperoleh secara
kebetulan itu datang. Beberapa waktu yang lalu, aku ada urusan ke Tegal
dan Majalengka maka aku sempatkan untuk mampir ke Cirebon yang ada
diantara kedua kota itu.
Begitu sampai terminal, segera kucari wartel untuk menelepon hp Kikin
karena aku sendiri tidak punya hp. Agar lebih mudah, aku menunggu
jemputan dia di wartel tempatku menelepon. Daripada menunggu 15 menit, aku
bilang sama ibu penjaga wartel bahwa aku menunggu jemputan seorang teman
tapi aku ingin makan dulu di wartel sebelah wartel, nanti aku akan
balik lagi ke wartel ini.
Si ibu tanya, sudah kenal, kan, sama teman yang menjemput? Rasanya
janggal jika aku mengatakan belum pernah lihat. Maka aku katakan saja
bahwa aku sudah lama tidak bertemu dengannya.
Selesai makan, sambil aku berjalan kembali ke arah wartel, si ibu
mengatakan bahwa di seberang jalan tadi ada orang berjaket kulit memakai
sepeda motor, rambut gondrong, memperhatikan wartel ini, seolah-olah
sedang mencari seseorang. Si ibu menanyakan padaku apakah itu temanku.
Otomatis kujawab tidak tahu karena kalau dulunya tidak gondrong, entah
sekarang.
Aku kembali menelepon Kikin, katanya ia masih di jalan dan sebentar
lagi sudah sampai. Tapi begitu beranjak dari wartel, si mas gondrong
yang diceritakan ibu penjaga wartel itu sudah datang . Meski agak ragu,
aku segera menghampiri dan kutanyakan,"Kikin, ya?" Dianya balik bertanya
,"Yang dari Jogja, ya?" Kujawab saja iya.
Daripada menjadi perhatian si ibu penjaga wartel, aku segera
berpamitan dan membonceng, yang penting menyingkir dulu. Aku sendiri ragu
apakah ini Kikin karena suaranya jelas berbeda. Seingatku, eajahnya juga
berbeda dengan pic yang pernah aku lihat satu setengah tahun yang lalu.
Rasanya tak mungkin pula Kikin menyuruh orang lain untuk menjemptku.
Beberapa meter dari situ, aku mulai berbincang dan menceritakan
kronologis kedatanganku ketika dia bertanya kabarku. Aku pikir, apakah dia
"ngerjain" aku ataukah ini memang salah oteang? Mungkin dia pun sangsi
sehingga menanyakan alamat dan nomor hp yang tadi aku hubungi. Barulah
dia katakan kesimpulan bahwa dia salah oang. Berarti, orang Jogja yang
dia cari bukan aku. Sekadar itu karena memang lelaki gondrong ini memang
lebih banyak diam. Laklu, dengan santainya aku dipersilakan untuk turun
atau ditawari untuk dikembalikan lagi di wartel tadi. Akhirnya aku
minta agar dia menepikan sepeda motornya sambil mencarikan wartel yang
lain. Lalu dia pergi dan aku menelepon Kikin kembali untuk menjemputku di
wartel yang baru.
Setibanya di hadapanku, Kikin tampak bersyuklur sekali menemukanku
dalam keadaan baik-baik saja. Si ibu penjaga wartel tadi mengatakan
padanya bahwa mbak yang dari Jogja sudah dibonceng sama laki-laki gondrong
yang wajahnya agak menakutkan. Otomatis Kikin menjadi khawatir, apalagi
dia tahu bahwa aku belum pernah ke Cirebon sebelumnya.Untung saja aku
segera meneleponnya kembali. Kikin segera berpamitan dan meningalkan si
ibu penjaga wartel yang tetap tak memahami apa yang terjadi. Setelah
bertemu Kikin merasa beruntung bahwa laki-laki gondrong yang katanya
bertampang menakutkan itu tidak berniat buruk terhadapku. Mungkin sja dia
adalah tukang ojek atau orang yang disuruh menjemput seseorang dari
Jogja yang belum pernah diketahuinya. Bagiku, idhep-idhep pengalaman yang
jadi ekenangan saat pertama kalinya ke Cirebon. (Januari 2006)

BUSANA MUSLIMAH, tulisan hikmah dari pengalaman

BUSANA MUSLIMAH:
Antara Kesadaran, Penyadaran dan Pengalaman

Rasanya, semua orang tahu bahwa setiap muslimah yang baligh wajib menggunakan busana muslimah yang sesuai dengan syar’i. Sekadar “tahu” saja tidak cukup karena yang diperintahkan adalah melaksanakan, bukan sekadar mengetahui. Dan, persoalan pelaksanaan ini lah yang bukan persoalan mudah, terlkebih bagi mereka yang berada di lingkungan yang kurang mendukung.
Ketika pemerintah mulai membuka pintu yang lebar bagi muslimah untuk menggunakan busana muslimah sehingga foto foto di SIM yang tadinya harus memperlihatkan daun telinga pun sekarang bukan menjadi keharusan lagi. Sejak itu, penggunaan busana muslimah menjadi marak bahkan saat ini telah menjadi trend tersendiri. Meski demikian, untuk melaksanakan perintah Allah yang sudah diketahui sebagai kewajiban itu, orang masih ragu-ragu. Termasuk juga dengan aku.
Rasanya, menggunakan busana muslimah merupakan sesuatu yang di awang-awang, terlalu jauh. Idealisme tentang bagaimana seharusnya sosok seorang muslimah, bukanlah sesuatu yang mudah. Apakah tingkah laku kita sudah cukup sempurna sehingga, paling tidak, bisa dikatakan “pantas” untuk berpakaian sebagai seseorang yang “mendekati suci” itu? Lalu, apakah aku sudah siap untuk mendekati idealisme itu? Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang terus menggelayutiku waktu itu, dan aku yakin ini juga dialami oleh banyak muslimah lain yang belum menggunakan busana muslimah dalam keseharian. Para ustadz dan penganjur pun lalu mengatakan,” Jika menunggu merasa siap, kapan jadinya? Gak akan siap-siap,” begitulah yang biasa diucapkan untuk memotivasi.
Sesering apa pun nasihat yang masuk ke telinga, jika tidak dibarengi dengan kesadaran tentulah tidak akan memberi perubahan apa-apa. Namun demikian, pengalaman hidup tentulah membuat seseorang untuk berpikir. Apalagi manusia selain sebagai makhluk yang berpikir, pada fitrahnya juga makhluk spiritual yang pasti akan mencari kekuatan lain di luar dirinya yang dianggap bisa menyelamatkannya. Mungkin, kesadaran inilah yang kemudian membuatku ingin mencari sesuatu yang dapat menyelmatkan, hingga di kehidupanku nanti yang abadi.
Keasadaran itulah kemudian yang membuatku mulai “mendekat” pada sebuah kelompok pengajian sehingga aku bergaul dengan mereka-mereka yangtelah menggunakan busana muslimah dalam kehidupan sehari-harinya. Keinginan menggunakannya pun terus bertumbuh. Dari kajian-kajian yang ada, aku tahu bagaimana seharusnya busana muslimah itu, apa beda kerudung dengan jilbab. Jilbab tidak sekadar kain penutup kepala namun merupakan pakaian panjang yang menjulur ke bawah dan tentunya bisa menjadi hijab yang mampu menutupi seluruh bagian tubuh, dari kepala (kecuali wajah) sampai telapak kaki. Jadi, bukanlah “pedhotan” sekadar baju lengan panjang dan rok atau celana panjang. Di tengah trend dan pandangan dunia yang menjadikan segala sesuatu sdg komoditi yang bisa dijual, sungguh tak mudah. Begitulah yang aku benarkan.
Semakin aku mencari tahu ke tempat yang lain, aku mengukuhkan diri bahwa aku hanya akan melakukannya atas kesadaranku sendiri. Pandangan yang lebih moderat mencontohkan bagaimana Allah dalam mengharamkan minuman keras pun dengan cara bertahap. Mulanya dengan perintah untuk menjauhi khamr. Begitu pun dengan perintah menutup aurat. Artinya, cobalah untuk sedikit demi sedikit, mendekati apa yang diperintahkan oleh Allah.
Setelah keinginan menggunakan busana muslimah ini semakin menguat, sekaligus memperbaiki pelaksanaan amalan-amalan wajib semacam shalat, lalu timbul pertanyaan, kapan memulainya. Apakah mengenakan baju muslimah hanya untuk bepergian ke kampus atau bepergian jauh saja atau ketika hingga ketika ada di lingkungan tempat tinggal juga? Belum ada jawaban hingga kemudian aku merasa bahwa aku telah banyak berbuat dosa. Aku takut untuk berlaku dosa yang lebih, lebih dan lebih besar lagi. Akhirnya, aku pun bertekad untuk segera mengenakannya, meski hanya ketika bepergian ke luar pada jarak yang relatif jauh hingga kemudian batasan jarak yang secara pribadi aku buat itu semakin menyusut, sehingga aku menggunakannya tak sekadar ketika ke kampus atau bepergian jauh saja. Aku mulai merasa malu jika tidak menggunakannya di tempat tetangga, misalnya.
Akhirnya, aku menarik kesimpulan bahwa pada dasarnya setiap orang punya kesadaran tentangmana yang baik mana yang buruk, mana yang wajib dan yang tidak. Namun sering kali kesadaran kesadaran itu sekadar menjadi kesadaran naif, kita tahu tapi kita tak mampumeng-gol-kan perintah itu. Berhasil atau tidaknya tentu semua ada pada kekuasaan Allah. Oleh karena itu, beruntunglah orang-orangyang mendapatkan hidayah untuk selalu berada di jalan-Nya.
Benarlah apa yang dikatakan Allah, Allah akan menguji keimanan hamba-Nya. Dan aku rasakan ketika aku dimudahkan untuk menutup aurat, berusaha ikhlas dan mematuhi amalan-amalan wajib, ketika aku bertekad untuk memperbaiki diri maka ujian pun datang. Mulai dengan upaya untuk menjaga komunikasi dengan orang tua ketika ada masalah, ujian tentang keikhlasan, tentang finansial dan studi. Pukulan yang tumpah tindih itu aku rasakan sebagai beban terberat yang pernah aku pikul selama aku merasakan hidup.
Aku sendiri merasakan bagaimana beda ketika berbusana muslimah dibanding tidak. Laki-laki yang semula berniat iseng pun lalu menjadi segan. Rasanya, orang pun lebih respek terhadap perempuan yang menutup auratnya, bahkan ketika kita baru mengenalnya sekalipun.
Banyak hal positif yang aku dapatkan setelah memakai busana yang menutup aurat, namun jangan dikira bahwa ujian pun berhenti sampai di situ. Ini adalah hidayah yang alhamdulallah telah Allah limpahkan kepadaku. Dan aku tak boleh mandeg sampai di situ karena kita selalu diingatkan bahwa orang yang beruntung adalah orang yang hari nanti lebih baik daripada hari ini . Aku sadar jika selama ini aku baru sekadar menggunakan hijab yang terkadangkurang syar’i, memakai “kerudung gaul“ ataupun yang diistilahkan sebagai “jilbab Britney Spear“ atau apalah namanya, namun hidayah yang ada musti tetap dijaga dan tetap berusaha mencari ridha Allah. Jika tidak, bisa jadi kita akan menjadi manusia bunglon yang bisa tampak alim namun di lain waktu menjadi penghamba dunia yang tindakannya tak lebih baik dari Britney Spear sebagai ikon gaya glaumornya perempuan muda. Boleh jadi pula, jika ujian datang, lepaslah busana muslim yang selama ini menjadi ciri dan penjaga kita....Innalillahi.....
Ya Allah, jagalah diriku agar selalu berada di jalan-Mu, untuk tetap istiqamah menjalankan perintah-Mu, senantiasa mendapat ridha dan hidayah-Mu, damai bersama-Mu. Amiiiiiin.
(Doakan aku ya para pembaca sekalian!)

