mayadefitri

Tuesday, July 13, 2010

PERSEMBAHAN UNTUK PENGHUNI PANTAI SELATAN, sebuah pengalaman

Dengarlah curahan rahasiaku ini, cerita yang baru sekali ini aku ungkap. Dengarkan olehmu cerita tentang cinta yang aku alami dengan berdarah- darah dalam jiwaku, yang aku alami dengan segenap hati dan ragaku. Dengarkan paparan pengalamanku yang aku ulik lagi dari lembaran kenangan mengenai “laku” mengatasi problem cinta.
Yup, gila! Rasanya, tak ada kekuatan yang lebih dasyat daripada kekuatan cinta. Itulah yang aku selami ketika aku merasakan dan menghayati alunan perjalanan cinta. Cinta pertama yang memautkan diri dan tak mau lepas dari hatiku hingga rasanya begitu berat aku melepaskan.
Entah bagaimana tiba- tiba aku terinspirasi untuk ke pesisir/ pantai selatan. Tiba- tiba saja aku ingin pergi ke pantai di sebelah selatan kota Jogja. Aku ingin melihat cakrawala sebagai garis pertemuan bumi dengan langit. Dengan ngenggar- enggar hati dan pikiran, di alam terbuka seperti ini aku harap bisa membuang segala gundah, segala sial dan segala perasaan yang aku rasakan sebagai akibat negatif dari pengalaman cintaku bersama Raka.
Maka, tiba- tiba pula aku memutuskan untuk naik bus menuju pantai Samas, pantai di pesisir/ pantai selatan yang sudah lama sekali tidak aku kunjungi. Pantai Samas merupakan pantai yang lebih tenang karena sepi pengunjung. Maklumlah, kalah pamor dengan Parangtritis yang sederetan dengannya.
Pukul 14.30 WIB aku sudah sampai ke sana. Tapi, rasanya, di pantai Samas dan merenungi nasib seperti inhi, tidak akan memberikan kepuiasan juga untukku. Dan tentu, tak cukup heroik karena tak cukup istimewa. Maka, aku pun berjalan ke arah timur. Terus, teruus dan teruuuus.
Rasanya sudah lebih dari satu jam aku berjalan menyusuri pentai, dengan langkah yang tak bisa bergegas. Pasir pantai yang kulalui dengan kaki telanjang, tidak mungkin tidak akan menguras tenagaku. Aku tak peduli lagi bagaimana nantinya.
Namun tiba- tiba, kutemui sebuah sungai. Yup, aku ingat, ini adalah Kali Opak, sungai yang bermuara ke pantai selatan itu. Seingatku, muara sungai ini tidak akan cukup dalam, tentu aku masih bisa memilih di sebelah mana aku akan menyeberang. Namun, kucoba kesana kemari, sungai ini terlalu dalam untukku, dimana pun! Yup, mungkin air yang mengalir sedang banyak sehingga membuatnya berkedalaman yang lumayan. Duh.... jika aku harus kembali ke Samas, tentu terlalu jauh juga. Sudah satu jam aku berjalan. Tak ada orang yang bisa aku ajak bicara. Kecuali mungkin satu orang yang bisa aku tanyakan di seberang sana jika aku mau, yakni seorang berpakaian compang- camping. “Sepertinya sie orang gila. Masa sieh aku mo nanya ke orang gila? Yang bener aja,”aku membatin tidak terima dengan keadaan ini.
Untunglah, di tengah kebingungan itu, kulihat seseorang yang terlihat datang mendekat. Sepertinya ia dari penduduk setempat. Dengan segera kutemui bapak tua itu. “Pak, bagaimana ya saya bisa menyeberang ke sana? Kira- kira di sebelah mana yang tidak terlalu dalam?” tanyaku.
Dan hasilnya, tentu saja aku harus menjawab serentetan pertanyaannya yang cukup heran kenapa ada seorang perempuan yang sendirian di tempat itu. Untunglah si bapak tidak terlalu keheranan ataupun curiga yang tak perlu. Padahal, dalam pandangan mata, sungguh tak ada orang lain yang terlihat selain aku, si bapak tua dan seorang gelandangan di seberang sana! Tapi tak apalah, yang penting aku segera mendapatkan jalan keluar, pikirku.
Dan ternyata, tak ada sisi yang dangkal untuk tubuh bertinggi 150 cm ini! Duuh......mungkinkah aku harus berbasah- basah dengan sekujur tubuhku? Jika aku coba nekat pun, aku tetap tidak berani menyeberang. “Nyawaku cuma satu eiiiyy,” pekikku dalam hati. Maklumlah, aku tak bisa berenang karena memang tak pernah belajar berenang!
“Tuhan, tolong aku,”ingin aku menggenggam hatiku erat- erat agar hatiku ini tak jatuh dan lenyap dari tubuhku. Maka, aku pun meminta saran dari si bapak tua. Dan, tak disangka tak dinyana, si bapak langsung jongkok dan menyuruhku untuk duduk di atas pundaknya!
“Gila, coy.....seorang perempuan 28 tahun dipanggul di atas pundak seorang bapak- bapak 70 tahunan yang berperawakan kecil seperti ini? Ampyuuun, apa kata dunia nantinya? Apa aku akan menjadi makhluk yang tidak berperikemanusiaan? Apa pantas?” sejuta pertanyaan yang menyergapku tak memberi waktu bagiku untuk berpikir berlama- lama. Maka, dengan setumpuk rasa malu dan takut, aku mohon permisi kepadanya. Dan.....tap, tap, tap, kaki si bapak mulai melangkah di bawah kakiku yang menggantung di atas tubuhnya! Kaki si bapak pun menyeberangi sungai sementara kakiku sendiri juga menyentuh air yang mengalir. Celana panjang telah aku singsingkan sehingga satu tanganku berpegangan pada kepala si bapak untuk menjaga keseimbanganku dan menyelamatkan tas yang aku bawa.
Ups......sejenak aku teringat masa kecilku ketika bapak kandungku sesekali memanggulku. Tapi itu saat aku masih balita, bayi dibawah lima tahun. Dan itu sudah lebih dari 23 tahun sebelumnya!
Satu keajaiban serasa kuraih manakala aku berhasil menyeberanginya. Dengan amat sangat, aku ucapkan terima kasih kepada si bapak yang sangat tulus mengetahui ketakutanku. Entah kapan aku bisa menjumpaimu lagi dan mengucapkan terima kasih kembali untuk peristiwa yang akan aku kenang ini.
Maka, kulanjutkan perjalananku ke arah timur, menuju Parangtritis. Dan, sudah cukup sore aku sampai di sana. Tapi, aku terlanjur capai. Maka, aku duduk dan mengambil catatan- catatan di tasku. Catatan apalagi jika bukan catatan curahan hatiku mengenai Raka, laki- laki yang telah membuatku merasa jatuh dan terbangun dalam cinta itu?
Yup, kenapa aku memilih pantai selatan ini, mungkin juga bukan sesuatu yang tiba- tiba. Dalam bawah sadarku, Parangtritis memang menjadi tempat yang sangat bersejarah bagi perjalanan cintaku dengannya. Di sanalah benih- benih cinta itu muncul dan bertumbuh. Maka, di pantai ini pulalah ingin kutuntaskan semua problema yang menyelumuti perjalanan cinta di garis akhirnya ini.
Catatan- catatan kecil itu pun aku buka dan baca kembali. Kupuaskan untuk menyelami kembali perasaan itu agar ku bisa merasa mantap untuk membuangnya. Lalu, kurelakan kertas- kertas itu kusobek, dan......kubuat prosesi larung, menghanyutkan kertas- kertas itu agar menuju ke laut. Kupersembahkan untuk penghuni laut selatan. Jika memang Nyi Rara Kidul memang ada, semoga persembahan kertas- kertas bertahtakan perasaan cintaku ke Raka ini dapat diterima. Bukan uba rampe sebagaimana biasanya orang melakukan prosesi labuhan dalam tradisi Jawa sebagai ungkapan rasa syukur dan permohonan berkah kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar senantiasa diberi kemudahan juga keselamatan. Persembahan sobekan- sobekan ini saja yang bisa aku berikan sebagai permohonan berkah kepada Tuhan dan segenap isi alam raya ini, disertai harapan agar aku diberi kemudahan untuk melepaskan cinta ini.
Dan, selesailah prosesi ini. Tapi, tahukah kamu apa yang terjadi kemudian? Aku yang sok tahu mengenai pukul berapa bus umum terakhir dari Parangtritis menuju kota Jogja, segera kutuju terminal dan jalan menuju kota Jogja. Dan ternyata, tak ada lagi bus yang bisa mengantarku ke kota Jogja yang jaraknya lebih dari 25 kilometer ini! “Duuh, Gusti.....lelakon apa maneh iki?” aku memekik dalam hati. Tetap bersabar menanti pun, tetap tak ada bus yang bisa kutumpangi. Maka, ku harus menerima nasib bahwa aku harus menghabiskan malamku di Parangtritis.
Dan tentu, dengan bekal yang apa adanya, tak mungkin aku menyewa satu kamar diantara berpuluh hotel melati yang ada di situ. Harus kucukupkan untuk menghabiskan malamku di pinggir pantai. Itu pun, masih ada sedikit gangguan dari seorang laki- laki paruh baya yang merasa janggal dengan keadaanku yang sendirian di situ. “Oupsss, jangan- jangan, dia menganggapku sebagai perek (wanita tuna susila) sebagaimana yang banyak ditemui dalam sisi buram pantai Parangtritis? Oh, my God!”
Dan tak mungkin, kan, aku akan lari terbirit- birit? Masih semalaman aku di sini untuk menunggu bus keesokan hari. Tak ada jalan lain untukku selain ku tetap mencoba eksis dalam ujian ini. Kuajak saja dia ngobrol hingga saat tertentu dimana aku tidak ingin lagi diganggu. Dengan hati yang bersih dan perilaku yang sopan, aku yakin aku bisa menyelamatkan diri semalaman ini di pesisir selatan ini. Dan, kupersembahkan sekalian segala pengalaman ini untuk segenap penghuni laut selatan, termasuk juga penguasa dan para penjaga pesisir selatan pulau Jawa ini. Inilah labuhan dan upaya larung yang aku lakukan untuk menghanyutkan segala penderitaan cintaku. Maya de Fitri

