mayadefitri

Monday, October 22, 2007

Sajak-sajakku

KAU DAN AKU

hanyalah gumpalan sendu
merayu tanpa cumbu
menangis tanpa sengguk gugu

desir kesejukan
mungkinkah mampu ditangkap
diikat dan dijerat jala-jala serangga

hanyalah dadaku mendamba
dirimu
bersamamu, merabamu, menyentuhmu
memilikimu sejauh-jauh waktu
sedang sejauh waktuku
hanya tirisan wujudmu yang setia menyintuhku
RIM, 9 Juli 2K7

JIKA SUATU WAKTU

jika suatu waktu kupu-kupu muncul
lagi
pasti berawal dari ulat
yang sering kali kita gelitiki

jika suatu waktu bakal kupu-kupu
rela berdiam diri
demi semainya sari bumi
lagi
pasti hatimu mulai berseri
menanti dan mencintai

jika suatu waktu kita menjadi kupu-kupu
lagi
pastikan tak ada ragu
karena suatu waktu itu
bermula dari aku
yang selalu berjaga menjadi kupu-kupumu
dagen _pvr, Senin, 24/9/2K7

PILIH PASANGAN DENGAN SMART

Jaman sekarang, pilih pasangan jangan cuman sekadar karena jatuh cinta. Kalo cuman karena alasan bahwa si dia adalah orangyang enak diajak ngobrol dan pengertian…..wesyah, itu gak cuman kuno, tapi juga: BASI!!
Ada tips ketika kita mulai dekat dengan seseorang, dengan menilai beberapa hal. (Gak usah disebutin detail ya….karena ini juga bahan tambahan yang kemaren aku dapatkan dari tabloid Nova). Pertama, visi. Kedua, latar belakang. Ketiga, prospek pengembangan diri, apakah dia punya potensi untuk mandiri. Keempat, agama.
Pada dasarnya, hampir sama juga dengan konsep yang dipegang nenek moyang kita, ya? Bobot-bibit-bebet. Ato, dalam konsep Islam, untuk melihat: kecantikan/ketampanan-nya, hartanya, agamanya, juga keturunannya.
Hehhee, aku jadi inget, katanya, nyari pasangan harus yang bisa punya anak banyak….makanya….cara niteni/ melihat tanda-tanda apakah seorang perempuan punya potensi untuk banyak anak…dari tanda2x fisik…katanya sie, dilihat dari jempol tangan kirinya apakah ada terlihat bulan sabit. Ah, entahlah apakah tanda itu memang ilmiah ato hanya gothak-gathik-gathuk.

APAKAH BEKAL CINTA (SAJA) CUKUP?