Catatan:
dituklis Desember 2005, dikirim ke sebuah majalah islam tapi pasti gak dimuat karena rubrik yang aku maksud sudah tak ada

Opini Singkat Ttg Kemerdekaan

MEMAKNAI TAK SEKADAR SEREMONIAL BELAKA

Sudah menjadi hal yang umum bila peringatan kemerdekaan bangsa dilakukan dengan perlombaan-perlombaan yang terutama lebih banyak ditujukan bagi anak-anak. Anak-anak inilah yang masih segar untuk mendapat penanaman nilai dalam proses pembelajaran.
Peringatan kemerdekaan juga disemarakkan oleh manusia-manusia dewasa. Golongan ini merupakan bagian masyarakat yang punya energi lebih untuk mengisi kemerdekaan. Peringatan kemerdekaan menjadi wahana untuk men-charge semangat nasionalisme untuk mengingatkan kembali bahwa dipundak merekalah Indonesia ini akan ditentukan arahnya.
Tak ayal, peringatan kemerdekaan, dari tahun ke tahun semarak dengan agenda yang telah mentradisi. Tidak salah, memang. Dan memang perlu. Tapi, tang lebih penting dari itu adalah bagaimana agar peringatan itu tidak tinggal sebagai seremonial belaka. Artinya, semangat yang ingin dicapai adalah kesadaran sebagai bangsa dan negara itu mampu diinternalisasikan kepada tiap-tiap pribadi dari masyarakat itu sendiri.

Catatan: ini tulisan aku buat Agustus 2004

Catatan: ini opini aku tulis

SEKELUMIT PERASAAN HATI, tulisan hikmah

SEKELUMIT PERASAAN HATI

Berpasangan dalam ikatan pernikahan merupakan dambaan tiap manusia
karena telah menjadi keinginan fitrah yang dituntunkan dan dihalalkan oleh
Alloh. Bahkan karena keutamaannya, menikah dikatakan sebagai setengah
tiang agama. Dalam ranah ini, menikah merupakan gerbangmenuju kekuatan
dakwah hingga jauh ke depan dalam wadah keluarga sakinah, mawaddah,
warahmah. Dalam cita-cita, imajinasi dan keinginan untuk mendapatkan nilai
lebih dari ikatan pernikahan inilah, saya pun mendambakannya. Adalah
wajar jika saya merasa haru dan terbersit perasaan sedih manakala
mendapati kaum hawa lain yang menikah.

Menurut saya, satu unsur penting dalam pernikahan adalah kasih sayang.
Perjalanan hidup dari kecil hingga sebesar ini, tentu membawa konsepsi
tersendiri dalam otak saya tentang cinta, meski cinta tetap akan
menjadi misteri untuk dapat didefinisikan secara sempurna. Cinta lebih
merupakan perasaan personal yang dianugerahkan kepada manusia, untuk
dilakoni, bukan sekadar berujung pada teorisasi.

Alloh tentulah pemegang skenario hidup saya, termasuk kapan saya akan
menikah. Tapi, kebutuhan akan cinta-sayang (dalam bentuk yang lain
daripada pengalaman yang telah lama dan dapat saya rasakan dari keluarga dan
lingkungan sosial saya) kadang menguntit juga. Pacaran, demikianlah.
Memang, banyak sisi negatif dari sana sehingga menggiring pada
perbuatan-perbuatan dosa.

Maka, satu niat kembali saya tekadkan: ingin segera menikah. Taip
dengan siapa? Dibuat enjoy sajalah, demikian pikir saya. Kalau tiba waktunya
Alloh memberikan pada saya, ketika hati saya mengatakan “ya” maka
saya akan melangkah.

Pada saat itulah, muncul seorang ikhwan yang baru saya kenal, tanpa
saya tahu keadaan fisiknya karena hanya melalui alat komunikasi. Agak
terkaget juga manakala dengan cepat dia mengatakan sedang mencari istri.
Ada rasa takut pada saya, kenapa harus secepat itu tema pembicaraannya?
Saya menginginkan nikah tapi saya tak mau “grusa-grusu”. Saya coba
lawan kata-kata dan niatan dia yang saya anggap kaku: “kalau dekat,
sekalian dekatkan, kalau jauh, sekalian jauhkan”. Kenapa harus seperti
itu sementara waktu itu, saya belum pernah bertemu muka dengannya.

Dalam waktu tak lama pula, kami pun mulai dekat. Namun, saya kurang
sepaham/ sekufu dengannya mengenai beberapa hal. Saya kira, cara beragama
yang dia pahami dan laksanakan tergolong kaku sementara saya sendiri
lebih longgar/ moderat dalam cara pandang beragama. Hati saya tak mampu
meyakini sebagaimana cara pandangnya. Jika dipersatukan, tentu akan
banyak benturan dalam aplikasinya.

Maka, sedikit demi sedikit kami mulai berjauhan. Ada rasa kehilangan,
kehilangan teman untuk bicara dan bertanya. Saya jadi ingat, betapa
sombongnyasaya waktu itu dengan mengatakan bahwa: selama saya masih punya
sahabat-sahabat atau teman dekat yang peduli sama saya, saya tak perlu
takut hanya karena belum punya pasangan hidup. Saya musti introspeksi
diri mengapa ada rasa kehilangan. Apa pula kaitannya dengan rasa suka,
kesepian, kesombongan, pengharapan dan sekelumit perasaan hati lain yan
gmungkin menyertai. Tentang cinta dan jodoh, lagi-lagi, saya ,usti
qanaah dan istiqomah. Insya Alloh, dengan positif thingking dan keyakinan
penuh, Alloh akan berikan yan gterbaik buat saya. 



Catatan:
Ditulis Oktober 2005, pernah aku masukin ke majalah UMmi, tp kayaknya GAK DIMUAT

ROMANTISME BBM, sebuah opini

ROMANTISME BBM
Emas, dimana pun dikenal sebagai logam mulia dan barang beharga. Karena ketersediaanya yang terbatas, eksklusivitas inilah yang menunjukkan citra dan gengsi pemilik emas, baik emas kuning maupun emas putih. Ketika minyak bumi mendapat julukan sebagai emas hitam, tentu tak lepas dari logika itu. Keistimewaan minyak bumi sebagai sumber energi utama yang digunakan masyarakat saat ini, membuat keberadaan minyak berimplikasi secara signifikan pada tiap sektor kehidupan. Minyak bumi bersentuhan secara nyata pada nilai-nilai ekonomi, politik, sosial maupun budaya, bahkan bisa berujung pada pertahanan nilai pertahnan dan keamanan secara lokal, nasional maupun internasional.

Menyusul Inpres No. 10 tahun 2005 oleh SBY beberapa waktu yang lalu., serta merta kampanye hemat energi kembali digaungkan. Beberapa sektor coba disentuh bahkan hingga rencana mengandangkan mobil-mobil tua. Lampu kuning pun mulai disorotkan untuk mengingatkan akan diberlakukannya kenaikan harga BBM. Berbagai reaksi pun bermunculan.

Hal ini mengingatkan kembali pada gejolak masyarakat atas kenaikan-kenaikan harga yang terjadi sebelumnya, baik pada masa pemerintahan Megawati maupun SBY. Kini, kenaikan dimulai pada pertamax dan peramax plus per 1 September 2005, sedangkan kenaikan secara umum dipastikan akan dilakukan pada bulan Oktober mendatang. BBM menyandingkan perannya dengan kebutuhan pokok sandang-pangan, papan.

Bukti kekuasaan BBM dalam dinamikanya dapat dirunut dari perjalanan sejarah BBM itu sendiri. Minyak dan gas bumi (migas) telah dikenal sejak 5000 tahun yang lalu dan dipakai secara kecil-kecilan dalam bentuk aspal, ter, minyak tanah dan sebagainya. Di Cina, sumur komersial minyak bumi telah dibor tahun 1000 SM sedangkan di Birma pada tahun 1000 M. sementara di AS, sumur komersial pertama baru dibor tahun 1859 di Pensylvania. Sejak itulah produksi minyak mulai dilakukan secara besar-besaran, ketika Rockefeller dengan kepemilikan saham sebesar 27% mendirikan joint stock company bernama Standart Oil Company pada tahun 1870. Enam tahun kemudian, ia membentuk Standart Oil Trust yang memiliki jaringan pipa minyak membantang di seluruh Amerika. Rockefeller lantas memborong ladang-ladang minyak dan berbagai perusahaan pengilangan sehinga menjadikan Standart Oil sebagai perusahaan minyak yang terintegrasi dan relatif berdikari . Dengan jaringan “teman-temannya”, Rockefeller mencapai masa kejayaannya. Kekayaannya sangat fantastis sehingga melampai kekayaan semua negara bagian Amerika. Masa surut harus diterima Rockefeller ketika terjadi gerakan anti trust yang menilai bahwa monopoli merupakan cara “mendepak orang lain dari wilayah perdagangannya sehingga merampas hak orang lain untuk berusaha”. Perjuangan gerakan ini membuahkan hasil dengan dibubarkannya Standart Oil oleh Mahkamah Agung Amerika. Maka, ke-30 anak perusahaan Standart Oil harus kembali ke negara bagian masing-masing. Tiga diantara anak perusahaan Standart Oil kemudian menjadi raksasa minyak dunia, yakni: Exxon, Mobil dan Socal. Bersama empat perusahaan minyak yang lain, dikenallah sebutan “The Sevent Sisters” sebagai pihak yang punya kekuatan besar dalam industri perminyakan. Begitu dominannya kelompok ini sehingga menginspirasi munculnya OPEC sebagai kekuatan baru untuk melawannya agar eksplorasi minyak memberi kontribusi yang adil bagi negara-negara produsen minyak.

