mayadefitri

Monday, July 03, 2006

SEKOLAH ITU TAK GAMPANG, sebuah opini dari kontroversialnya Unas 2006

SEKOLAH ITU TAK GAMPANG
Oleh: Maya Fitrianingsih


Pengumuman hasil Ujian Nasional (Unas) tingkat SMA dan SMK pada Senin (19/6) lalu menyisakan banyak persoalan. Standardisasi nilai minimal Unas yang berperan dalam menentukan kelulusan mengisyaratkan bahwa apabila seorang siswa memperoleh nilai di bawah standar, pada salah satu atau lebih mata pelajaran yang diujikan, alamat bahwa siswa tersebut idak lulus. Alhasil, meski angka kelulusan SMA/ SMK tahun ini secara nasional meningkat jika dibanding dengan tahun lalu, namun angka ketidaklulusan yang mencapai 9 persen dari 1.916.937 siswa ini dinilai cukup signifikan. Tercatat, seorang siswa di Kalimantan bunuh diri sementara empat siswa tidak lulus di Jakarta mencoba bunuh diri.
Tidak sedikit diantara siswa yang tidak lulus Unas ini merupakan siswa berprestasi dan telah diterima di perguruan tinggi favorit melalui jalur khusus (PMDK) ataupun program beasiswa dari luar negeri. Hasil Unas membuat harapan mereka terpental ke tanah. Buntutnya, persoalan ini dibawa ke DPR yang kemudian mendesak pemerintah untuk melakukan ujian ulangan. Pun ketika dibawa ke Komnas HAM, Komnas HAM menilai bahwa pelaksanaan Unas merupakan pelanggaran terhadap hak azasi pengembangan diri. Pemerintah tidak berhak mengadili lulus-tidaknya siswa sampai sejauh itu. Unas dinilai bertentangan dengan UU Sisdiknas karena dalam UU dikatakan bahwa yang dapat menentukan kelulusan adalah sekolah, namun kemudian ada peraturan pemerintah (PP 19/ 2005 yang mengatakan bahwa yang menentukan kelulusan adalahj guru, sekolah dan pemerintah.
Menanggapi desakan pengadaan ujian ulangan, pemerintah tetap coba bergeming. Mendiknas Bambang Sudibyo belum bisa memutuskan sampai diadakannya rapaty internal, apalagi masih menunggu hasil Unas SMP. Mendiknas berujar bahwa tidak diberlakukannya ujian ulangan bertujuan untuk memacu intensitas belajar secara optimal. Dan terbukti, terjadi peningkatan cukup signifikan pada tingkat kelulusan SMA/ SMK. Jika mekanisme adanya ujian ulangan dibakukan sebagaimana yang terjadi di tahun lalu, dikhawatirkan memunculkan asumsi adanya amnesti yang akan memperlemah mental siswa, berlawanan dengan tujuan semula yang dimaksudkan untuk memacu intensitas belajar siswa.
Sementara itu, menanggapi harapan diadakannya ujian ulangan, wapres Jusuf Kalla menyatakan bahwa ujian ulangan merupakan ketidakadilan bagi siswa yang telah lulus Unas. Meski demikian, banyak pihak menilai bahwa ujian ulang tetap lebih baik untuk dilakukan karena hal itu masih dimungkinkan secara yuridis. PP 19/2005 menyebutkan Unas bisa diajukan dua kali, sementara UU Sisdiknas pasal 58 ayat 1 dan 2 secara tegas menyatakan bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik. Sedangkan evaluasi peserta didik satuan pendidikan dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.
Konsep awal Unas sebagai usaha standardisasi mutu, memang mempunyai banyak kelemahan. Sejak awal telah diprediksikan bahwa standardisasi nilai yang ditetapkan oleh pemerintah itu dipandang sebagai nilai yang berat bagi siswa. Namun, patok nilai telah dipancangkan. Apabila ujian ulangan dilakukan lagi sebagaimana tahun lalu, hal ini mempertegas betapa kurang matangnya sistem yang selama ini diberlakukan. Juga dari sisi ketidakkonsistenan pemerintah dengan adanya sesuatu yang mudah berubah. Jika ujian ulangan sampai dilakukan berkali-kali dan itu diterapkan dari tahun ke tahun, jangan-jangan standardisasi akan berubah menjadi labelisasi dan stratifikasi kelulusan apakah kelulusan itu melalui Unas atau Unas ulangan. Dan ini tidak kurang berbahaya, layaknya sistem rangkingisasi yang cenderung menjadi kebanggan semu bagi mereka yang dianggap pintar dan mereka yang dianggap kurang pintar.