Sebagian besar orang percaya bahwa cinta, rasa saling menyukai, adalah unsure perekat paling penting dalam sebuah pernikahan. Ya, aku pun berpikir seperti itu, karena cinta adalah kekuatan. Cinta adalah energi yang memungkinkan seseorang mencapai apa pun di luar logika biasa. Cinta adalah energi yangmenggerakkan jiwa dan raga.
Namun, kebanyakan orang juga berpendapat bahwa cinta saja tidak cukup untuk sebuah pernikahan! Berarti, ada factor lain untuk keutuhan sebuah pernikahan. “Makan tuh cinta jika cinta bisa bikin kenyang,” demikian pesimisme orang-orang. Artinya, cinta pun butuh materi. Lalu, jika pasangan kita adalah seorang yang kekanak-kanakan, mau menang sendiri, dsb apakah cinta tidak akan luntur dan tetap tahan lama? Lagi-lagi, kekuatan cinta dipertanyakan.
Semua orang tak membantah jika dikatakan bahwa cinta diperlukan sebagai unsure pemersatu bagi keutuhan sebuah pernikahan. Namun, dikatakan pula bahwa cinta jauh dari cukup untuk semua itu, karena jatuh cinta dipandang sebagai pekerjaan yang amat mudah.
(Hehehe, aku jadi senyum sendiri. Boleh jadi iya, tapi apa iya? La iya lah, kalo jatuh cinta itu terjadi secara tiba-tiba tanpa disadari, meski kemudian kitya juga musti hati2x apakah benar itu jatuh cinta, atau sekadar suka, atau sekadar simpati. Lepas dari itu semua, bagiku, jatuh cinta bukanlah sebuah pekerjaan. Masa bisa sie kita pura2x jatuh cinta? Kecuali kalo kita memang mbakat jadi aktor, nkali) Jatuh cinta adalah sebuah perasaan yang menggerakkan disik dan jiwa seseorang untuk bekerja. Jadi, jatuh cinta bukanlah pekerjaan itu sendiri.
Jika umumnya orang memakai pertimbangan emosi sebagai langkah awal dalam keputusan memilih seorang pasangan, tentunya akan dipilih seseorangyang disenangi, disukai, seseorang yang membuatnya tertarik dan merasa nyaman bersamanya. Setelah emosi, pertimbangan selanjutnya adalah nalar, tentang bagaimana kepribadian dia, apakah menggambarkan terbinanya keluarga yangtentram di kemudian hari apabila kita hidup bersamanya kelak. Baru setelah kedua factor itu, pertimbangan “kepribadian” yang lain (baca: harta pribadi) berupa keamanan finansial dan dukungan keluarga. Perpaduan dari semua itulah yang menjadi pertimbangan sehingga seseorang berani atau tidak untuk meningkatkan status hubungannya ke tingkat pernikahan.
Ya, semua logika itu wajar, meski aku tak sepenuhnya menyepakati. Banyak juga anomali-anomali dari formula umum itu. Bagiku, cinta adalah energi yang bisa merubah manusia itu sendiri, sang pencinta. Dengan cinta, seseorang mau terus belajar dan bergerak untuk menjadi lebih baik, demi orangyang dikasihinya. Jika belum dewasa, ia akan rela menjadi lebih dewasa, tanpa dipaksa. Karena cinta, ia bisa lebih giat bekerja untuk menghidupi dan menghidupkan cintanya. Demi cinta, aku percaya seseorang mau dengan suka rela menyelaraskan diri dengan pasangan dan lingkungannya, selama itu untuk kebaikan.
Ya, bagiku, cinta cukup ampuh untuk itu semua. Pernikahan tak harus bermodalkan kemapanan finansial maupun kesempurnaan kepribadian. Bahkan, bagiku, pernikahan tak harus diawali dengan emosi cinta antara keduanya (dalam artian, cinta secara universal pun sudah cukup). Nah, lo!! Artinya, gak harus pacaran dulu. Ada nilai cinta yang lebih transenden, kecintaan kepada yang Maha Kuasa, sang maha pembuat skenario, sang maha yang memberikan semuanya, termasuk rasa cinta itu sendiri. Orang yang punya nilai-nilai seperti itu, percaya bahwa segala sesuatu ada jalannya.
Dengan bekal transendensi demikian, untuk orang-orang yang aku kira agung, untuk orang-orang yang berhati bersih, tentunya konsep sakinah-mawaddah-warahmah akan mengikuti. Untuk orangyang terlalu jauh dari kriteria agung itu, sepertiku, kukira jujur dan itikad baik untuk bertumbuh, sudah cukup bagus. Apalagi jika ditambah dengan cinta yang kualitasnya layak untuk dipertahankan.
(Ah, gw cuman berteori mulu, ya?! Heheheh…lum pernah sie!)