Kelahiran OPEC dapat dipandang sebagai kemenangan negara-negara dunia ketiga dalam melawan pola dominasi dan ketergantungan. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, negara berkembang berhasil mengambil kekuasaan ekonomi dari perusahaan-perusahaan multinasional itu serta memperbaiki term of trade negara-negara industri.

Produksi minyak di negara-negara berkembang pun menunjukkan peningkatan yang pesat hingga tahun 1972 (5 % per tahun) dengan disertai harga minyak yang murah. Tentu saja ini menggembirakan bagi negara-negara industri. Konsumsi energi per kapita mereka mencapai 16 kali konsumsi negara-negara berkembang. Artinya, dengan harga minyak yang rendah, negara-negara berkembanglah yang menghidupi negara-negara industri. Ketergantungan energi berbasis minyak pun terjadi. Negara-negara produsen minyak menganjurkan penggunaan minyak, sedemikian rupa agar minyakhanya digunakan untuk noble use atau bahan baku industri dan pengangkutan. Mereka menyadari, apabila harga miyak tetap dibiarkan rendah, tidak hanya akan menekan pengembangan sumber energi lain, tapi juga menimbulkan pemborosan minyak tanpa memperhatikan prinsip konservasi. Aliran minyak pun dipepatkan. Tahun-tahun tersebut (1973-1974) dinilai senagai tahun tidak normal. Embargo minyak telah menyebabkan resesi ekonomi. Negeri-negeri dingin pun meringkuk dalam musim dingin yang gelap. Akibanya, krisis terbesar untuk pertama kalinya dalam sejarah perminyakan dunia.

Disinilah kemudian negara-negara industri mulai menyadari untuk mengurangi ketergantungan impor dari negara-negara dunia ketiga. Sedapat mungkin, mereka mengembangkan potensi minyak dalam negeri serta mengembangkan alternatif energi lain.

Sebagai negara yang ikut tergabung dalam OPEC, isu-isu global seperti ini pun tak terkecuali juga disadari oleh Indonesia. Apalagi Indonesia bukanlah negara yang betul-betul kaya minyak sehingga tidak dapat disejajarkan dengan level negara Saudi Arabia, Kuwait ataupun Iran. Oleh karena itu, himbauan untuk melakukan penghematan dan pengencangan diversifikasi pun sudah didengungkan dari awal. Beberapa pihak pun sudah meramalkan kemerosotan persediaan minyak bumi. Namun, kemudian yang terjadi dan dapat kita amati, ketergantungan itu kian menjadi-jadi. Indonesia masih juga mengandalkan minyak sebagai sumber pendapatan negara. Produk-produk teknologi yang umum dimiliki dan dipakai masyarakat tetap juga berbasis BBM. Subsisi BBM dinilai terlalu “memanjakan” tanpa dibarengi dengan keberhasilan untuk membudayakan penggunaan sumber energi terbarukan. Ketika pemerintah mulai kelimpungan membayar subsidi serta terjadi disparitas antara harga minyak di Indonesia dengan yang ada di negara-negara tetangga, mau tak mau langkah kenaikan harga lah yang dilakukan. Gejolak kenaikan ini, dalam beberapa tahun belakangan masih dapat kita rasakan sehingga SBY meredamnya dengan kompensasi bagi masyarakat miskin, pada kenaikan per 1 Maret 2005 lalu. Meski begitu, keberhasilan upaya kompensasi ini pun masih perlu dicermati lebih lajut. “Untungnya” telah ada “wanti-wanti” (pesan bernada mengingatkan) bahwa kenaikan harga dilakukan secara gradual. Artinya, kenaikan masih akan terjadi. Rencana paling gres, kenaikan akan diberlakukan mulai Oktober ini.

Parahnya, krisis minyak yang sebenarnya telah diramalkan sejak puluhan thun yang lalu, selama ini kurang dibarengi dengan upaya yang masif untuk betul-betul menyediakan alternatif energi lain secara memadai dan mampu mengimbangi penggunaan BBM. Maka, kenaikan harga pun dilegitimasi sebagai cara satu-satunya untuk mengatasi krisis keuangan negara dalam jangka pendek. Risikonya, justru terjadi krisis baru di tengah-tengah masyarakat, bagaimana masyarakat coba mengencangkan ikat pinggang untuk tetap eksis dan menjaga keseimbangan.

Tentang cadangan minyak Indonesia yang hanya 1,1 % dari cadangan dunia, sebuah prediksi mengatakan bahwa jumlah itu akan habis dalam dua dasa warsa ke depan. Data tahun 2000, posisi Indonesia berada pada peringkat 17 sebagai produsen minyak bumi dunia dengan hasil sekitar 1,9 % dari total produksi global. Karena tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri, Indonesia pun mengimpor minyak mentah tetapi tetap menjadi eksportir minyak.

Bayangkan jika 20 tahun lagi cadangan minyak kita habis! Jika tetap harus menggunakan minyak, jika bahan bakar pengganti BBM belum mampu dikembangkan dari sumber nabati ataupun hewani, jika tetap harus menggunakan minyak, tentu tak ada yang dapat dilakukan selain menjadi importir secara penuh. Atau, kalau itu pun tak dapat dilakukan, mesin-mesin alat transportasi kita akan menjadi besi-besi tua.

Secara nyata, hal ini melengkapi daftar ironi di negeri “gemah ripah loh jinawi. Dulu, semangat swasembada beras membuat kita bangga ketika mampu mengekspor beras, namun akhirnya kita pun menjadi pengimpor beras. Dulu pula, banyak calon intelektual Malaysia yang berguru ilmu di Indonesia sementara sekarang justru sebagian orang-orang Indonesia berbangga bisa ikut eksodus ke Malaysia untuk mendapatkan pendidikan. Akankah minyak mengalami nasib yang serupa? Seberapa besar kita mampu menjaga optimisme?

Ibaratnya, ada 1001 cara menuju Roma. Sudah dikenalkan mobil-mobil berbahan bakar gas untuk alasan diversifkasi bahan bakar dan alasan kesehatan lingkungan, namun seberapa jauh masyarakat tertarik dan memilih mobil ber-BBG jika sulit dijumpai SPBU untuk BBG? Orang tahu bahwa energi matahari dan energi angin merupakan sumber gratis yang dapat dimanfaatkan sebagai alternatif pengganti BBM, namun seberapa besar hal itu dapat diproduksi secara massal sehingga bisa memasyarkat dalam penerapannya pada skala rumah tangga? Seberapa besar kita mampu membangun optimisme di tengah kekhawatiran-kekhawatiran itu?

Menilik lebih jeli, saya jadi teringat penjelasan filosofis Dhaniel Dhakidae bahwa pada hakikatnya kekhawatiran itu sendiri tercipta sebagai sebuah paradoks. Bencana itu bukan karena kelemahan tetapi karena kekuatan. Bencana itu bukan karena kegagalan tetapi karena keberhasilan. Seseorang yang menyadari keterbatasannya lantas menjadi seorang yang romantis. Seperti juga Hittler yang berbicara cinta dan keindahan di saat ia telah menghancurkan kota-kota dan menghabiskan nyawa manusia dalam jumlah besar. Artinya, kekhawatiran kita akan adanya krisis BBM ini merupakan buntut dari keberhasilan kita menggali sumber energi minyak bumi serta keberhasilan kita mengembangkan teknologi berkaitan dengan BBM itu.

Masih beruntung jika masih ada romantisme-romantisme itu, kesadaran atas ketamakan penggunaan sumber daya minyak. Dalam kondisi terpojok, ada dua kemungkinan. Pertama, bersikap pasrah karena melihat tapi tak memahami, apalagi mencari cara berkelit. Atau, sikap kedua, menghadapi dengan menjadikannya krisis sebagai daya lecut untuk melakukan perubahan secara kreatif dan melompat lebih tinggi. Ia akan menunduk, menggali ke dalam diri sendiri seraya “mendengarkan kembali bisikan angin dan menyantap sinar matahari”. Tapi tentu saja, tanpa memahami, perubahan tak akan terjadi sekadar dengan “bertanya pada rumput yang bergoyang”.

Catatan: dibuat awal September 2005 karena ribut2x kenaikan BBM itu. Dikirim ke mana...lupa...tp intinya: GAK DIMUAT!

ANTARA RUANG PUBLIK DAN RUANG PDA, sebuah opini

ANTARA RUANG PUBLIK DAN RUANG PDA

Alun-Alun Kidul, boleh dibilang merupakan salah satu ruang publik yang ada di Yogyakarta. Cukup menarik jika menilik keberadaannya di malam hari, terlebih di akhir pekan. Alkid, demikian orang memberikan akronim, merupakan salah satu tempat nongkrong dan “jalan-jalan malam” yang menarik selain kawasan Malioboro dan Alun-Alun Utara yang sudah lebih dulu populer. Sementara pada pagi harinya, Alkid cukup banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk aktivitas olah raga dan jalan-jalan pagi.

Namun, ketika Alkid coba ditata oleh pemkot dengan penerangan yang lebih memadai, justru upaya ini kurang mendapat respon yang baik. Banyak diantara lampu-lampu tersebut yang dirusak dan hilang karena masyarakatnya yang tetap menginginkan suasana remang di tempat ini. Tak pelak, hal semacam ini menjadi hambatan bagi penataan ruang-ruang publik dan boleh jadi akan menjadi buah simalakama jika tak segera dicari jalan keluarnya.

Minimnya ruang publik (public space) di Yogyakarta memang diakui beberapa pihak. Dengan kepadatan penduduk mencapai 16.000 per kilometer persegi, hal ini menuntut perhatian bagi banyak pihak untuk memberikan atmosfer yang nyaman bagi segenap penghuninya.

Susahnya mendapatkan ruang yang nyaman semacam ruang publik ini, diakui pula oleh masyarakat, terlebih dari kalangan remaja dan anak muda. Maka, fasilitas-fasilitas umum semacam mall pun menjadi sasarannya. Bagi yang berkantong tebal, memungkinkan mereka untuk ke kafe dan klub malam. Tentu hal ini menjadi sesuatu yang rawan bagi “dompet” maupun perkembangan jiwa mereka. Bagi yang berkantong tipis dan tidak suka aktivitas tersebut, dibutuhkan kreativitas yang lebih jika ruang publik dirasakan minim.