Catatan: tulisan ini aku ikutkan dalam audisi tulisan ttg crazymoments oleh mas wiwit

SABAR DAN EI (Emotional Intellegence)

Coba bayangkan, sekeranjang penuh permen ditaruh di depan kelas. Anak- anak sekolah diperbolehkan mengambil masing- masing satu permen. Tak ayal, mereka pun berebut mengambilnya. Ada yang mengambil satu, ada yang curang dengan sekaligus mengambil dua atau tiga permen.
Tetapi bayangkan, apabila anak- anak juga diingatkan bahwa jika mau menunggu hingga 10 menit, mereka diperbolehkan mengambil dua permen. Tentu respon yang terjadi akan lebih bermacam. Disamping siswa yang tetap mengambil saat itu juga, ada yang curang dengan mengambil lebih dari satu, dan ada yang menunggu hingga 10 menit untuk mendapatkan dua permen sesuai ketentuan. Lalu, apa hasilnya?
Di Amerika, hasil akhir dari cerita tersebut telah dibuktikan. Ketika nama- nama mereka dicatat berikut pilihannya dan diamati perkembangannya, terlihat bahwa anak- anak yang sabar menunggu pemuasan dirinya atas permen, ternyata lebih sukses di sekolah maupun di dunia kerja.
Dari sedikit contoh di atas, terlihat bahwa sabar merupakan salah satu kunci kesuksesan. Mengapa demikian? Sajauh ini, selain kecerdasan intelektual (IQ/ Intelectual Quotion) sebagai tolok ukur konvensional untuk mengukur tingkat kecerdasan anak yang diharapkan dapat mengantarkan seorang anak mencapai kesuksesan di masa depan, muncul pula konsep kecerdasan emosional (EQ/ Emotional Quotion) dan spiritual quotion (SQ/ Spiritual Quotion). Dan, kesabaran berkaitan erat dengan kedua konsep tersebut. Dengan kata lain, tingkat kesabaran akan berkorelasi positif terhadap tingkat kesuksesan seseorang.

EI
Adalah Daniel Goleman (1999), salah seorang yang mempopulerkan jenis kecerdasan manusia yang dianggap sebagai faktor penting yang dapat mempengaruhi terhadap prestasi seseorang, yakni Kecerdasan Emosional (Emotional Intellegence, walaupun secara marketing disebut secara salah kaparah sebagai Emotional Quotient/EQ). Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.
Jika kita perhatikan penjelasan tentang kecerdasan emosional, ternyata konsep kecerdasan ini juga tercakup dalam konsep kesabaran. Setidaknya, ada dua ciri kecerdasan emosi.
Pertama, seorang dikatakan memiliki kecerdasan emosi ketika ia mampu mengendalikan emosinya. Orang yang tidak pandai mengendalikan emosi, atau orang yang sering dikendalikan oleh emosinya, merupakan orang yang tidak cerdas secara emosi.
Emosi memiliki banyak bentuk. Bisa berupa kemarahan, rasa takut, rasa cinta dan keinginan yang kuat, rasa cemas dan sebagainya. Dengan kata lain, orang yang cerdas merupakan orang yang dapat mengendalikan emosi.
Ciri kedua dari kecerdasan emosi adalah kemampuan dalam menunda pemuasan. Biasanya hal ini didasari oleh keinginan untuk mendapatkan kepuasan yang lebih sempurna di masa depan. Dengan contoh sebagaimana diceritakan pada awal tulisan ini, orang yang cerdas secara emosi memiliki potensi yang lebih besar untuk meraih keberhasilan dalam hidup.
Goleman menyebut banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa inteligensi emosional ini lebih menentukan kesuksesan hidup seseorang dibanding dengan IQ. Apa yang ditulis oleh Daniel Goleman tersebut sangat sesuai dengan ajaran agama yang mengajar agar orang bersifat sabar, dan lebih baik diam kalau tidak bisa memilih kata-kata yang baik.