REDAM EMOSI PATAH HATI, dengan menulis

Yang terpenting adalah kontrol emosi dan keluarkan dengan cara yang benar, tanpa merusak ato menyakiti. Bagaimana caranya?
1.Cari tempat yang sunyi. Bawa bolpoin dan kertas. Tulis semua keluh kesah dan beban pikiran, bahkan pula umpatan. Jangan berhenti menulis sampe benar2x lelah ato tak ada lagi yang bisa ditulis. Setelah itu berhenti menulis dan jangan berpikir lagi tentang apa yang telah dilakukan.
2.Hari berikutnya, lakukan hal yang sama. Simpan kertasnya, lakukan lagi untuk hari berikutnya.
3.Hari ke-4, baca semua yang pernah ditulis, lalu cari tempat yang aman untuk membakarnya. Hayatilah bahwa pada saat kertas tersebut jadi abu, saat itulah emosi juga hilang. Dengan perasaan yang lebih ringan dan emosi yang stabil, sekarang bisa konsultasi dengan orang lain. Kita juga bisa berpikir jernih dan ambil keputusan dengan pikiran jernih.
(catatan: diambil dari Minggu Pagi eds. Mgg II oktober 2007)

Hahaha, dulu aku memang sering juga melakukan seperti itu. Kadang nulisnya di sobekan-sobekan kertas yang akhirnya aku kumpulkan pake penjepit besar, lalu disimpan di kardus yang berisi tumpukan buku-buku dan kertas. Naruhnya di tumpukan bawah yang jarang kita lihat dan jarang pula kita buka. Sekali-sekali, saat bersih-bersih ato nyari file, kadang tiba-tiba nemukan tulisan itu lagi. Iseng-iseng, baca-baca lagi. Ya, hanya iseng sebagai hiburan. Dan biasnya aku akan terkesima sendiri, betapa aku bisa menulis dengan cara seperti itu. Exciting. Bagus juga, karena emang bener2x dari dalam hati. Bisa menggambarkan perasaan atopun situasi dengan detail. Sesekali bisa cari inspirasi dari situ. Kalo gak lagi patah hati, boleh jadi malah susah untuk bisa nulis sebagus itu.
Kadang pula, tulisan2x itu tak aku simpan, tapi aku bakar, ato aku sobek kecil-kecil. Lalu, aku “larung”. Kadang, nge-larungnya di kali depan rumah, ato di sungai yang lebih besar, dengan imajinasi bahwa bangkai kertas itu akan sampai ke Laut Selatan dan hilang entah kemana (Hehehe…nyampe ke Nyi Roro Kidul, nkali, ye!!) Pernah juga kertas itu bener-bener aku larung diLaut Selatan, seperti kalo orang-orang nge-larung sesaji, hehehe. Hmmm…..sesajiku adalah kelegaanku untuk menghilangkan semua beban itu….
Anda juga lagi emosi patah hati? Coba aja cara itu!

TIPS MENGATASI PATAH HATI/ DIPUTUS PACAR

1.Jingkrak-jingkrak/ setel musik keras-keras sampe capak lalu tidur. Pastinya nyaman karena saking capeknya sehingga tiodak kepikir lagi tentang patah hatinya.
2.Ceritakan kepada teman-teman.
3.Menghapus “jejak”nya dengan memusnahkan semua file tentang dirinya di kepala, termasuk barang-barang yang mengingatkan tentang dirinya. Lakukan juga hal-hal yang menyenangkan dan menghibur. Kalo masih ingin menangis, ya menangis saja, tapi hanya 5 menit loooo!
4.Berhenti meratap. Catat jawaban-jawaban jika ada teman yang bertanya tentang hubungan kamu dengan si dia. Lalu, bergaul dengan orang-orang lama (yang mungkin dulu pernah kamu tolak) atopun orang baru, siapa tau mereka lebih menyenangkan daripada si dia.
5.Jangan dengarkan gossip tentang dia. Jika dia sama menderitanya, boleh jdi kita akan membangun harapan kosong di hati. Kalo ternyata dia telah berbahagia dengan orang lain, takutnya kita terjebak ego kita sendiri untuk balas dendam. Gak perlu banget, kan?
6.Membangun diri lebih positif. Lakukan hal-hal positif dan ambil sisi positif.
7.Aktifkan “otak” dan berpikirlah rasional. Tinggalkan dulu hal-hal yang bersifat romantisme dan mellow. Rayakan kebebasan tanpa kekasih. Hidup tetap menyenangkan meskipun tanpa dia.