Berinteraksi dan beraktivitas, demikianlah hal dasar yang dicari dari ruang publik. Interaksi bersama teman dekat, khususnya pada remaja dan anak muda, merupakan satu fenomena tersendiri yang sudah awam dikenal sebagai pacaran. Hanya saja, bagaimana definisi dan koridor dalam relasi pacaran itu sendiri sangat tergantung pada individu yang memandangnya. Boleh jadi ia sekadar teman dekat namun boleh jadi sebagian yang lain berpikiran lebih sehingga upaya saling mengenal itu berujung pada luapan emosi dan perbuatan yang merepresentasikan rasa kasih sayang secara lebih spesifik.

Sementara itu, masyarakat pun mulai permisif dan memaklumi bila sepasang remaja atau anak muda bermesraan di depan umum. Menunjukkan kasih sayang di depan umum, atau lebih dikenal sebagai PDA (Public Displays of Affections) yang dilakukan oleh remaja dan anak muda seringkali dianggap tabu oleh masyarakat awam. Namun, acap kali pemandangan sejoli ini yang bermesraan di tempat umum mulai ditemui secara tak sengaja (kepergok) ataupun secara terang-terangan, utamanya di tempat yang remang. “Paling-paling” hanya rasa jengah ataupun bisik-bisik dan umpatan tanpa kelanjutan

Persoalan PDA semacam ini memang sudah ada dan menggejala, namun, apakah dengan penataan ruang publik ini berarti “mewadahi perilaku PDA”?

PDA sebagai suatu ekspresi kasih sayang dan kemesraan seringkali menjadi masalah ketika pengungkapan itu berlebihan sehingga menmbuat orang lain jengah. Paad gilirannya, perilaku ini menjurus pada pornoaksi. Perilaku eksibionis ini didukung oleh pengakuan atas hak pribadi seseorang untuk mengekspresikan apa yan gingin ia lakukan, meski hal itu kemudian mengalami benturan dan tarik-ulur dengan kepentingan-kepentingan lain.

Begitu pun jika menengok ke negeri barat. Boleh jadi, di Amerika dan Eropa, keadaannya lebih bebas. Deep kissing sudah menjadi hal yang lumrah. Tanggapan masyarakatnya pun bermacam-macam, mulai dari yang menikmatinya sebagai kebebasan individu, bersikap biasa saja atau dari kaum konservatif yang hanya bisa berharap adanya sensitivitas lebih tinggi terhadap publik.

Menyikapi hal ini, di Eropa Timur dan Rusia telah dicanangkan gerakan moral. Sejak 2003, pelaku deep kissing di muka umum bisa didenda bahkan masuk penjara. Memang, tiap-tiap wilayah mempuyai aturan sendiri-sendiri, sesuai kultur dan kebijakan masing-masing. Bagaimana dengan di Indonesia?

Di negara kita, perilaku PDA boleh dikatakan belum terlalu berlebihan, meski gejala perilaku ini mulai banyak menimbulkan kekhawatiran dan keprihatinan. Peraturan hukum, dengan sanksi hukum yang jelas dan mengikat, pun belum ada. Pelaku PDA hanya dapat dijerat jika benar-benar telah meresahkan masyarakat. Penerapan hukum atas hal ini pun jarang sekali kita dengar. Sanksi yang ada lebih bersifat sosial dan moral. Beruntung sekali, seiring dengan keasadaran masyarakat untuk mengatur hal ini, sekarang sedang digodok UU tentang pornografi dan pornoaksi. Diperlukan batasan yang lebih jelas antara pornografi, pornoaksi dan karya seni, menyusul banyaknya perdebatan antara karya seni yang menggambarkan sensualitas manusia dengan pornografi dan pornoaksi yang vulgar.

Jika menengok ke belakang, hal ini mengingatkan kita pada kasus Sophia Latjuba dan Sarah Azhari beberapa tahun yang lalu. Meski tak ada sanksi hukum atas pelaku pemotretan (fotografer maupun objek foto) namun pemimpin redaksi media yang mempublikasikan gambar kontroversial itu akhirnya berhasil dijerat dengan pasal-pasal hukum di meja peradilan.

Pembuatan UU mengenai hal yang masih menjadi silang pendapat ini, diharapkan mampu memberi regulasi bagi kenyamanan semua pihak. Kita tunggu saja perkembangannya. Namun, di lain pihak, fenomena semacam ini suaah ada di depan kita. Pornografi-pornoaksi-PDA merupakan tiga hal yang saling terkait. Kenyataan banyaknya remaja yang nongkrong di mall, kafe, di jalanan, atau di tempat umum lain yang bukan untuk peruntukannya, atau mereka yang sengaja mencari-cari tempat yang “nyaman” untuk melakukannya, telah membuat keprihatinan banyak pihak. Bahkan seorang warga masyarakat dengan gaya menyindirnya memberikan kata-kata dalam sebuah surat kabar,” Mau melihat pemandangan hot? Lihatlah di Kaliadem, Bebeng, Kaliurang. Dilakukan oleh remaja, bagai pasar bebas, bahkan pada Sabtu malam banyak mobil goyang”.

Memang, fenomena yang ada dipicu oleh banyak faktor. Tidak cuma sekadar minimnya ruang publik namun juga pengaruh media, cara pandang dan atmosfer kebebasan yang menyelimuti lingkungan kita. Lebih rentan lagi dengan anak-anak. Prinsip modelling memungkinkan mereka untuk meniru apa yang mereka lihat dan rasakan dari lingkungannya. Apalagi dengan akumulasi stimulus sex, kekerasan dan perilaku hedonisme yang bertebaran di media dan lingkungan secara nyata. Bagaimana mereka menyikapinya?

Di tengah menyempitnya lahan di perkotaan serta beban hidup masyarakatnya, hal ini menyulitkan mereka dalam mendapat tempat yang nyaman untuk bersantai. Lalu, apakah itikad untuk menambah ruang-ruang publik itu merupakan untuk mewadahi para pelaku PDA? Tentu (dan diharapkan) tidak sekadar pemikiran seperti itu yang ada dalam visi dan misinya. Untuk dikatakan sebagai ruang publik yang memadai, diperlukan beberapa persyaratan sehingga ruang ini menjadi menarik dan menyenangkan untuk berinteraksi dan beraktivitas. Akan lebih baik jika disediakan fasilitas-fasilitas yang menunjang unsur prokreasi untuk bermain, bersantai dan belajar dalam arti luas. Bagi yang ingin berolahraga basket, skate board, lari, senam dan sebagainya, tersedia fasilitas untuk itu. Bagi yang ingin ngobrol santai, diskusi di ruang terbuka, ataupun berlatih seni budaya pun ada tempatnya di ruang terbuka sehingga bisa menajdi “tontonan” pula bagi yang lain. Bahkan, bagi yang sekadar menggembalakan anjingnya pun, bisa!

Penulis jadi membayangkan bagaimana nantinya realisasi kompleks Taman Budaya- Taman Pintar-Benteng Vredeburg. Tiga aktivitas dalam menikmati dan menyelami produk-produk seni dan budaya, menimba ilmu dan pengetahuan serta internalisasi nilai-nilai kepahlawanan lewat penghargaan terhadap sejarah bangsa, bisa dimulai secara santai dengan one stop step. Jadi, penataan taman-taman kota dan ruang publik semacam ini mampu meminimalisir perilaku menyimpang, bukannya sekadar memberi tempat untuk duduk-duduk santai tapi mesra.

Catatan:

MEWASPADAI TV SEBAGAI ORANG TUA KEDUA BAGI ANAK, artikel opini

Seorang ibu sibuk dengan urusannya sendiri, sementara anaknya dibiarkan menonton televisi tak jauh darinya. Otomatis, televisi pun ditonton bersama-sama. Namun, pemegang kekuasaan bagi remote control adalah sang anak. Mereka terpaku pada adegan yang ditampilkan sinetron itu, sebuah pertengakaran dengan mimik yang berlebihan. Sebuah pelototan yang berlebih, umpatan yang berlebih, volume suara berlebih. Setelah tersadar oleh iklan, baru sang ibu menyarankan agar mengganti dengan tayangan yang lain yang tidak berisi pertengkaran. Dan tampaknya, sang anak lebih berkuasa. Remote control ada padanya sementara sang ibu tidak terlalu memaksakan pada sang anak.

Pemandangan seperti itu mungkin sudah mulai umum ditemui dalam beberapa keluarga di masyarakat klita. Inilah sebuah persoalan yang terlihat biasa-biasa saja namun membawa sejuta kekhawatiran yang semestinya menjadi kewaspadaan bersama.

Dimana-mana sering kita temui bagaimana keluhan orang tua atas perubahan perilaku anaknya, karena memang benar bahwa belasan stasiun TV mengunjungi pemirsanya hampir 24 jam, dari pagi hingga pagi lagi. TV menjadi kotak ajaib yang menawarkan beberapa mata acara, untuk beragam usia, beragam kebutuhan. Paling riskan adalah anak-anak. Pengetahuan yang dilihat dan dirasakan lebih mudah masuk dengan daya tangkap dan daya saring yang lebih terbatas jika dibanding dengan usianya. Program untuk anak pasti bisa dicerna oleh usia remaja ke atas, sementara semua umur bisa menonton tayangan untuk anak-anak. Artinya, ruang bagi anak jika ia diharuskan untuk menonton acara yang sesuai dengan umurnya, tentu sangat terbatas. Pada tahapan selanjutnya, anak butuh bimbingan orang tua untuk mengonsumsi tayangan yang mempunyai tingkat kerawanan lebih besar. Parahnya, tak selamanya tayangan untuk anak pun baik untuk anak, semisal tayangan Crayon Sinchan yang sejak awal tayangannya beberapa tahun lalu banyak menebar kekhawatiran dan protes orang tua karena menggambarkan anak yang terlampau “nakal” untuk ukurannya. Artinya, tetap harus ada bimbingan orang tua.

Belum lagi, tayangan-tayangan umum yang menyisipkan, bahkan mengumbar, kekerasan, gaya hidup materialisme, pornografi dan pornoaksi. Andai kita menilik ke belakang, saat “demam goyang inul”, gerakan yang dianggap sebagian orang sebagai pornoaksi itu mewabah pada segala usia. Bahkan, dengan bangganya seorang penyanyi cilik Tina Toon mengekornya dengan memperlihatkan keahlian layaknya seorang Inul. Dan, umumnya masyarakat umum pun menganggapnya sebagai bahan kelucuan, hiburan semata. Jika menilik lebih jeli lagi, bagaimana jadinya jika anak-anak ini besar kelak, akankah lebih “mengguncang” dalam hal kontroversial layaknya kontroversi seorang Inul? Dan anak-anak balita pun, beramai-ramai unjuk kebolehan dan keahlian yang oleh orang “yang merasa lebih beradab” sebagai tindakan pornoaksi.