SQ
Kecerdasan intelelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EI) dipandang masih berdimensi horisontal-materialistik belaka dan belum menyentuh persoalan inti kehidupan yang menyangkut fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan (dimensi vertikal-spiritual). Menyadari bahwa sehebat apapun manusia dengan kecerdasan intelektual maupun kecerdasan emosionalnya. pada saat-saat tertentu, melalui pertimbangan fungsi afektif, kognitif, dan konatifnya manusia akan meyakini dan menerima tanpa keraguan bahwa di luar dirinya ada sesuatu kekuatan yang maha Agung yang melebihi apa pun. Penghayatan seperti itu menurut disebut sebagai pengalaman keagamaan/ religious experience (Zakiah Darajat, 1970).
Brightman (1956) menjelaskan bahwa penghayatan keagamaan tidak hanya sampai kepada pengakuan atas kebaradaan-Nya, namun juga mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang abadi yang mengatur tata kehidupan alam semesta raya ini. Oleh karena itu, manusia akan tunduk dan berupaya untuk mematuhinya dengan penuh kesadaran dan disertai penyerahan diri dalam bentuk ritual tertentu, baik secara individual maupun kolektif, secara simbolik maupun dalam bentuk nyata kehidupan sehari-hari (Abin Syamsuddin Makmun, 2003).
Sementara itu, temuan ilmiah yang digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, dan riset yang dilakukan oleh Michael Persinger pada tahun 1990-an, serta riset yang dikembangkan oleh V.S. Ramachandran pada tahun 1997 menemukan adanya God Spot dalam otak manusia, yang sudah secara built-in merupakan pusat spiritual (spiritual centre), yang terletak diantara jaringan syaraf dan otak.
Ditambah lagi dengan hasil riset yang dilakukan Wolf Singer, terdapat adanya proses syaraf dalam otak manusia yang terkonsentrasi pada usaha yang mempersatukan dan memberi makna dalam pengalaman hidup kita. Suatu jaringan yang secara literal mengikat pengalaman kita secara bersama untuk hidup lebih bermakna. Pada God Spot inilah sebenarnya terdapat fitrah manusia yang terdalam (Ari Ginanjar, 2001).
Kajian tentang God Spot inilah pada gilirannya melahirkan konsep Kecerdasan Spiritual, yakni suatu kemampuan manusia yang berkenaan dengan usaha memberikan memberi makna atas sesuatu serta untuk memfungsikan dan mengintegrasikan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi sehingga diharapkan menjadi manusia seutuhnya dengan pemikiran yang integral. Inilah yang disebut sebagai Kecerdasan Spiritual.
Kecerdasan Spiritual berpusat pada hati (qalb) serta bertujuan untuk membentuk atau mendidik jiwa menjadi bersih yang terealisasi dalam ketaatan dan kegiatan beramal saleh dalam hidup atau mendidik keseimbangan baik dalam beribadah (hubungan vertikal), maupun dalam bermuamalah (hubungan horisontal) yaitu dengan senantiasa menghiasi diri dengan akhlak terpuji dan sebagai puncaknya adalah untuk mendapatkan kebahagiaan abadi.
Sementara ilmuwan al-Ghazali menyebut bahwa sabar mempunyai relevansi (hubungan) dengan kecerdasan spiritual yaitu sama-sama mempunyai sifat tidak mudah menyerah pada keadaan (tidak mudah putus asa), tapi selalu mencari solusi terbaik dan sebagai akhirnya menyerahkan segalanya kepada Allah (tawakkal). Sabar juga sebagai indikator untuk menyatakan bahwa seseorang cerdas spiritualnya. Sabar dalam perjalanan spiritual merupakan suatu tahapan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan puncak yaitu ma'rifatullah dan insan kamil. Sabar dan kecerdasan emosional, keduanya berpusat pada hati (qalb) seorang hamba.
Berkembangnya pemikiran tentang kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) menjadikan rumusan dan makna tentang kecerdasan semakin lebih luas. Kecerdasan tidak lagi ditafsirkan secara tunggal dalam batasan intelektual saja. Menurut Gardner bahwa “salah besar bila kita mengasumsikan bahwa IQ adalah suatu entitas tunggal yang tetap, yang bisa diukur dengan tes menggunakan pensil dan kertas”.

Sabar Itu Bagaimana?
Dalam bukunya The 7 Law of Happiness, Arvan Pradiansyah menyebut adanya tujuh rahasia hidup bahagia. Dan sabar, menempati urutan pertama dari rahasia yang dijabarkannya.
Sabar dapat dijabarkan sebagai menunda respon untuk beberapa saat sampai merasa tenang dan pikiran berfungsi kembali secara jernih. Dengan demikian, sabar mengasah kecerdasan dalam menghadapi amarah. Sabar juga diartikan sebagai menyatukan badan dan pikiran pada satu tempat. Sabar adalah melakukan satu hal di satu waktu, denan demikian, sabar haruslah “mindfull”, meencurahkan perhatian sepenuhnya pada apapun yang dilakukan.
Sabar adalah menikmati proses tanpa terganggu pada hasil akhir, menyesuaikan tempo kita dengan tempo orang lain ataupun dengan hukum alam.
Dengan penjabaran yang demikian, jelaslah bahwa sabar merupakan satu bentuk kerja aktif, bukan pasif. Belajar pada tokoh- tokoh yang luar biasa pengaruhnya bagi manusia, kita dapat menilik pada buku The 100, a Ranking of the Most Influential Person in History (1978) yang menempatkan Nabi Muhammad SAW sebagai manusia paling berpengaruh sepanjang sejarah. Muhammad dipandang sebagai manusia yang menjalankan hidupnya dengan sabar yang sebenar-benarnya sabar.
Bayangkan perjuangannya. Muhammad tidak saja pasif dan mengurut dada atas hambatan- hambatannya dalam menyebarkan kebenaran. Ia me memperjuangan atau melakukan sesuatu dengan segenap kemampuan. Ini menjadi suri tauladan untuk terus sabar. Sabar tidak membuat seseorang stagnan tetapi justru memicu dan memacu keluarnya kemampuan terbaik.
Sabar mengharuskan seseorang untuk terus berusaha, pantang menyerah. Jiwa teguh dengan semangat bergelorauntuk menciptakan kiat-kiat baru dalam meraih prestasi.

Dengan kata lain, sabar pemicu kreatifitas berlandaskan kecerdasan, dan … sekaligus mengasah kecerdasan. Segala sesuatu yang berhasil didapat melalui perjuangan dan perjuangan itu dibekali sikap sabar. Sabar adalah pantulan kecerdasan terkendali. Orang cerdas pasti berpikirnya kuat, teratur, memahami apa yang harus dilakukan.


Arvan menjelaskan bahwa kesabaran tidak dapat dilepaskan dari peran Tuhan. Kesabaran berbanding lurus dengan kedekatan kepada Tuhan.