Catatan: tips tsb ditulis kembali dari Minggu Pagi eds. Minggu I dan II Okt 2007

BEKAL BAGI YANG JATUH CINTA

Apa ya? Aku jadi lupa. Kapan-kapan aja aku posting ulang. Yang aku ingat sie….bahwa, kalo mau jatuh, jatuhlah , tapi bukan terjerumus. Hahaha…terjerumus macam apa? Terjerumus ke jurang asmara?
Tapi pula, sebenernya kalo orang lagi kasmaran, istilah yang tepat mah bukannya jatuh cinta…tapi bangun cinta. Kasihan kan kalo jatuh…ntar sakit! Kalo jatuh kan, hampir pasti sakitttt. Kalo bangun cinta, kan diharapkan akan happy ending, meski bukan jaminan. Kayak mem-bangun rumah tuh…kan harapannya baik-baik saja, bisa membuat penghuninya ng-at home. Celakanya…paling2x kalo roboh karena gempa bumi ato dibalaki ama orang. Dan itu kan kemungkinannya kecil. So…siapa yang mau jatuh cinta? Siapa yang mau bangun cinta?

DAN KUATASI CINTA ITU

Dari awal, aku tau bahwa segala sesuatu punya risiko. Kalo gak berani ambil risiko, gak usah hidup, lah!
Segala sesuatu punya risiko dan penyikapan kita adalah sebuah pilihan. Pilihan yang kita ambil adalah pilihan yang kita cintai, bukan pelarian, yang dengannya kita bisa menjadi diri sendiri sehingga kita akan bertanggungjawab atas segala konsekuensinya. Tentu tetap didahului dengan perhitungan yang matang.
Begitu pun dengan cinta. Orang bilang, jangan pernah katakana bahwa dirimu hidup jika belum pernah merasakan jatuh cinta. Nah, lo!
Hahaha, aku mencinta maka aku ada (eksistensialis cara gw! Gw, gitu loh!) Nyatanya, eksistensialis cara seperti itu memang ada dan kurasakan.
Syukurlah, pengalaman dalam hidup telah mengajartkanku akan risiko-risiko itu. Ketika kuulik kembali beberapa bulan terakhir, syukur pula bahwa aku telah dipersiapkan semuanya. Semua diperlancar. Bayang pun!! Risiko mencintai seorang Raka, telah aku sadari sejak awal. Ketika aku dikecewakan dengan sangat atas masalah Mager Sari, aku melihat fakta-fakta itu satu per satu terbuka sedikit demi sedikit. Dan kebetulan, pada saat yang sama, nasib telah mempersiapkanku menghadapi semuanya.
Pertama, terlalu jarang aku mendengar permintaan maafnya setelah pengingkaran2x kecil. Satu kali aku catat dalam memoriku, permintaan maafnya di Ngrukem bahwa ia menyerah dan mengatakan komputernya error. Selebihnya, terlalu jarang. Dan itu tak terlalu penting karena tanpa diminta pun, seringkali rasa sebal bisa luntur dengan sendirinya. Tak apa, rasa marah hanya akan menggerogoti diri kita sendiri.
Kedua, secara kebetulan, aku membaca tips-tips mengatasi patah hati ataupun pengkhianatan-pengkhianatan, serta kudapatkan wawasan-wawasan untuk menilai seseorang. Entahlah, kenapa waktunya bisa demikian. Skenario ini memang sangat mengagumkan.
Ketiga, aku diberi kemantapan hati untuk mengeksekusi keputusan ini. Melamar, bo! Hahaha…lompatan yang besar.
Semua itu berkait kelindan dengan fakta yang terbuka menjelang dan selama Ramadhan. Ramadhan yang penuh berkah. Tentang anak-istri, tentang rumah Jakal, tentang bekas kosan si “mantan pacar”, bagaimana kesan yang kutangkap dari ibu itu tentang pasangan XXXX-Raka. Juga tentang dibukakannya hati Raka. Terima kasih.
Jika aku mau bersikeras memuaskan hati, bisa saja sekali waktu aku mencari dan menemui XXXX/ Raka di tempat tinggal mereka. Bisa saja aku mengunjungi kampung halaman raka di Ciamis. Hanya saja, untuk sekarang, gak terlalu penting. Kapan-kapan saja. Kalau segalanya longgar, aku akan melakukannya.
Meski cinta ini belum berakhir, bahkan mungkin tidak akan berakhir, gpp. Kusimpan mereka dalam hatiku. Raka manusia istimewa yang pernah mengisi hari-hari bahagiaku di masa kemaren duldu, meski (mungkin) bukan untuk hidupku di masa yang akan dating. Ada sesuatu di atas kecintaanku terhadapnya. Dan, kuatasi cinta itu, dengan caraku.