Ketidaklulusan menjadi pukulan berat bagi siswa yang bersangkutan. Dalam kondisi demikian, kadangkala susah untuk diajak berpikir jernih dan menatap masa depan dengan lebih optimis. Rencana melanjutkan pendidikan bagi mereka yang boleh jadi telah jauh-jauh hari dipancangkan ke depan, menjadi hancur. Apalagi bagi mereka yang telah diterima di perguruan tinggi melalui jalur khusus. Mereka masih berharap adanya ujian ulangan , meski ketidaklulusan itu telah membuyarkan konsentrasinya untuk sekadar mengerjakan ujian.
Pro-kontra standardisasi nilai Unas sebagai prasyarat kelulusan siswa masih bergulir. Kegaduhan ini menambah daftar permasalahan yang sudah ada sejak sebelumnya di dunia pendidikan. Bagi orang tua, mereka tidak sekadar dibebani dengan biaya pendidikan yang dirasa kian tinggi. Orang tua dituntut lebih dalam membentuk kepribadian anak yang kuat, termasuk dalam membentuk sikap mental baja di tengah tekanan yang dihadapi anak dalam hal pendidikannya di sekolah.
Dengan sistem Unas yang menjadi patokan kelulusan siswa, pada waktu hari H pelaksanaan ujian tidak mengijinkan adanya something wrong. Tidak boleh ada sesuatu yang salah. Jika hal ini menjadi harga mati maka ini bisa menjadi bencana tambahan bagi dunia pendidikan di Yogyakarta, khususnya pada hasil Unas SD nantinya. Setelah rusaknya banyak gedung dan fasilitas sekolah, anak-anak kelas 6 SD di Yogya yang menjalani Unas di tengah kondisi psikologis paska gempa, tentu saja akan berpengaruh pada pada hasil ujian mereka. Kondisi psikologis yang berbeda akan memberikan hasil yang berbeda. Belum lagi bagi mereka yang mengalami kejadian tragis waktu bencana, kehilangan buku dan hidup di pengungsian, tentu tidak bisa melakukan persiapan ujian secara maksimal. Bagaimana mungkin mereka seakan tidak terjadi apa-apa sementara mereka mengerjakan ujian dalam tenda yang bersebelahan dengan puing-puing bangunan yang biasanya mereka gunakan untuk belajar?
Sistem yang baru, dimana pun akan memunculkan banyak kekhawatiran, apalagi dengan sistem Unas yang seperti ini,. Anak-anak tentu berpacu dengan target nilai Unas. Unas akan menjadi momok bagi kehidupan mereka. Jika tidak segera didapatkan sistem yang mantap, lagi-lagi anak akan sekolah hanya menjadi kelinci percobaan bagi sistem evaluasi hasil belajar.
Belum lagi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan zaman. Anak-anak tak hanya bersaing dengan teman-temannya satu sekolah tapi juga atas laju ilmu pengetahuan dan teknologi serta kenyataan tantangan secara global. Jika tidak disikapi secara arif, hal ini berpotensi menjadi penyebab stress pada anak. Anak susah menikmati proses pendidikannya karena terus dihantui kekhawatiran-kekhawatiran sehingga orang tua harus wanti-wanti pada mereka, “Sekolah itu tak gampang, Nak!” sambil coba membesarkan hati mereka. Bila pesan ini salah disampaikan, bisa-bisa justru tambah menjadi beban bagi siwa. Boleh jadi ia akan balik minta pengertian dan pemakluman bahwa sekolah itu tak gampang, di tengah sistem yang belum mantap. Dibutuhkan kebesaran hati siapa saja untuk lebih menghargai proses belajar dibanding dengan sekadar nilai yang ditentukan dari sekian menit waktu pelaksanaan Unas. ***

Catatan:
dibuat Juni 2006 ini, tapi aku yakin gak dimuat karena ini opini straight banget...kalo sehari-duia hari gak dimuat pasti udah basi

0 Comments:

Post a Comment

<< Home