EPILOG
Sorang entrepreneur sukses, trainer dan penulis buku The Rich Plan, Achiever, Opprtunity Quotient menyimpulkan bahwa terdapat tiga kunci sukses yang tak terbantahkan karena telah berulangkali digunakan oleh semua orang sukses sehingga bisa menjadi pelajaran bagi siapaun yang ingin sukses. Tak peduli orang-orang sukses tersebut tadinya miskin, cacat, didiskriminasi, bodoh, mau bunuh diri, atau bagaimana pun. Ketiga kunci tersebut adalah: tujuan yang jelas, berani merubah tradisi dan kesabaran yang tiada akhir.
Dengan tujuan yang jelas, otak akan bekerja dan mencapai resonansi sebagaimana yang dibutuhkan tujuan tersebut. Dengan tujuan yang jelas, otak dan tindakan akan mengikuti untuk mencapai resonansi tersebut, tentu dibutuhkan energi yang selaras Dengan itu, otak dan tindakan anda akan mengikuti.
Supardi Lee menyebut, harga tujuan mengikuti tujuannya. Bila tujuan rendah, maka harganya juga rendah. Bila tujuan tinggi, maka harganya juga tinggi. Untuk mencapai tujuan dan harga yang tinggi, seseorang musti merubah banyak tradisi. Termasuk diantaranya tradisi dalam pikiran diri sendiri.
Tujuan dan perjuangan tersebut disertai dengan kunci yang ketiga, yakni kesabaran yang tiada akhir, kesabaran untuk bekerja mengatasi masalah dan kegagalan, Sebagaimana Thomas Alfa Edison yang pernah mengalami kegagalan hingga 10.000 kali. Untungnya, Edison bersabar. Tujuannya tidak berubah. Ia harus menemukan logam yang tepat untuk bola lampunya.
Disinilah ditekankan bahwa bersabar yang benar harus cerdas. Apa artinya? Bila satu cara untuk mencapai tujuan gagal, maka bersabarlah untuk melakuan cara lain yang berbeda. Bila masih berpikir dan berlaku dengan cara yang sama, maka pasti tindakannya juga sama. Bila tindakan anda sama, maka pasti hasilnya juga sama. Itulah sebabnya bersabar harus cerdas, yakni terus berpikir cara-cara lain yang berbeda untuk mendapat hasil yang berbeda.
Disinilah letak penting kreatifitas dalam bersabar. Bila anda bersabar tapi tidak kreatif, maka anda akan seperti keledai yang jatuh berulang kali di lubang yang sama.
Dengan demikian, jelaslah bahwa kesabaran merupakan sesuatu yang aktif, bukan tindakan yang pasif dan menunggu.
Kesabaran yang dibarengi dengan kecerdasan emosi dan dilengkapi dengan kecerdasan spiritual, niscaya didapatkan prestasi dan kesuksesan yang diharapkan.

IBU IDA IDHAM SAMAWI IBU PAUD BANTUL PENGGAGAS PAUD DI TIAP DUSUN, sebuah tulisan profil

Begitu dicintai warganya. Demikian yang tergambar pada pasangan Idham Samawi- Bu Ida. Bagaimana tidak? Ketika masa tugas Pak Idham hampir berakhir, seolah masyarakat yang begitu mencintainya tak rela sehingga meminta Ibu Ida untuk mencalonkan diri sebagai Bupati Bantul 2010-2015. Bagi masyarakat pendukungnya, Ibu Idha menjadi semacam “paket”, sehingga diharapkan apa yang sudah dicapai pada masa ketugasan Idham Samawi sebelumnya dapat dilanjutkan. Tidak perlu ada perombakan yang tidak perlu. Dan kini, perempuan dengan berbagai julukan ini pun melaju untuk bertarung dalam bursa Pemilukada Bantul 2010.

Melongok kiprah Ibu Ida di bidang kesehatan, kesejahteraan soasial , perindustrian maupun perdagangan, cukup banyak jabatan yang bisa dipaparkan. Namun, diantara yang banyak itu, sebutan sebagai Ibu Batik dan Ibu PAUD Bantul begitu melekat padanya. Ya, mengingat selama ini ia giat sebagai Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten Bantul (sejak 2008), Pembina PAUD (sejak 2009), ketua POKJA POSDAYA (Pos Pemberdayaan Keluarga) maupun Ketua PJOK Keterpaduan BKB-POSYANDU-PADU sejak 2009.

Ditemui di kediamannya, Bu Ida menjelaskan bahwa di Bantul, PAUD memang menjadi prioritas untuk program pendidikan dalam rangka peningkatan kualitas SDM. “Sejak dini dicanangkan peningkatan SDM, yakni sejak bayi masih dalam kandungan. Ibu hamil diberi kesempatan pemeriksaan gratis serta pemberian vitamin. Maksudnya, supaya nanti bayi di dalam kandungan itu sehat, ibunya juga sehat. Juga dilakukan program untuk penekanan angka kematian bayi maupun ibu. Jadi, betul- betul untuk peningkatan SDM dilakukan sejak dini,” papar perempuan kelahiran Jakarta , 26 Maret 1951 ini.

Menjelaskan mengenai kegiatan untuk anak dilakukannya selama ini, Sri Suryawidati Andarweni Kawuryan Budi Respati, demikian nama lengkap Ibu Ida, perempuan ini menjelaskan “Nanti kalau anak sudah lahir, ketika diterima POSYANDU, juga diberi banyak perhatian oleh Pemerintah Daerah. Sejauh ini ada 1.119 POKJA di Bantul yang mendapat bantuan operasional dari Pemerintah Daerah Rp. 2,1 juta tiap POKJAnya. Diharapkan program- program tersebut berjalan dari dan oleh masyarakat, meski ada insentif dari pemerintah daerah.”

“Nanti kalau anak sudah di TK, anak- anak juga mendapatkab bantuan makanan tambahan. Yang dulu bantuan di SD, dialihkan ke TK. Anak- anak diberi babon (ayam indukan). Harapannya, telur ayam itu dimakan anak- anak untuk peningkatan gizi. Ada pula program bahwa anak- anak diberi kudapan seminggu tiga kali, yang mana sekalinya harus telur. Untuk dana, anggarannya butuh 3 M lho. Semua yang menangani PKK. Anak- anak dalam masa emas ini, harapannya nanti siap untuk masuk ke jenjang yang lebih tinggi (SD),” ujarIbu Ida menjelaskan tentang PAUD di Bantul.



PROGRAM 933 PAUD

Menilik program PAUD di Bantul, Ibu Ida tahun lalu mencanangkan program 933 PAUD di Bantul, sejumlah dusun yang ada di kabupaten Bantul, dengan hitungan bahwa di setiap dusun harus ada PAUD. Saat itu, jumlah PAUD yang tadinya sekitar 300-an jumlahnya, telah berkembangmenjadi 900-an saat Pro Nanda menemui Ibu Ida. Dijelaskan bahwa jumlah PAUD formal (TK/ RA) ada sejumlah 518 lembaga, sedangkan untuk PAUD nonformal meliputi KB (kelompok Bermain) sebayak 318 lembaga, Taman Penitipan/ Pengasuhan anak sebanyak 14 lembaga. Dan ini terus bertambah agar tahun ini juga jumlahnya bisa 933 untuk memenuhi program tersebut sehingga di tiap dusun ada PAUD yang terintegrasi POSYANDU.

Menilik latar belakang program tersebut, ibu tiga anak ini menyebut, awalnya Pemerintah Daerah ada program peningkatan SDM. “Dan kami menyambung program tersebut dengan PAUD. PAUD kan kerjasama antara orangtua muris, guru dan anak. Ditambah lagi dengan program dini tadi. Dan ternyata ini mendapat sambutan yang baik sekali dari masyarakat,” paparnya.