POLIGAMI TIDAK DIPERBOLEHKAN DALAM ISLAM

Poligami tidak boleh dalam Islam, demikian diungkapkan oleh Sinta Nuriyah/ istri Gus Dur, sebagaimana aku baca di majalah Femina. Lebih lengkapnya, sbb:
Jangankan kita, putrid Nabi Muhammad saw pun, Saidah fatimah, tak mau dipoligami. Nabi sendiri melarang sobat Ali bin Abi Thalib melakukan poligami terhadap putrinya. “Fatimah itu bagian dari diriku. Menyakiti Fatimah sama dengan menyakitidiriku.” Jadi, Nabi tahu bahwa poligami akan berdampak yang menyakitkan. Nabi pun melakukan poligami karena ketentuan dari Alloh (yang dikawini pun janda peperangan). Pernyataan ini di lakukan di depan publik. “Saya tidak izinkan! Saya tidak izinkan! Saya tidak izinkan!” Jadi, tiga kali.
Banyak yang menafsirkan ajaran agama Isalam secara salah, ayat Al Qur’an hanya dibaca sepotong. Kalau dibaca secara kseluruhan, maka di situ akan muncul bahwa secara eksplisit poligami tidak boleh dalam Islam.
Mereka yang beranggapan bahwa Islam membolehkan poligami karena mereka membaca QS An Nisaa:3 “fan kihuu maa thaaba lakum minan nisaa-I matsnaa wa tsulaatsa wa rubaa” yang artinya “kawinlah kamu (laki-laki) dengan perempuan, dua, tiga atau empat” , titik sampai di situ. Kalau titik, berarti boleh, menyuruh. Padahal ada kelanjutan dari ayat itu (masih di ayat 3) yaitu: “fain khiftum allaa ta’diluu fawaa hidatan” yang artinya” jika kamu sekalian merasa khawatir, takut untuk berbuat tidak adil, maka kawinilah satu perempuan saja”.
Sekarang, keadilan itu diukur oleh siapa dan ukuran mana?
Dalam Al Qur’an, kata keadilan ada dua macam, yaitu “qasata” dan “adala”. “Qasata” artinya keadilan yang bersifat materiil, sedangkan “adala” keadilan yang bersifat immaterial, termasuk cinta dan kasih saying. Dalam ayat tadi, disebutkan “alla ta’diluu” yaitu mengggunakan “adala”, berarti keadilan yang dituntut adalah keadilan yang bersifat immaterial. Padahal keadilan immaterial kan susah.
Jadi, secara eksplisit poligami itu tidak boleh, agama Islam ikut paham monogamy. Karena penafsiran yang patriarki, yang menguntungkan laki-laki, maka prakteknya seperti sekarang ini.
Saya (baca: Sinta Nuriyah) tidak melihat ada keuntungan untuk perempuan dalam poligami. Yang saya lihat malah kerugiannya atau dalam Islam disebut mudharat-nya. Nabi saja melihat kesengsaraan oran g yang dipoligami. Maka banyak imam seperti Imam Al Thabari, Ibnu Hasan dll yang mengatakan bahwa ayat tersebut sebenarnya ketidakbolehan atau keharaman dari poligami karena mudharatnya lebih banyak dari manfaatnya.
Wanita harus sadar bahwa poligami menyakitkan sesamanya, tak ada untung nya bagi dirinya. Jadi, wanita harus tegas terhadap poligami. Caranya, tidak mau didekati oleh laki-laki yang sudah punya istri dan juga tidak mau mendekatinya. Wanita yang mau dipoligami (wanita yang bersedia menikah dengan pria beristri) maka wanita ini akan menuju ke arah kesengsaraannya sendiri.
(dari majalah Femina eds. 17 Juli 2002)

AKAL YANG TIDAK SEHAT?