Pngaruh media massa memang bisa dasyat. Satu contoh ekstrim bisa ditilik dari India pada tahun alu. Untuk pertama kalinya setelah dua puluh tahun, hukuman gantung dijatuhkan pada seorang Dhananjoy Chatterje (39 tahun) yang terbukti memperkosa dan membunuh seorang anak 14 tahun. Semua TV mempublikasikannya habis-habisan, termasuk rincian tentang bagaimana Dhananjoy menghadapi maut. Setelah pelaksanaan ekekusi, muncul permainan baru bagi anak-anak yang terinspirasi dari kasus Dhananjoy, yakni gantung ala Dhananjoy. Dari apa yang dilihat dan didengar, anak-anak meniru eksekusi Dhananjoy. Anak-anak antusias dan punya rasa ingin tahu yang besar terhadap detail eksekusi Dhananjoy. Naasnya, tak kurang dari 3 anak yang tewas ketika memerankan sebagai Dhananjoy, serta beberapa diantaranya cedera serius.

Bagi orang dewasa, boleh jadi pengaruhnya tidak secepat itu. Berbagai stimulus yang hadir lewat media ataupun pada lingkungan sosialnya, akan berpengaruh tidak dengan serta merta. Faktor intelektual bisa menjadi andalan bagi seseorang untuk mampu mengendalikan dirinya terhadap stimulus-stimulus, baik berupa stimulus imajinatif maupun erotik. Joseph Klapper yang pernah meneliti secara komprehensif tentang efek media massa, menyebutkan bahwa media akan efektif dalam mengubah sikap pada bidang dimana pendapat seseorang ada pada titik lemah. Artinya, pada kondisi di titik lemah, boleh jadi seseorang berusia dewasa dapat naik dan berubah sikap akibat stimulus media. Apalagi ketika stimulus itu selalu datang, menumpuk, menumpuk dan terakumulasi sehingga acap kita dengar berita yang kurang masuk akal, ketika misalnya seorang ayah tega memperkosa anak kandungnya, ketika seorang dosen yang semestinya punya nalar intelektual lebih pun bunuh diri, dan sebagainya. Miris lagi, ketika seorang anak usia delapan tahun “bisa” memperkosa anak di bawah umurnya, dengan alasan setelah melihat tayangan televisi dan vcd porno.

Berberapa bukti telah menyebutkan adanya korelasi antara kekerasan di media dengan dorongan untuk melakukan hal yang sama. Semisal, hasil penelitian seorang dosen FISIP Undip menyebut bahwa 33 anak dari 40 anak mengaku memperoleh pengetahuan kekerasan melalui TV. Diantara anak-anak itu, 26 anak mengaku terdorong dan menikmati berbagai adegan kekerasan tersebut. Dengan demikian, agresivitas anak yang sering melihat adegan kekerasan pun meningkat.

Pada posisi seperti ini, media dipojokkan sebagai “biang keladi”. Tapi, apakah cukup demikian? Toh, media punya apologi dan tak semua hal itu disebabkan oleh media an sich.

Apabila dikembalikan pada hakikat manusia yang memiliki tahapan-tahapan tertentu untuk mengambil keputusan secara moral dan intelektual melalui penalaran kognitif, maka dikatakan bahwa perilaku atau perubahan sikap menunjukkan tingkat kematangan individu untuk mengambil keputusan moral atas berbagai stimulus yang diterima dari media.

Melalui kebutuhan anak akan tayangan TV yang “bagus” dalam artian menarik, edukatif, nir-kekerasan dan sebagainya, sudah selayaknya anak diarahkan pada tayangan yang berkualitas. Sayangnya, meski ada pengkotakan tayangan sesuai umur, namun tak selamanya tayangan anak ataupun tayangan untuk segala umur baik untuk anak. Cobalah cermati beberapa tayangan anak. Tayangan-tayangan itu tentu saja menampilkan konfilk, sesuatu yang wajar, untuk mengajarkan adanya sisi hitam-putih sebagai realitas kehidupan. Namun, kadangkala begitu dominannya adegan permusuhan, mata yang melotot berlebihan ketika bertengkar, perilaku-perilaku kekerasan, umpatan-umpatan yang tak sepatutnya diberikan kepada anak-anak, dan sebagainya. Lihatlah pula bagaimana tayangan anak pun dibumbui rasa ketertarikan layaknya drama percintaan remaja. Bagaimana pula seorang Brutus berusaha mengambil hati Olive dan mencelakai Popeye?

Seorang anak memang tidak mungkin diisolir dari konflik dan gambaran konflik dalam kehidupan ini. Hanya saja, perlu diwaspadai bagaimana memberikan pemahaman yang tepat, untuk mengimbangi kemungkinan negatif dari apa yang mereka serap. Artinya, lagi-lagi, inilah tuntutan bagi orang dewasa dan orang tua yang ada di sekitarnya. Juga pemerintah yang bertugas untuk memberikan regulasi pada peningkatan kualitas masyarakatnya menuju kehidupan yang lebih bermartabat.

Ya, TV memang membawa dua kemungkinan, yakni ke arah positif dan ke arah negatif. Dalammenyikapinya, ada sebagian masyarakat tradisional ekstrim yang bahkan “no way for TV”. Tapi, bukankah dari TV pula kita tahu informasi tetnang kebijakan pemerintah, kejadian-kejadian aktual di bumi ini, perkembangan iptek dan sebagainya? Dari TV pula kita bisa tahu bahwa adat dan budaya suku-suku lain, tempat wisata, bahkan mengkaji kitab suci. Dari tayangan anak “Surat untuk \Sahabat” pun orang dewasa bisa menikmati bagaimana kita merasa dekat dan dapat merasakan keseharian serta kearifan suku-suku mereka. Maka, untuk mengambil sisi positifnya, diperlukan kearifan dari orang tua untuk lebih bersikap kritis membaca media, termasuk TV ini. Dengan kearifan ini pula kita mendidik dan memberi bekal yang cukup bagi mereka dalam menghadapi kehidupannya kelak. Orang tua lah the gatekeeper bagi anak-anak mereka. Dengan demikian, TV sekadar menjadi alat bantu, bukannya justru menjadi orang tua kedua bagi anak, apalagi menggantikannya!

Catatan:
dibuat Agustus 2005, dikirim ke koran Merapi...kayaknya dimuat...karena ada honor mampir ke rumah tp aku tak tau tulisan yg mana itu yg dimuat

Menuju TVRI Sebagai TV Publik, sebuah artikel

Menuju TVRI Sebagai TV Publik:
TAK KENAL MAKA TAK SAYANG,
TAK SAYANG MAKA TAK MERASA MEMILIKI
Oleh: Maya Fitrianingsih