“Perkembangan PAUD di Bantul bagus sekali. Hal ini bisa dilihat dari saya sering diundang membuka peresmian PAUD. Kadangdalam satu desa minta diresmikan beberapa sekaligus. Saya melihat semangat para guru dan orangtua murid sangat besar, perhatiannya dan semuanya betul- betul disiapkan,” tambahnya.

Penyiapan peningkatan SDM ini juga dilakukan dengan beberapa kegiatan. “Seperti kemarin, di POKJA 2 kita melaksanakan pelatihan dalam konteks membaca dan menulis untuk PAUD formal. Yang dilatih guru-gurunya. Karena kalau bagi anak, kan tidak bisa dipaksakan to, mbak. Pendidiknya harus dilatih melihat kesiapan daripada anak- anak. Kan anak itu masih dalam kondisi senang bermain, jangan dipaksakan,” jelasnya. Dengan pelatihan seperti ini diharapkan guru atau pendidik bisa menularkan kepada anak didiknya secara tepat dan tanpa paksaan.

Ibu Ida juga melihat beberapa kejadian dimana beberapa PAUD sekarang mengeluhkan berkurangnya jumlah anak didik. “Melihat hal ini, kita jangan buru- buru mengeluh, karena dengan banyaknya PAUD yang ada sekarang, tentunya orangtua akan mengajak anaknya kle PAUD yang lebih dekat dengan rumahnya. Kalau ada yangdekat, kenapa harus di PAUD yang jauh, kan ? Hal ini justru mengindikasikan keberhasilan program PAUD itu sendiri,” jelasnya mengingatkan.

POLA DIDIK KELUARGA

Berbincang dengan Ibu Ida memang banyak hal yang dapat digali mengenai pendidikan pada anak, khususnya. Jika dilihat dari kiprah dan prestasi yang ditorehkan, tampaknya tidak dapat dipisahkan dari pola didik yang diterapkan oleh keluarga Ibu Ida. Dilahirkan dan dibesarkan oleh pasangan Almarhun Mayor Budiman Adiyono dengan Mien Sariatun, dalam lingkungan keluarga militer (AURI) menjadikannya terbiasa bertindak dengan disiplin. Sebagai anak keempatdari tujuh bersaudara, Ibu Ida menjadi tertempa kemampuannya untuk menghargai dan menjadi pribadi yang tepo seliro.

“Makanya, sampai saya menikah pun, ada yang bilang bahwa saya ini menantu yang bisa ngaten-ateni orangtua. Ya…kuncinya ya hanya bisa ngaten-ateni itu, menghormati dan menghargai orang lain serta bisa ngemong satu sama lain,” ujarnya membuka rahasia keharmonisan komunikasi dalam keluarganya.

Tak ayal, dengan pola asuh demikian pula Ibu Ida mengajarkan pada ketiga putra-putrinya, yakni Intan Titisari, Muhamad Wismon Samawi, SE, MIB dan Adi Karang, SPsi. Ibu Ida biasa memberikan pola asuh demokratis sehingga anak- anaknya dibebaskan untuk memilih karir dan kerjanya. Ada yang lebih senang dengan dunia bisnis, ada pula yang menekuni seni sambil berbisnis. “Anak dibebaskan saja, kita sebagai orangtua hanya mengarahkan,” paparnya.

Satu lagi yang menjadi pegangannya. Pola asuh keluarganya mengajarkan bahwa hidup harus bermanfaat, sekecil apapun harus ada manfaatnya. Pegangan ini yang membuatnya luluh ketika masyarakat memintanya untuk maju dalam Pemilukada.

“Saya kadang masih bertanya, di usia hamper 60 tahun begini, kok uripku iso koyo ngene iki, undangan bertubi- tubi, saya ini bisa dibilang sampai jatuh bangun. Tapi prinsip tadi yang membuat saya kuat. Jadi saya piker, ya apa salahnya kalau hidup saya masih ada manfaatnya. Waktu itu Pak Idham juga tidak langsung mengijinkan. Pak Idham Cuma bilang, ‘Mosok ya, aku arep nyerahke nang kowe, trus aku mengko piye…,’. Terus, kasarannya, aku yo mung cengingisan, berpikir bagaimana pandangan orang, nanti dipikirnya kami ambisius banget. Padahal saya sedikit saja tidak punya pikiran. Kok ngimpi, kepikiran wae ora…Ya, masih terkaget- kaget, gitu. Sekarang kalau ada kegiatan itu sampai malam, kadang saya sampai berpikir, ‘Kok ya saya ini kayak gini...padahal umurku wis nganti 60. Tapi ya sudah..ini garis hidup yang harus saya jalani. Dilakoni saja, seperti air mengalir aja. Apa yang menjadi amanah rakyat ya itu…kalau jadi ya Alhamdulillah, ora dadi ya Alhamdulillah. Pokoknya hidup saya mengalir seperti air saja lah.

Sebagaimana juga kepeduliannya pada peningkatan SDM lewat PAUD sehingga ia dijuluki Ibu PAUD Bantul, Ibu Ida juga begitu perhatian pada keluarganya dan lingkungannya. Tak ayal jika masyarakat pendukungnya pun meminta dia untuk mempimpin Bantul. Kita lihataja, apakah kiprah Ibu Idham akan diteruskan sebagaimana juga Hillary Clinton yang meneruskan karir suaminya sebagai politisi di negeri benua lain sana . ***maya de fitri

Catatan: aku persembahkan tulisan ini untuk ProNanda(helloo...gimana kabarnya, Bapak?)

YA- HALWA, BISNIS BATIK DENGAN CINTA, sebuah profil

Cinta- cinta- cinta….lakukan itu dengan cinta, bila kamu mau, mau…..aku tak mau bila tanpa cinta. Sepenggal nyanyian suara Mahadewi yang akrab terdengar di telinga itu, seakan mengamini apa yang ada di kepala Wiwin. Dengan cinta, diawali dengan usaha jualan batik dari rumah ke rumah, mendatangi kumpulan orang, hingga jatuh-bangunnya berupaya menjalankan bisnis kecil- kecilan lain, perempuan bernama lengkap …tersebut sukses menngembangkan bisnis batiknya mantap dengan bendera YA- HALWA. Selain untuk langganan prorangan, batik YA- HALWA banyak dipesan untuk seragam bagi bank seperti BI, BPD maupun instansi- instansi pemerintahan yang lain.
“Awal mula saya menggeluti batik, karena saya memang cinta batik. Dari kecil memang senang saja, padahal dari orang tua tidak ada back ground batik. Saya juga mempelajari batik lalu jualan batik dengan door to door mendatangi ibu- ibu yang menunggui anaknya di TK, dan sebagainya,” ujar Wiwin.