Aku ingat waktu itu, di penghujung Juli. Aku ingat bener, karena waktu itu adalah deadline pemubuatan dummy Mager sari. Stres, janji besok-besok terus…terus susah dicari dan tak ada kejelasan. Aku mulai pesimis, meski aku tetap berusaha mencari alternatif pengganti. Dengan segala keterbatasan, ditambah bahan-bahan yang dipegang oleh “cah bagus”, aku memang punya harapan yang tipis, meski aku tetap berusaha semaksimal mungkin untuk tidak segera menyerah.
Dan, akhirnya aku buka juga beban itu, bahwa blablabla yang sedang kuhadapi saat itu. Kubilang pada Niko tentang apa yang terjadi. Tentang kekecewaan yang mana masalah kerjaan begitu saja diabaikan oleh “cah bagus”. Kalaulah masalah pribadi, selakan saja karena penyelesaiannya bias ditunda, sementara ini berkaitan dengan banyak orang.
Akhirnya, dia menyelidiki hubungan semacam apakah antara aku dengan “cah bagus”.
Kubilang, aku sendiri telah mengatakan pada “cah bagus” bahwa Dia mo punya pacar bejibun orang, silakan. Dia mo punya temen mesra seberapa pun silakan. Bahkan, jika dia telah menjadi suamiku pun, silakan saja jika dia mau mencari dan bersama perempuan lain, perempuan bebas maupun perempuan komersil, dengan syarat-syarat tertentu. Bagiku, dia sudah dewasa dan bisa membedakan apa yang seharusnya dan tidak seharusnya. Sebagai istriseseorang hanya bias mengingatkan, selebihnya adalah pilihan si lelaki. Syarat kedua, tidak ada tekanan ataupun aniaya antara si laki-laki dan si “perempuan alternatif” itu. Ketiga, mintalah ijin dan ngasih tahu ke aku, bias saja justru aku yang akan mencarikan “perempuan lain” itu.
Aku pernah utarakan seperti itu ke “cah bagus”. Cah bagus mengingatkan untuk hati-hati dan tanggungjawab dengan kata-kataku. Ya, memang demikianlah bagiku. Aku mengatakannya dengan penuh kesadaran.
Mengetahui cara pandangku, sontak Nikomengatakan,”Wa, kamu gak sehat!”
“apa? Gak sehat?” tanyaku memastikan.
“Ya, kalau seperti itu, akal kamu gak sehat.”
Kurang ajar, dibilang akalku gak sehat! Bagiku, cara pandangku ini logis!
Niko menambahkan bahwa akalku gak sehat dan nalarku gak benar. Ia berusaha menyeretku untuk tegas dan tak mau tertindas. Feminisme! Ya, aku melihat dia mendorongku punya pemikiran sebagaimana yang sekarang kulihat diperjuangkan kaum feminis. Seharusnya, Maya yang hidup dalam masa sekarang, seorang intelek yang semestinya punya wawasan luas dan terbuka, seharusnya bias berpikir logis.
Ah, terserahlah. Apakah mo dibilang aku konservatif ato apa, silakan saja. Bagiku, seseorang tak perlu dikekang-kekang. Kita sudah dewasa. Dan kita juga punya hati nurani yang akan selalu menuntun langkah kita. Sebagai seorang istri, perempuan punya kewajiban untuk mengingatkan (hehehe…semestinya termasuk juga mencegah dengan “tangan” ya…gak Cuma lisan?). Dan aku juga telah mengingatkan posisinya, bahwa sebagai seorang suami, dia punya kewajiban pula untuk menjaga diri sehingga ia musti memikirkan bagaimana nanti jika anak-anak tahu sepek terjang bapaknya, bagaimana pula dengan keluarga besar dan tetangga. Artinya, dia telah berpikir dan memilih dengan sadar.
Ingat pula, bahwa syarat ketif
Ga dariku adalah minta ijin dan ngasih tahu ke aku. Artinya, aku gak mau ia “bermain di belakangku”. Hehehe, padahal, teori dari mereka yang berselingkuh mengatakan bahwa nikmatnya justru karena sembunyi-sembunyi, ya? Hehehe, kayaknya gak juga! Sesuatu yang tanpa beban, seseatu yang dilandasi pemaknaan yang lebih, justru di situlah kenikmatan yang lebih tinggi bias dicapai.
Aku percaya, saat melakukan sesuatu yang tidak semestinya dilakukan, sebenarnya hati kita berontak. Seseorang tidak perlu dikekang-kekang karena masing-masing punya tali kekang untuk dirinya sendiri. Dan cinta pun punya daya kekangnya sendiri. Tak usah repot-repot dengan aneka rupa aturan karena kita juga bias berupaya bagaimana caranya merawat apa yang ada.
Lalu, jika aku mau “berbagi laki-laki”, apakah aku mau dan siap di-poligami? Hehehe…..topik pro-kontra sepanjang jaman. Aku sendiri, konservatif , memang. Tentang semua takdir, itu urusan Tuhan.
Bagiku, ukuran poligami ada dua. Satu, aku melihat kualitas dari laki-lakiku, apakah dia cukup kompeten untuk berpoligami. Dua, aku melihat kemampuanku sendiri apakah mampu merelakan diri berbagi suami. Cuman itu. Kalo persoalannya adalah aku yang disuruh jadi istri muda….waduhh!!Ijinnya ke banyak orang. Dan setelah semua argumentasi, aku menyerahkan pada orang tua dan istri terdahulu. Hahaha, emangnya seberapa besar pengandaian itu sehingga musti berpikir andai-andai.
Berandai-andai ataupun tidak, hal semacam ini telah jadi fenomena umum yang menuntut penyikapan. Secara pribadi, begitulah penyikapanku. Apakah aku masih gak sehat?