Takjub pula bila saya mengingat masa lalu. Tiap Sabtu malam, saya yang masih duduk di bangku awal Sekolah Dasar, berbondong bersama kakak, ibu, kadang pula bapak, menuju rumah Lik Kismo, tetangga kami. Di sana kami bertemu beberapa keluarga lain yang punya tujuan sama: menonton ketoprak yang ditayangkan TVRI Jogja (TVRI stasiun Yogyakarta).
Sesekali kami ingin menonton lebih lama. Tak lupa saya membawa kain sarung untuk selimut sehingga waktu acara Dunia Dalam Berita saya bisa tidur dulu tanpa kedinginan. Selepas siaran berita tiap pukul 21.00 WIB itu, kami bisa menonton film, kuis atau hiburan musik. Betapa mahalnya sebuah tontonan televisi, bukan sekadar karena tak punya pesawat televisi tapi TVRI-lah the single fighter televisi saat itu.
Minggu pagi, cerita anak-anak Unyil, klip-klip musik yang dirangkum dalam acara Album Minggu serta seri Little Missy yang saya nantikan. Saya jadi ingat, betapa Little Missy menjadi cerita hiburan yang merogoh emosi penonton, mirip halnya Maria Mercedes yang merebut hati penonton dan mengawali booming cerita telenovela beberapa tahun lalu. Masih ada pula catatan di otak saya pada tayangan yang melegenda seperti Jendela Rumah Kita, Siti Nurbaya dan Sengsara Membawa Nikmat.
Ya, itu sekadar nostalgia yang hanya sesekali saja menyenangkan untuk dikenang. Potret sejarah. Yang berbicara betapa TVRI telah puluhan tahun menemani penontonnya, meninggalkan sebagian jejak-jejaknya dalam ruang memori saya. TVRI telah 43 tahun menuliskan sejarahnya sejak siaran percobaannya pada HUT RI ke-17 di Istana Merdeka hingga seminggu kemudian mulai mengudara lewat siaran langsung pembukaan Asian Games IV (24 Agustus 1962).
Saya tergelitik dan secara tak sadar mencoba membuka ruang nostalgia acara-acara TVRI dan membawa saya untuk mengaduknya bersama pengalaman dan kesan yang saya rasa mengendap pada ruang sadar saya.
***
TVRI sebagai corong pemerintah di masa Orde Baru, siapa pun mafhum itu. Sebelum munculnya televisi swasta, TVRI sebagai media audio-visual satu-satunya, siapa pun tak menyangkal. Tapi, begitu televisi swasta muncul, segera penontonnya berpaling. Tahun 1994, SRI (kini AC Nielsen, salah satu peneliti media), menyatakan bahwa jumlah penonton TVRI tinggal 5 % (Viddy AD Daery, Republika, 1 April 2001).
Selepas tumbangnya Orde Baru, terlihat bagaimana TVRI mulai “mencari bentuk” sehingga acap kita dengar bagaimana upaya TVRI mereposisi diri menuju sistem yang lebih ideal.
Diantara dinamika demokratisasi di segala bidang, Juni 2000, dikeluarkan PP No. 36/ 2000 tentang perubahan status TVRI menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan). Pada perkembangannya UU No. 32/ 2002 tentang penyiaran menyebutkan TVRI sebagai lembaga penyiaran publik atau TV publik. Berdasar pada UU ini pula, TVRI diberi waktu 3 tahun untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian sebelum siap sebagai TV pulik. Akte notaris pendirian PT TVRI (Persero) ditandatangani 15 April 2003 sehingga sempat muncul polemik di masyarakat tentang keberadaan TVRI. Namun, satu yang pasti, TVRI sebagai TV publik efektif berlaku mulai 1 Desember 2005 ini (demikian keterangan yang saya peroleh dari TVRI Jogja).
Ada satu pengalaman yang sempat membuat saya patah arang dan memaki diri sendiri. Waktu itu, masih masa awal TVRI menggunakan slogan “makin dekat di hati”. Saya mendapat hadiah/ doorprize dari acara Resensi Buku TVRI Jogja. Setahu saya, bentuk hadiahnya adalah buku. Lain hari, saya coba ambil di stasiun yang sama. Petugas yang berkompeten tak ada, “keluar” tanpa kejelasan urusan apa. Padahal, untuk mengambil hadiah, musti pada yang bersangkutan. Nah, inilah stereotip sosok PNS yang suka “mangkir”, begitu pikir saya. Maka, mengalahlah saya. Beberapa hari kemudian, saya datang lagi, tak berubah. Pengalaman yang sama. Sejak itu, saya coba ikhlaskan untuk tidak mengharap lagi hadiah itu. Untung saja, meski rumah saya cukup jauh namun tak berada di pucuk gunung sehingga saya tak terlalu kecewa jika biaya transportasi ke stasiun itu sama dengan harga bukunya. Tak ada kejelasan selepas itu. Toh, kalaupun TVRI akan mengirimkan lewat pos atau meminta konfirmasi ke saya, mereka tahu alamat saya. Satu hal yang saya rasakan waktu itu, betapa ironisnya pengalaman ini dengan slogan yang mulai didengungkan. TVRI bukannya makin dekat tapi makin jauh di hati.
Setelah beberapa tahun, tepatnya awal Agustus 2005 ini, ketika saya tahu iklan lomba artikel yang diadakan TVRI pusat (Jakarta), saya coba cari informasi selengkapnya di internet, termasuk website TVRI. Hasilnya teramat susah dan untuk sementara pulanglah saya dengan tangan hampa. Saya coba tanya ke TVRI Jogja yang menurut logika saya tentunya tahu informasi itu. Ternyata asumsi saya keliru. Nyatanya, personel yang mengepalai bagian siaran pun, tidak tahu. Padahal, ke sanalah saya direkomendasikan untuk bertanya. Menggunakan “bahasa pelayanan” atau retorika yang bagus dan simpatik meski sempat bikin kecewa pula ketika saya minta konfirmasinya lewat e-mail. Jadi, saya tunggu via telepon, hasilnya pun belum terlihat hingga beberapa hari. Tapi untunglah, akhirnya saya dapatkan informasinya lewat e-mail dari TVRI pusat (Jakarta). Saya pun tersenyum! TVRI sebagai TV publik! Saya adalah bagian dari masyarakat/ publik itu, tentulah TVRI milik saya pula. Secara tak langsung, orang-orang seperti saya pun turut membiayai TVRI. Inilah bagian dari TVRI sebagai keluarga saya.
Kebijakan untuk mereposisi TVRI sebagai TV publik memang sebuah keniscayaan dan bentuk yang dinilai paling ideal. TVRI sebagai lembaga penyiaran publik dimaksudkan untuk menyuarakan dan melayani masyarakat. PP No. 11/ 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Publik menyebutkan bahwa lembaga penyiaran publik (seperti RRI dan TVRI) selain menyiarkan informasi-pendidikan-buadaya-hiburan juga berfungsi sebagai identitas nasional, pemersatu bangsa dan pembentuk citra positif bangsa. Siarannya harus independen, netral, tidak komersil dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat.
Tak ayal, TVRI menghadapi banyak tantangan. Selain perjalanan sejarah yang menuntut gerak dinamis, sumber daya dan kemampuan negara dalam membiayainya pun menjadi kendala yang ada di depan mata. Belum lagi keberadaan TVRI diantara belasan TV swasta yang sedang pada posisi puncak. Masih ada pula TV swasta yang ada di daerah. Hingga Juli 2005, tercatat 53 stasiun TV baru, yang sebagian besar adalah TV swasta lokal, mengajukan permohonan ijin siaran ke Komisi Penyiaran Indonesia dan Kementrian Komunikasi dan Informasi (Bali Post, 28 Juli 2005).
Pada kondisi inilah TVRI dituntut mampu menancapkan diri sebagai pilihan yang didambakan penontonnya. Dengan lebih dari 7000 karyawan dan hampir 400 jumlah stasiun pemancar, menjangkau 82 % penduduk Indonesia, TVRI punya posisi strategis untuk menwujudkan harapan masyarakat.
Penelitian AC Nielsen tahun 2000 telah mengindikasikan bahwa di tengah suasana “mabuk televisi”, masyarakat sebenarnya punya kesadaran intelektual untuk lebih kritis menilai tayangan TV. Tak semua penonton televisi merupakan orang yang berorientasi ke kota besar. Artinya, meski TVRI sering diberi stempel “kampungan” tapi tak apalah. Yang lebih penting adalah bagaimana mengemas budaya dan nilai-nilai bangsa. Tinggal yang dibutuhkan adalah kreativitas agar budaya itu lebih membumi dengan kondisi sekarang. TVRI tak perlu mengekor arus TV swasta yang terlampau banyak menjual mimpi dan menempelkan muatan kekerasan, seks dan drama air mata dalam menunya.
Hingar- bingar TV swasta sekarang ini, membuat kita pun mafhum jika TV masih menjadi tempat favorit belanja iklan. Setahun selepas krisis ekonomi tahun 1997, frekuensi belanja iklan di media terus meningkat tahun per tahun, terutama di media televisi. Bahkan, kini, belanja iklan Cina dan Indonesia tercatat sebagai yang tertinggi di antara 12 negara Asia Pasifik (tempointeraktif.com, 28 Januari 2005).
Kondisi pasar yang seakan acuh tak acuh dan lebih mendewakan TV swasta, mengisyaratkan agar TVRI lebih kreatif untuk meraup pasar, tanpa terjebak untuk latah menuruti selera pasar. TVRI bisa membentuk penontonnya, bahkan membentuk selera pasar. Mekaisme televisi sebagai sebuah media, punya kemampuan untuk itu. Artinya, TVRI musti membenahi diri dari sisi program, pengemasan acara dan manajemen pengelolaan.
Saya jadi ingat program-progranm yang ditayangkan TVRI Jogja. Konon, TVRI Jogja selama 2004 dinilai oleh AC Nielsen memperoleh angka rating share tertinggi dibanding TVRI se-Indonesia (tvrijogja.co.id). Jika dihubungkan dengan slogan TVRI Jogja “never ending creative”, memang, saya akui bahwa acara dagelan “Obrolan Angkring” ataupun pagelaran “Pangkur Jenggleng” punya penggemar fanatik. Begitu pun dengan infotainment “Plengkung Gading”. Berita-berita lokal yang disajikan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jawa, cukup pantas untuk selalu dinantikan. Namun, fragmen “Mbangun Desa” yang sempat menjadi acara favorit beberapa tahun yang lalu tampaknya musti dibenahi karena terkesan “hanya seperti itu-itu saja” sehingga masyarakat menjadi jenuh. Apalagi ketika produksinya macet sehingga yang muncul hanyalah tayangan ulang.
Berangkat dari pengamatan dan pengalaman bersama TVRI, kiranya “api nan tak kunjung padam” (mengingat slogan “almarhum” Departemen Penerangan yang dulu membawahi TVRI) masih sangat layak menjadi perumpamaan bagi daya juang mewujudkan TVRI sebagai TV publik, TV yang berpihak pada kepentingan masyarakat, selalu dibutuhkan dan dinantikan oleh masyarakatnya. Oleh karena itu, penting untuk mengupayakan perwujudan slogan TVRI sendiri, “makin dekat di hati”. Tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak merasa memiliki. Pada dasarnya, dibutuhkan pondasi untuk bisa menumbuhkan self belonging, rasa memiliki pada masyarakat yang sebenarnya memilikinya. Dengan demikian, tumbuh rasa dekat di hati sebagai syarat utama bahwa TVRI sebagai televisi milik negara dan masyarakat, musti menyempurnakan diri, dimulai dari hal-hal kecil. Kesempurnaan disusun oleh hal-hal yang kecil. Dan kesempurnaan bagi TVRI itu merupakan sebuah paket berisi: program, kemasan dan manajemen pengelolaan. Ketika tak ada lagi kesal di hati, yang ada adalah rasa memiliki maka TVRI akan terus ada di hati. Bravo TVRI! 


Catatan:
ini mah tulisan waktu ada lomba nulis oleh TVRI. Tapi...ini tulisan sebenernya sama sekali belum sreg...aku terburu2x sie buatnya, tapi ya...akhirnya jadinya sejelek ini.

SAHABAT, puisi

SAHABAT I


Sahabat,

Walau kita jauh terpisah

Dapatkah kulihat ketulusan?

Maafkan bila masing-masing kita sulit berbicara

hingga terpendam jauh gumpalan ketidakpuasanmu

Kalaulah kau muntahkan debu ketidakpuasanmu

Akankah masing-masingkita kecewa

Kalaulah salah satu di antara kita tak kuasa

dan bersembunyi di balik mendung kemerahan

Mungkinkah kita kembali menyembul menepis awan kelabu

Mungkinkah



dagen_pvr, sembilan enam



SAHABAT II


Sahabat,

Aku khawatir bila tiba-tiba

satu diantara kita tak kuasa

setelah kita bersatu lari menggebu

menembus awan kelabu

namun saat angin kencang membelenggu

titik-titik embun terlanjur menyatu

dan memaksa angin bersatu

Masihkah awan berwarna putih

Mampukah bangkit hadir kembali

menantang matahari yang bersembunyi

di malam hari

dan menentangnya keesokan hari



dagen_pvr, sembilan enam


Hehehe....itu mah puisi jadullll, wkt SMAttg seorang sahabat gw yg sekaranggw juga gak tau gimana kabar dy. Udah lost contact

MENGHADAPI KEGAGALAN, tulisan berupa kiat2x

MENGHADAPI KEGAGALAN


Apapun upaya yang kita lakukan, pasti kita mengharapkan hasil terbaik. Tapi, dalam kenyataannya, perjuangan berujung pada dua kemungkinan: sukses dan gagal. Apapun hasilnya, demikianlah buah usaha yang telah kita lakukan. Dari sana, kita bisa membaca diri sendiri serta mengevaluasi agar di kemudian hari kita berkembang menjadi lebih baik lagi.

Bagi yang telah sukses, hendaknya jangan langsung sombong dan berbangga diri. Ibaratnya, di atas langit masih ada langit. Pasti ada orang lain yang lebih hebat dari pada kita. Bila rasa puas sudah merajai hati, pastilah kehancuran yang akan menyertai. Dengan perasaan puas, kita akan merasa cukup dengan hasil yang telah dicapai sekadar itu. Kita enggan berusaha lagi. Akhirnya, tidak akan ada kemajuan. Dan kita tetap jalan di tempat sedangkan dunia di luar sana telah berlari dan segera meninggalkan kita. Rasa puas hanyalah hambatan untuk maju.