Menikah dengan Mustaqim, pria kelahiran Pekalongan 10 November 1965, Wiwin memang pernah mencoba berbisnis kolontong. Tahun 1997, dengan warung kecil di garasi kecil depan rumah orang tua Wiwin di Piringan, Pendowoharjo, Sewon, Bantul, dirasakannya tidak terlalu banyak memberikan keuntungan. Akhirnya, Wiwin yang tamatan SMKK jurusan Boga, membuka bisnis snack kecil- kecilan.
“Biasanya kita menerima pesanan “roti kenduri”, roti sederhana yang biasa dipakai sebagai penggamnti nasi kenduri. Waaah, capek bener itu, saya juga membantu mengaduk dan sebagainya, nak-nik. Untung seratus- dua ratus kita sudah seneng banget waktu itu,’ ujar Mustaqim menimpali.
Sementara sang suami bekerja di perusahaan ekspor mebel, Wiwin beralih dengan jualan batik. Melihat prospek yang cukup cerah di bisnis batik, Wiwin pun memanfaatkan garasi rumah orang tuanya untuk tempat produksi baju- baju batik, sehingga ia tidak lagi banyak mengambil batik dari luar untuk berjualan.
Mengingat masa- masa itu, memang penuh kerja keras. “Kalau dianggap susahnya, di saat orang terlelap, kita bekerja. Seperti waktu ada Sunday Morning di Lembah UGM waktu dulu. Jam 3 itu kita bangun. Saya menyeterika dan menyiapkan dagangan untuk jualan sejak pagi. Tapi semua dijalani aja dengan senang hati, jangan nmengeluh,” tuturnya mengingat masa lalu.
Setelah dua tahun berjalan, Wiwin ditawari tempat dengan sistem bagi hasil di daerah Pucung yang letaknya dua kilometer dari rumahnya. Cukup strategis, karena di pinggir jalan raya.
Setahun Wiwin di Pucung, muncul satu kerabatnya yang menawarkan untuk tempatnya yang semula dijadikan sebagai bengkel. Maka, bengkel di jalan Bantul km. 8,5 tersebut disulap oleh Wiwin sebagai toko/ showroomnya hingga sekarang. Dari usaha inilah, Wiwin dan suaminya dapat mebuat rumah sendiri dan sekarang sedang membangun showroomnya sendiri yang berjarak 700 meter dari showroom semula yang disewa dengan sistem kontrak.
Bakat Bisnis
Mengulik sesaat tentang pertemuan Wiwin- Mustaqim yang kini mendampinginya, mereka bertemu di RSU Wirosaban.
“Saat itu saya sedang menjenguk ibu kost di rumah sakit. Di sanalah saya berkenalan dengan Wiwin sedang Praktek Kerja Lapangan di sana. Dia menjadi ketua kelompok, dan saya melihat dia memang berbakat mempimpin,” ujar Mustaqim. Dari situlah Mustaqim tahu bahwa perempuan yang kemudian menjadi istrinya itu memang berbakat memimpin dan berbisnis.
Tak ayal jika lulusan STIE Widya Wiwaha ini terus mendukung langkah istrinya. Tahun 2005, setelah dirasakan modal mencukupi, Mustaqim yang semula bekerja di perusahaan mebel pun turut ambyur secara total untuk mengurus bisnis batik istrinya.
Mustaqim lebih fokus pada produksi sementara Wiwin lebih banyak mengurusi pemasarannya.
Sampai kini, batik yang mereka kelola masih sering mengikuti pameran. “Gak tentu sih berapa bulan sekali, tergantung waktunya. Tapi kita juga lihat- lihat eventnya. Kalau skalanya nasional dan banyak dikunjungi pejabat atau menteri- menteri, kita berusaha untuk ikut,” ujarnya.
Ketika ditanya mengenai omset bisnisnya, dengan sedikit malu Mustaqim menjawab pada kisaran 30 hingga 60 juta rupiah. Dari angka sekian, ia memperhitungkan bahwa setidaknya 80 persen dari target dapat terpenuhi agar mendapat prosentase keuntungan sesuai yang diharapkan. Dengan demikian, untuk menggaji karyawannya yang berjumlah empat puluh orang pun tetap aman.
Pekerjaan Rumah dan Mimpi- Mimpi
Wiwin, perempuan kelahiran Bantul, 24 Oktober 1972 ini memang menyukai batik dari kecil. Bersama dengan Mustaqim yang punya “darah batik” dari orang tua dan kakek- neneknya di Pekalongan, maka kolaborasi keduanya dalam menjalankan bisnis dapat mencapai pada tahap sekarang.
“Dari dulu saya merasa punya PR (pekerjaan rumah), bagaimana menjadikan batik sebagai pakaian keseharian. Jadi, istilahnya, pakai batik itu jangan hanya pada saat- saat tertentu seperti hajatan atau kondangan. Batik bisa digunakan sebagai pakaian keseharian. Nyatanya batik kan bisa dipadu- padankan dengan celana jeans dans sebagainya. Jadi, bagaimana batik bisa fashionable dan trendi. Dengan pengakuan UNESCO pada batik, ini berarti mendukung sekali. Batik juga kembali digemari. Jadi, saya bisa merasa bahwa PR saya bisa sedikit terwujud. Oleh karena itu, saya juga selalu memakai batik. Selain mendukung usaha, ini kan promosi juga” tutur Wiwin.
Sekarang Wiwin sedang mengembangkan batiknya agar memiliki ciri khas. “Saya banyak menggunakan motif batik Yogya, dan saya lebih menonjolkan motif parang. Selain desain dari karyawan saya, saya juga sering membuat desain. Saling melengkapilah,” ujar Wiwin.
“Di samping showroom dan di gazebo depan sengaja saya pakai untuk tempat karyawan membatik dengan cantingnya. Ini saya maksudkan agar pembeli lebih mantap dan percaya bahwa batik kami memang kami bikin sendiri. Selain itu, mereka juga bisa melihat prosesnya. Ini jadi semacam wisata tersendiri bagi mereka. Saya malah berpikir, bagaimana jika nantinya kampung kami menjadi daerah wisata batik. Kan sepanjang Jalan Bantul belum ada. Memang sih, mencari pembatik juga agak susah, makanya saya pengen, jika ada yang mau berjalan bersama- sama, ayo,” ujar Wiwin memaparkan obsesinya sembari mengingatkan bahwa bekerja keras dan berpikir cerdas merupakan kunci keberhasilan yang dihayatinya. Apalagi dijiwai dengan kecintaan, ia yakin usaha apa pun akan mendatangkan hasil yang tak sia- sia.  maya, November 2009