Sementara bagi yang gagal, yang penting bukanlah menyesali apa yang telah terjadi. Yang terpenting adalah: bagaimana seharusnya kita menghadapi dan menyikapinya.
nah, langkah seperti apakah yang sebaiknya dilakukan untuk menghadapi dan menyikapi kegagalan? Berikut ini beberapa hal yang perlu diperhitungkan, direnungkan untuk kemudian dilaksanakan.

Introspeksi diri
Temukan apa kekurangan, baik itu berupa kelemahan individual yang telah kita sadari sebelumnya ataupun kekurangan yang selama ini belum kita sadari. Pahami persoalannya sehingga dengan begitu ada trik-trik yang kita temukan sebagai usaha untuk membenahi diri.

2. Siapkan mental

Seringkali, kegagalan membuat kita rendah diri atau minder. Sesungguhnya, tiap orang punya bakat untuk suskses. Hanya saja, kesuksesan itu terkadang tertimbun oleh munculnya kegagalan. Kalau hal ini berujung pada rasa minder yang tak berkesudahan maka sama halnya dengan menimbunnya lebih jauh sehingga butuh waktu dan tenaga yang sangat besar untuk membongkar dan mennemukan kesuksesan itu. Jadi, harus ada keyakinan untuk kembali berjuang mendapatkan mutiara kesuksesanitu.

3. Siapkan jurus-jurus selanjutnya

Agar perjuangan menjadi lebih mantap, perlu disiapkan jurus-jurus yang lebih jitu, lengkap dengan perbaikan-perbaikan dari pengalaman. Persiapan yang baik merupakan setengah kemenangan. Apalagi setelah berproses dari kegagalan, semestinyalah persiapan untuk memperjuangkan kembali apa yang ingin kita capai itu menjadi lebih besar sehingga kemungkinan suksesnya pun menjadi lebih besar.

4. Tekun dan Gigih

Hasil adalah buah dari usaha. Jadi, dengan usahalah kita bisa berhasil. Menurut Disraeli, rahasia sukses ialah ketekunan terhadap tujuan. Jadi, ketekunan berusaha tentu saja mutlak diperlukan.

5. Sadar bahwa perjuangan tak semulus harapan

Perjuangan butuh kegigihan, ketrampilan dan keuletan. Dengan persiapan berupa kesadaran demikian, kita dapat mewujudkan tujuan tersebut. Dengan demikian, harapan tak sekadar keinginan, mimpi dan fantasi yang membumbung tinggi dengan ketidakpastian layaknya balon dilepas di udara. Nothing is impossible but nothing is easy.

6. Jadikan doa dan usaha sebagai pedoman

Doa dan usaha adalah kunci utama dan paling utama. Kita berusaha, Tuhan yang menentukan. Bisa saja kita di dunia dianggap sukses namun di kehidupan selanjutnya belum tentu demikian. Tuhanklah yang maha segalanya. Dengan keseimbangan maka ada dua kesuksesan yang kita harapkan, kehidupan kini dan kehidupan yang akan datang. Di samping itu, hati pun jadi tenang. Kebahagiaan ada pada jiwa dan raga.



Jadi, menapaki sukses memang butuh uji nyali. So, siapa takut!!

Catatan: ini mah tulisan jaduuul bgt, waktu SMA

MENELUSURI PEMIKIRAN KUNTOWIJOYO, sebuah resensi

Judul : Muslim Tanpa Mitos: Dunia Kuntowijoyo
Penulis : Syafi'i Ma'arif, dkk
Pengantar : Suyanto
Penerbit : Ekspresi Buku
Cetakan : 1, Mei 2005
Tebal : 245

Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, begitulah kata peribahasa. Namun, ketika kematian-lah yang menjemput seorang Kuntowijoyo (pada 22 Februari 2005) maka yang tertinggal adalah sejumlah buah pikir dan sehimpun kenangan yang melekat pada pribadi-pribadi yang akrab dengan kehidupan sosial maupun intelektualnya.
Paling tidak, ada tiga julukan yang dinisbatkan pada Kuntowijoyo: sejarawan, sastrawan dan pemikir sosial-politik. Kunto merupakan salah satu diantara sedikit tokoh intelektual Indonesia yang memiliki pandangan holistik, lengkap dan utuh terhadap masalah-masalah keilmuan, keagamaan dan kesenian. Dialah tokoh intelektual yang mencetuskan gagasan profetik dalam pemikiran ilmu-ilmu sosial di Indonesia.
Sebelum melihat bangunan teori sosialnya, Kunto mengajak untuk melihat beberapa tahapan perkembangan masyarakat yang meliputi tahapan 1) mitos, 2) ideologi dan 3) ilmu.
Tahapan mitos yang berlangsung sebelum abad ke-19 hingga awal abad ke-20, ditandai oleh cara berpikir mistis yang mengandaikan bahwa dunia ini dipengaruhi oleh kekuatan- kekuatan keramat. Mitos lama biasanya terkait dengan legitimasi kekuasaan yang dimunculkan melalui slogan bahwa raja adalah titisan dewa, ataupun beberapa hal yang dianggap sebagai keharusan dan pantangan. Kuatnya keterkaitan emosi beraroma irrasionalitas semacam inilah yang menggerakkan masyarakat. Namun demikian, mitos tak cuma ada pada masa lalu. Di jaman kontemporer, ia pun muncul muncul dengan gagah semisal dengan ungkapan atau frase "keperkasaan pria", "ramuan Madura", "kelangsingan tubuh", "kualitas ekspor" dan sebagainya.
Pada tahapan ideologi, orang bergerak tidak sekadar mengikuti apa kata pemimpin tapi mulai menggunakan pertimbangan yang jelas sehingga orang menyalurkan kepentingan secara kolektif. Dengan demikian, muncullah organisasi-organisasi modern (semacam Sarekat Islam) yang tidak lagi dipimpin elit desa (ulama, tokoh kharismatik, kiai) tapi elit kota (orang biasa, pedagang). Tahapan ini merentang hingga tahun 1955 dimana umat Islam begitu gegap gempita dengan pertarungan ideologi. Alhasil, Orde Baru melakukan deideologi ekstrim yang secara resmi diberlakukan mulai tahun 1985 dengan memaksa parpol berasas tunggal Pancasila.
Dari sini, Kuntowijoyo mengajak untuk menjadikannya sebagai jembatan untuk meretas era baru, yakni tahapan beragama dengan ilmu, melihat fakta dari sudut objektif. Dengan begitu, Kuntowijoyo mewariskan semangat serupa frase khasnya "Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas". Hal ini masih dirasa penting karena pada kenyataannya, sebagai cara berpikir, mitos dan ideologi bisa muncul kapan saja secara overlap, bahkan di jaman robotik sekarang ini.
Dalam menggagas teori sosialnya tentang Ilmu Sosial Profetik (ISP), Kunto memijakkan tafsirannya dari Al Qur'an 3:110 yang secara tekstual merujuk pada 3 dominasi karakter, yakni amar ma'ruf (humanisasi), nahi munkar (liberasi) dan tuk'minunah billah (transendensi). Yang pertama, memiliki muatan untuk memanusiakan manusia sesuai peran budayanya. Yang kedua, meliputi upaya untuk membebaskan manusia dari penindasan dan perbudakan sistem budaya. Dan yang ketiga, mencakup perlawanan kreatif dan intelektual serta religi-spiritual terhadap ideologi budaya sekuler yang kemudian dibawa pada ruang keyakinan agama (Islam).
ISP bukan sekadar dimaksudkan sebagai kerangka teoritis dan metodologis untuk sekadar menjelaskan dan mengubah fenomena sosial yang ada. ISP harus diiringi dengan interpretasi, refleksi dan aksi yang mengarahkan, mendorong serta merubah dan merekonstruksi realitas sosial sesuai nilai-nilai keagamaan yang telah ditunjukkan oleh wahyu suci Islam (halaman 123)
Menelusuri gagasan seorang Kuntowijoyo, terlihat bahwa paradigma ISP dan metode strukturalisme transendentalnya telah dipikir, digagas dan dijelajahi secara kreatif sejak awal karir intelektual dan kepengarangannya.
Membaca buku ini, Muslim Tanpa Mitos: Dunia Kuntowojoyo, kita diajak untuk menelusuri kembali gerilya intelektual Kunto yang mengkristal tak cuma dari buku-buku dan esainya namun juga muncul pada karya-karya kreatifnya. Kita dapat melihat tebaran ideologi yang menghampar dalam karya cerpen atau novelnya.
Satu kelebihan dari karya-karya Kunto, ia biasa menggunakan bahasa yang segar dan jernih. Siapa pun akan betah membacanya hingga akhir. Sebagai individu, Kunto dikenal sebagai pribadi yang bersahaja, tak pernah mempunyai musuh. Kritik-kritik tajamnya dibingkai dalam bahasa yang sopan. Bahkan sebagaimana diungkapkan Syaafii Ma'arif, wajah Kunto ibarat wajah surga.
Buku ini merupakan kumpulan esai tentang Kuntowijoyo, karya dan pemikirannya. Terdapat nama antara lain Suyanto, Muhidin MD, Nasiwan, Syafii Ma'arif, Binhad Nurohmat dan mbeberapa penulis lain. Dilengkapi pula sebuah sajak yang ditulis oleh Suminto A Sayuti untuk mengenang Kuntowijoyo.
Pada babak awal buku ini, menyoroti ide-ide Kuntowijoyo. Tak ayal, sebagai konsekuensinya, pembahasan mengenai ide Kunto acap tumpang-tindih antara satu penulis dengan penulis yang lain meski pembagian wilayah bahas sudah coba dilakukan. Dan tampaknya, hal ini pun sah-sah saja karena, memang, ia tokoh intelektual istimewa.
Pada babak kedua buku ini, disajikan kesaksian berupa penuturan ataupun penilaian Emha Ainun Nadjib, A Adaby Darban dan Chairil Anwar tentang sosok Kunto. Dan tak ketinggalan, karena buku ini diterbitkan oleh sebuah lembaga pers mahasiswa, yang sewajarnya peduli pada kancah pemikiran intelektual sehingga memunculkan ide untuk mengapresiasi pemikiran Kunto lewat sebuah buku, maka produk buku itu pun memuat tulisan hasil reportase dengan keluarga dekat Kunto. Pembaca diajak menelusuri gerilya pemikiran dan kehidupan Kunto, sebagai pengantar untuk selanjutnya kita menyusuri sendiri warisan Kuntowijoyo hingga ke gang-gang yang paling sempit. *** (Agustus 2005)

Catatan: resensi ini pernah aku kirimkan ke sebuah media massa di Jateng, tapi kayaknya gak dimuet, hehehe. Males sie ngecek2x...yg penting, kalo duitnya gak masuk ke rekening kan ya gak dimuat, to? Biasa aja. Kebetulan ini buku terbitan anak2x EKSPRESI