Catatan: tulisan ini telah kupersembahkan untuk tabloid Inspirasi Bisnis

ANTO, PENJUAL ANGKRINGAN YANG MENGAKRABI PELANGGANNYA, sebuah profil

Tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Sapto Yuwono bahwa berjualan angkringanlah yang akhirnya membawa hoki baginya. Beberapa pekerjaan telah ditekuni selepas dari SMA, namun dengan berjualan angkringanlah yang memberikan kepuasan batin tersendiri baginya.
Bagi pria yang akrab dipanggil Anto ini, berwiraswasta adalah pilihan terbaik daripada bekerja pada orang lain. “Ya, meskipun kecil- kecilan, tapi dengan berjualan angkringan, saya mendapatkan apa yang sebelumnya tidak mampu saya raih dengan menjadi buruh di tempat orang lain.
Lajang kelahiran Jogja, 31 Oktober 1977 tersebut mengakui terus terang bahwa selama lebih dari delapan tahun bekerja pada orang lain, rasanya penghasilan yang diterima sangat pas- pasan.
“Selepas dari SMA Muhammadiyah Mrisi, tahun 1996, saya bekerja di Toko Ramai. Memang sih, dengan seragam yang tidak boleh kusut, penampilan harus selalu rapi. Namun, dengan bekerja di pusat perbelanjaan seperti itu, ternyata berbiaya mahal. Butuh duit bensin untuk perjalanan dari rumah saya di Kasongan (Bantul) hingga ke Malioboro. Sementara standar biaya makan di Malioboro juga tentu lebih mahal daripada jika saya bekerja di tempat lain. Sudah begitu, hari- hari kerja juga sangat ketat. Sangat susah untuk mendapatkan ijin kerja. Misalnya ada famili yang menikah, jika mau minta ijin datang di acara resepsi pernikahan yang biasanya dilakukan siang hari, paling- paling kalau minta ijin hanya diberi waktu dua atau tiga jam untuk menghadiri resepsinya. Lah iya kalau tempatnya dekat, kalau jauh gimana coba?” paparnya panjang lebar.
Setahun menjadi karyawan toko, akhirnya Anto pindah kerja ke peternakan ayam petelur di daerah Cangkringan. Merasakan pahit- getirnya bekerja di tempat yang jauh dari rumahnya, yang mengharuskannya “tidur dalam”, Anto pun beralih kerja di tempat yang tak jauh dari rumah orang tuanya di Kasongan. Finishing gerabah cukup awet ditekuninya hingga tiga setengah tahun lamanya.
Selepas dari gerabah, Anto sempat menjadi crew bus jurusan Wonosari- Jakarata meski kemudian beralih kerja lagi untuk membantu meracik susu di tempat yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Hampir setahun meracik susu kadaluarsa untuk pakan ternak, Anto pun beralih untuk menjaga counter pulsa dan konveksi di daerah Manding (Bantul).
“Setahun di sana, saya memutuskan untuk keluar. Saya sendiri bingung, mau ngapain.Selama tiga bulan jadi pengangguran, akhirnya ada yang menawari untuk berjualan angkringan,” ujarnya.
Pak Muji, demikian Anto menyebut nama lelaki yang memberikannya peluang untuk berwiraswasta. Dari Pak Muji, Anto diberi pinjaman gerobak angkring, serta diajari membuat wedang jahe khas angkringan. Bimbingan pun didapatkannya dari Pak Muji, karena dari orang tersebut Anto mendapat bimbingan dan dorongan.
“Awalnya, saya survey dulu antara Pojok Beteng Kulon hingga Diro, Saya mengamati malam- malam, kira- kira tempat mana yang cocok. Kayak pelamun itulah,” ucapnya serius.
Akhirnya, diputuskan untuk menempatkan gerobaknya di trotoar sudut depan kampus UPP 2 UNY, sekitar 600 meter dari Pojok Beteng Kulon ke arah selatan. Di sanalah Anto berjualan hingga sekarang.
Berangkat dari rumah pukul 3 sore untuk mempersiapkan perlengkapan dan dagangannya, baru kemudian pukul 5 sore angkringannya buka. Melayani pelanggan hingga habis, sekitar pukul 2.30 dini, Anto pun pulang ke Kasongan setelah membereskan gerobak angkringannya untuk dititipkan di tempat warga yang letaknya tak jauh dari warung angkringannya.
Setahun pertama berjualan, diakui Anto sebagai saat- saat mencari pasar. Ketika sedikit demi sedikit pasar mulai didapatkan, pada tahun kedua usahanya justru sepi malahan.
“Adanya warung bebek goreng di sebelah selatan angkringan saya, membikin angkring saya kurang kelihatan karena letak warung lesehan tersebut lebih menjorok ke badan jalan sehingga angkringan saya tidak terlihat dari arah selatan,” ujarnya mengingat masa- masa sulit itu.
Baru ketika warung tersebut tutup/ gulung tikar, angkringan Anto pun mulai ramai lagi hingga sekarang di tahun keempat ia berjualan. Dengan omset per hari sekitar dua ratus ribu rupiah per malam, penghasilannya dirasakan cukup untuk menghidupi diri sendiri dan sedikit membantu ibunya di rumah.
“Dari berjualan angkringan ini, saya justru baru merasakan dapat membeli apa yang saya ingin. Misalnya saja motor, meskipun bekas, tapi saya kira saya tidak dapat membelinya jika saya masih bekerja pada orang lain seperti dulu,” tutur Anto bersyukur.
Dalam lubuk hartinya, pria humoris ini masih memendam keinginan bahwa suatu saat nanti warung angkringannya akan menyerupai kafe, dengan tempat yang nyaman sehingga semua pembeli akan betah berlama- lama di warungnya.
Membedah kiat- kiatnya dalam berjualan, Anto menuturkan kepada Inspirasi Bisnis bahwa menjaga keakraban, merupakan salah satu kuncinya mempertahankan pelanggan.
Kadang Anto menyapa pembeli yang baru saja datang,” Kemana aja kok lama gak kelihatan, dah setahun je.”
“Padahal baru sehari- dua hari dia tidak datang, saya dapat mengatakan seperti itu. Ya…..namanya juga bakul,” ujarnya dengan tawa renyah.
Dengan humor ataupun celetukan- celetukan kecil, Anto mengakrabi semua pembelinya, baik yang sudah jadi pelanggannya maupun yang baru pertama kali datang ke warungnya. Tak pelak, banyak pelanggan yang senang berlama- lama duduk lesehan di beralaskan tikar yang digelarnya di samping gerobak angkring.
“Yang namanya berjualan makanan, harus punya kelebihan. Panggon kudu enak, bakule yo kudu enak lan kepenak,” imbuhnya dengan senyuman. maya
Catatan: tulisan ini aku persembahkan untuk Inspirasi Bisnis

KERETA MINI SATRIA BUANA, JALAN PENGHIDUPAN SANG MASINIS, sebuah profil

Hidup memang penuh dinamika. Menggelinding seperti roda. Adakalanya kita berada di atas, adakalanya kita terpuruk di bawah. Di situlah kita dituntut untuk kembali berusaha dan mempertahankan posisi agar tidak lagi berada di bawah.
Demikian pula yang dialami Ariyanto. Laki- laki 40 tahun yang sekarang tinggal bersama istrinya di Rukeman RT 3 Tamantirto Kasihan Bantul itu, kini memilih bisnis angkutan kereta mini sebagai sandaran hidupnya. “Ya, lumayan lah,” tuturnya.