BAPAKKU KEKASIHKU, sebuah cerpen lama

BAPAKKU KEKASIHKU
Oleh: Maya Fitrianingsih

“Dek, apa yang kamu cari dalam hidupmu sekarang ini? Apa yang ingin kamu dapatkan? Walaupun aku ini bukan malaikat, aku harap, aku bisa mewujudkan keinginan-keinginanmu. Paling tidak, bisa membantumu. Semua tergantung padamu, apa kamu percaya padaku, atau tidak,” kata-kata Okan tidak terlalu persuasif. Meski begitu, sudah cukup menyentuh hatiku untuk mempertimbangkan apa yang dia tawarkan.
“Aku ingin banyak hal yang tidak aku dapatkan selama ini. Aku benci keterbatasan-keterbatasan ini, Kan! Aku ingin hidup bebas dari himpitan persoalan yang melingkar-lingkar dan membentuk spiral di tubuhku ini. Aku ingin lari, Kan,” aku menjerit lirih tanpa menjawab pertanyaannya.
Sebenarnya kurang sopan juga aku memanggil laki-laki di hadapanku ini dengan “njangkar” tanpa embel-embel apapun di depan namanya. Tapi, nama Okan tampak begitu familiar di telingaku. Lagipula aku bisa menganggapnya seperti teman sebaya. Dia tidak mempermasalahkan. Dia selalu bisa menanggapi apapun yang aku perbincangkan, meski usianya dua belas tahun diatasku. Bicara dengannya tak ada matinya. Kadang tak ada ujung pangkalnya, tapi lebih seringnya aku mengiyakan pendapatnya. Dia bukan orang yang mau menang sendiri. Ia menghormati pendapat-pendapatku dan meluruskannya jika dirasa kura ng tepat. Bersamanya, aku diajak untuk lebih bijaksana melihat persoalan dan memandang sesuatu dengan lebih sederhana. Di waktu-waktu yang lain, ia bisa menjadi bapak sekaligus kekasih yang aku dambakan.
Secara emosi aku belum terlalu tergantung padanya. Ada beberapa orang yang menjadi tempat pelarianku manakala pikiranku kacau dan butuh ketenangan. Ada teman dan sahabat yang concern dengan apa yang terjadi padaku. Okan adalah salah satu alternatif yang selalu bisa menentramkan dan menenangkan hatiku. Seperti sebuah kebetulan, ia selalu ada manakala aku membutuhkan.
Aku dekat dengannya. Sering ketemu dengannya, secara sengaja ataupun tidak. Kalau tidak ada kesempatan untuk bertemu secara kebetulan, biasanya aku merasa perlu untuk mencarinya, sengaja agar bisa bertemu dengannya. Bukankah alasan itu bisa dibuat sedemikian rupa sehingga tampak tidak terlalu dibuat-buat. Dan nyatanya aku merasa selalu perlu sosok orang seperti dia. Untuk bercerita tentang hal-hal yang menyenangkan atau sebaliknya, berkeluh kesah. Padanya aku meluapkan semua isi dalam kulit tubuhku ini. Tapi, kadang-kadang aku juga merasa agak sungkan untuk mencurahkan semua padanya. Aku ingin terlihat lebih tegar di hadapannya. Namun aku perlu mengekspresikan apa yang ada di kepala dan tubuh ini, menjadi diriku sendiri, karena hal itu hanya bisa aku lakukan pada segelintir orang, teristimewa pada Okan.
“Kan.....apa kalau aku sering bertemu dengan Okan di sini, istri Okan di rumah tidak curiga?” kembali pertanyaan itu meluncur, berbarengan dengan kepalaku yang mulai bersandar dalam dekapannya. Hawa dingin yang menghangat mengagetkan bulu kudukku manakala tangan Okan maraih leherku.
”Dek, kenapa perlu dipertanyakan lagi. Percaya ama aku, dan itu tanggung jawabku,” kata-kata itu selalu membuatku tenang. Lagian aku juga tak mau digelisahkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak pasti seperti itu.
Hari ini adalah hari ini, esok adalah tanggungjawab esok. Yang penting, hati-hati dan tidak berlebihan. Itu saja, aku kira sudah cukup. Dan aku pikir, aku bukan perempuan gampangan yang bisa dibeli orang dengan sebegitu mudahnya.
Aku mengenal Okan beberapa waktu lalu ketika seorang teman kampus mengadakan syukuran kelulusan. Kebetulan agak gedhe-gedhean sehingga banyak relasi bapaknya yang diundang. Aku yang sebenarnya malas untuk berpesta, untuk menghormatinya, aku datang juga. Dan dari sanalah perkenalan itu membuahkan kedekatan yang makin lama makin lekat.
Setiap ke Jogja, Okan selalu meluangkan waktu untuk menemuiku. Menuruti dan melimpahiku dengan kebutuhan fisikku. Ia ingin aku tampil lebih trendi dan wangi sehingga terlihat lebih menarik di setiap kesempatan. Katanya, untuk menutupi kemuraman di wajahku. Apa iya, pikirku. Aku pikir dari dulu wajahku ya seperti ini. Sendu. Apa iya lebih tepatnya muram? Ah....peduli setan! Setan muram atau setan sendu, memangnya apa urusanku. Toh, manusia saja pada tidak peduli nasibku!
Okan tidak terlalu memperhitungkan apa yang telah ia lakukan dan berikan untukku. Aku lihat sikapnya itu tidak Cuma ditujukan padaku, tapi pada siapapun. Aku respek terhadapnya. Sikapnya yang tidak memandang sesuatu dari segi manfaat secara kasat mata. Dia tidak berpikiran bahwa dengan sesuatu ia harus mendapatkan sesuatu. Easy going adalah nilai plusnya yang lain. Selagi ia bisa, ia selalu menyempatkan diri menemuiku. Hampir tiap hari juga selalu ditanyakan kabarku, meski itu bukan menjadi kewajiban untuk tiap harinya.
Mobilitas yang dijalani Okan lebih banyak dijalani antara Semarang dan Jogja. Juga kota-kota sekitarnya yang terkait dengan bisnis otomotif yang sejak beberapa tahun lalu digelutinya, menyusul melemahnya bisnis real estate (yang katanya kecil-kecilan itu) yang melemah sejak krisis moneter. Jatuh bangun usaha telah membuatnya fleksibel dan teruji dalam mengelola usaha. Karena bisnisnya meluas ke perdagangan produk makanan dan kerajinan khas Jogja maka kesempatanku untuk bertemu dengannya menjadi lebih mudah.
“Kan, aku bahagia dengan apa yang ada selama ini,” akhirnya aku angkat bicara.
”Baiklah, aku percaya Okan. Aku percaya Okan bisa memunculkan gairah hidupku lagi. Aku ingin melupakan masa laluku, aku ingin melupakan cintaku. Aku ingin membahagiakan diriku sendiri. Kan...maafin aku ya, kalo aku belum bisa melupakan dia. Aku masih mencintainya, tapi susah untuk mencari pengganti. Aku tak percaya orang-orang...,” aku ingin cerita panjang lebar tentang Nando yang telah meraih dan menghempaskan aku., namun Okan segera memotongnya perlahan dengan kecupan di keningku.
”Iya, aku tahu. Itu adalah hakmu untuk mencintai siapapun. Dan aku akan tetap mengiringimu. Dati, masih banyak masa depan yang bisa kamu gapai. Gapailah apa yang kamu inginkan. Kamu pasti bisa,” ucapnya.
“Itu hanya satu sisi tentang laki-laki. Masih banyak sisi lain, Dati. Kamu sudah cukup dewasa untuk berpikir hal-hal seputar itu,” lanjutnya.
Sejenak Okan diam untuk meneruskan kembali kata-kata saktinya padaku,“Nanti, jika kau telah dapatkan pengganti yang mana mampu membuat hatimu mantap, berikan cinta dan seluruh dirimu padanya. Aku yakin, pada waktunya, kau akan dapatkan apa yang kamu inginkan, sebagaimana yang telah engkau berikan dengan ketulusan.”.
Aku salut pada Okan. Dia bisa menjadi segalanya untukku.
“Terima kasih,” hanya itu yang bisa aku imbuhkan ke dia.
**
Kegelapan malam merayap di paviliun yang kamu sewa ini. Tempat yang cukup sederhana, namun aku suka. Arsitektur bernuansa lokal seperti ini lebih aku sukai daripada paviliun atau hotel kebanyakan yang lebih suka meniru bangunan modern. Kesannya menjadi biasa dan tidak istimewa. Bukan karena upaya penghematan atau apa, tetapi kadang aku jengah sendiri jika harus bersentuhan dengan hal-hal berbau modernitas. Toh buat apa juga aku mencari fasilitas yang sama saja dengan apa yang aku dapatkan di rumah? Justru akan menjadi semakin tidak istimewa dan membosankan.
Baru pertama kali aku tinggal di paviliun ini, seakan aku telah lama dan akrab tinggal di dalamnya. Dan aku tidak ingin bergegas pergi. Aku mendapatkan suasana berbeda yang aku cari. Di sini.
Bilur-bilur kabut belum terlihat. Pagi masih terlalu dini untuk dimulainya terpaan hangat sinar matahari. Yang aku rasakan hanyalah dinginnya udara bercampur uap air, merayapi udara dan kulit pembungkus tubuhku. Diantara telusupan dingin itu muncullah kehangatan yang menyeruak silih berganti, mencubit dan sesekali menyengat refleks pada ujung syaraf perasaanku.
“Dati, kau sudah lelah? Masuk yuk, udara malam kurang baik untukmu.”
“Tidak, Okan. Aku senang udara ini. Aku tahu nantinya aku akan merindukan saat-saat seperti ini. Aku ingin menikmatinya bersamamu,” pintaku lewat genggaman jemariku di tangannya.
“Baiklah. Aku juga ingin kamu masuk angin, kok!”
“Loh....kok gitu sih alasannya? Jahaaaat deh,” aku sapu dagunya dengan cepat.
“He-he, biar aku bisa mengerik badanmu, bisa menghangati tubuhmu,” simpulnya.
Dan benar, aku semakin lekat padanya.
Malam terus merayap, seperti hari juga yang merangkak kian cepat. Hari berganti minggu, merangkaki bulan. Setengah tahun telah berlalu. Sayangnya, Nando yang telah aku lupakan, belum juga kudapatkan gantinya, selain hanya Okan yang kian lekat di hatiku. Bapakku kekasihku. Mungkin untuk sementara waktu. Aku tahu, suatu waktu, akan kudapatkan pelabuhan terakhirku.
***
utk bapakku-kekasihku, 26 mei 2k4