Berawal dari bisnis mebel
Laki- laki bersahaja itu, mulanya menggeluti bisnis mebel sejak tahun 1990-an. “Bisa dibilang, waktu itu penghasilan saya secara materi cukup terpenuhi dengan usaha mebel yang juga memasok untuk pasaran ekspor. Sayangnya, kehidupan rumah tangga saya banyak konflik karena kami belum juga dikaruniai momongan. Ditambah lagi dengan kebangkrutan karena saya tertipu. Saat- saat itulah saya kemudian cerai,” ujarnya mengenang masa lalu.
“Waktu itu ada pembeli yang lancar. Hingga enam kali pesanan, tak ada masalah. Namun berikutnya, dia yang ngasih uang muka 200 juta rupiah, ternyata sisanya tidak dilunasinya sehingga saya rugi 750 juta. Untuk menutup kerugian tersebut, bisa dibilang, harta saya tinggal dua motor dan satu mobil colt saja. Akhirnya, saya nagih- nagih dari beberapa piutang ke teman- teman, sempat terkumpul 20 juta. Dari situlah saya membeli satu sapi indukan. Setelah sapi beranak, saya jual semua lalu saya belikan lagi “sapi doro” atau sapi muda dan satu anakan sapi, agar ternaknya tidak macet. Setelah satu tahun, baru dijual lagi, begitu seterusnya,” terang Ari.
Selain beternak sapi, Ari pernah juga “nyambi” menjadi sales. Dengan kulak sepatu dan sandal dari daerah Tugu, dipasarkannya dari kampung ke kampung, dari toko ke toko.
Kereta Mini sebagai Sumber Penghasilan
Suatu ketika, sekitar tahun 2005, ada salah satu kerabat yang memberi tawaran Ari untuk menjadi sopir kereta mini, angkutan yang didesain seperti kereta mini.
“Waktu itu dia punya dua kereta. Mendapat tawaran begitu, saya iya-kan. Lalu saya belajar selama tiga hari untuk menyopir. Maksudnya, menyopir mobil dan agak beda dengan menyopir seperti ini. Ya…hanya supaya lebih terbiasa saja. Lalu, saya pun menjadi sopirnya, cari jalan atau rute sendiri untuk “ngojek” anak- anak berkeliling kampung,” demikian Ari menuturkan.
Dari pendapatan menjalankan kereta mini tersebut, setelah dikurangi dengan setoran sebanyak 60 ribu dan biaya solar 30 ribu, sisanya dibagi antara sopir dan kernet dengan prosentase 60: 40. Dua tahun dijalaninya demikian, akhirnya, Ariyanto bekerja sama dengan seorang temannya untuk membeli kereta mini, yang selanjutnya kereta mini tersebut dapat ia beli sepenuhnya. Waktu itu belinya 19 juta dan sedikit perbaikan 2 juta.
Dengan kereta mininya yang dinamai “Satria Buana”, Ari menyusuri jalan- jalan di kampung untuk menjemput anak- anak berkeliling sesuai dengan rute yang dia persiapkan. Dengan bentuk kereta yang terbuka dan dipenuhi gambar- gambar yang menarik perhatian, anak- anak dapat dengan senang berkeliling menikmati pemandangan alam. Dari situlah, beberapa lembar uang ribuan akan menjadi penghasilan bagi Ariyanto dan seorang kernetnya.
Ariyanto biasa mengendarai keretanya dengan jadual yang sudah ditentukannya sendiri. Rute yang dipakai selang- seling agar anak- anak yang menjadi sasarannya tidak bosan. Hari Selasa biasa menempuh rute di daerah Tamanan hingga Pakelbaru, Rabu memakai rute Kalipakis hingga Salakan, Kamis mengambil rute Kasongan ke selatan, Jumat di daerah Ngebel hingga Kasongan, Sabtu biasa mengambil rute daerah Panggungharjo. Hari Minggu Ariyanto biasanya banyak carteran sehingga Ari tidak punya jadual pasti. Jika tidak ada carteran, ia dapat menjalankan keretanya di daerah- daerah baru yang tidak biasa ia lewati. Sementara hari Senin dipilihnya sebagai hari libur.
Ariyanto biasa memberangkatkan keretanya pukul satu siang sampai petang sehingga selepas maghrib ia sudah sampai ke rumah. Dikurangi biaya makan dan solar, setelah sebagian penghasilan hari itu diberikan kepada kernet, ia biasa membawa pulang 100 ribu, bersih. Jika melayani carteran, yang didapatkannya bisa dua hingga tiga kali lipatnya. Masa- masa ramai carteran biasanya saat liburan, atau pada peringatan hari- hari besar seperti 17-an ataupun takbiran.
Rombongan yang mencarter biasanya untuk piknik ke ataupun pengajian. Bahkan kadang ada juga untuk melayat, terutama jika jaraknya tidak terlampau jauh. Dengan penumpang campur antara anak- anak dan orang tua, kereta mini Satria Buana milik Ariyanto dapat menampung kapasitas 45 orang.
Untuk carteran, semisal mengantar ke pantai selatan, Ariyanto biasa memasang tarif 750 hingga 800 ribu. Itu kalau dengan kawalan polisi. Kalau tanpa kawalan polisi, bisa dikurangi 150 ribu. “Bagaimana pun, akan lebih aman kalau dengan kawalan polisi, karena sesuai aturan, kan, angkutan seperti ini hanya boleh melewati desa, kampung dan daerah perumahan. Tidak boleh melewati jalan- jalan besar dan jalan protokol. Kalau ke daerah pantai, tarif segitu karcis masuk sudah saya yang menanggung, tetapi kalau carteran menuju Gembiara Loka atau Prambanan, mereka membeli karcis masuk sendiri. Untuk jarak yang lebih dekat atau jauh, tarif disesuaikan. Demikian juga jika acaranya adalah keagamaan, tentu tarifnya juga beda. Bagaimana pun, musti ada tepo seliro,’ demikian laki-laki ini menjelaskan.
Ditanya suka- duka menjalankan bisnis kereta mininya, Ari didampingi oleh Muryani, perempuan yang dinikahinya pertengahan 2002 itu menuturkan,”Adakalanya kereta dicegat pemuda yang mabuk di jalan, jadi ya terpaksa kita ngasih “mel” ke dia, daripada nanti kenapa- kenapa, kan? Kadang juga, missal mengantar carteran piknik ke pantai, kadang masih ada juga pungutan liar.”
“Susahnya lagi, tentu kalau musim hujan atau kalau kereta butuh perbaikan, semisal ganti roda atau servis, hehehe,” timpal istrinya.
“Terkadang pula, nomor telepon yang tertera pada belakang badan kereta, diganggu oleh orang- orang usil. Katanya mau dating mencarter dans sebagainya, ternyata tidak jadi dating. Jadi, kalau ada telepon yang masuk, kadang lebih baik kita yang ke sana saja untuk memastikan,” ujarnya.

Peluang
Dengan pengandaian sebulan libur 4 hari, menjalani rute seperti biasa selama 20 hari dan carteran selama 6 kali, maka penghasilan Ari per bulan sebesar (20 x Rp.100.000) + (6 x Rp.300.000) atau sebesar 3,8 juta rupiah. Jika dikurangi biaya tak terduga sebesar 15 persen saja, jelas penghasilannya Ari tak kurang dari 3 juta. Angka yang tak dapat dianggap[ kecil untuk ukuran Yogyakarta.
Kini, kereta mini menjadi jalan penghidupan bagi Ariyanto untuk menafkahi rumahtangganya yang telah dikaruniai seorang putri berusia 3,5 tahun bernama Nadia Putri Monalisa. Disamping juga tentu dengan ternak sapi yang masih ditekuninya sebagai kerja sampingan.
Ariyanto dan Muryani yakin, bisnis kereta mininya masih punya prospek yang cukup bagus. “Selama ada laki- laki dan perempuan, usaha seperti ini masih akan jalan, karena anak- anak butuh hiburan. Bahkan tak cuma anak- anak, kan, yang bisa menumpang kereta ini,” papar Muryani.
“Tapi, yang namanya usaha tentu juga harus tetap ulet, rajin, menjalani dengan senang hati, dan tak kalah penting juga, tidak boleh pelit. Harus punya tepo seliro,” ujar “sang masinis” memaparkan inspirasi yang diperolehnya selama menjalani bisnis.  maya, November 2009

Catatan: tulisan ini aku persembahkan untuk Inspirasi Bisnis