RAKA KUCIWa, cerita tentang….apa

RAKA KUCIWa, cerita tentang….apa
Raka Kuciwa, demikian aku menyyebutnya. Ya, dia. Dia yang membuatku jatuh cinta dengan tiba-tiba. Lalu aku bahagia. Lalu aku terluka. Lalu aku tetap bahagia.
Ketulusan, rasa senggan, kebohongan ataupun sesuatu yang disembunyikan, meskipun tidak bias dilihat dengan kasat mata sebagai sebuah fakta, namun semua itu adalah sesuatu yang dapat dirasakan, sesuatu yang bias diraba dengan perasaan. Seperti juga aku yang merasakan adanya “something wrong” sebelum aku merasakan tumbuhnya rasa suka padanya.
Aku tahu dia tulus saat-saat pertama. Aku tahu dia bersedih merasakan rasa sayangku padanya. Aku tahu dia menyembunyikan rasa sedih. Rasa tidak tega dan tak kuasa, telah dialihkannya untuk tertawa dan bersikap mengabaikanku. Maaf, bagiku, dalam cinta ada sebuah komitmen yang tak terkatakan. Dalam cinta ada sebuah penghormatan, meski dalam cinta tetap ada tarikan untuk pemenuhan ego pribadi.
Dan ternyata, antara cinta dan pengkhianatan, seringkali garis batasnya terlalu samar. Sakit. Orang bilang, cinta…deritanya tiada berakhir. (hmmm, apa iya?) Boleh jadi, “waktu” akan mengubur rasa sakit itu. Namun, aku musti sadar bahwa waktu tak akan menunggu. Waktu tidak akan mengobati rasa sakitku jika aku terus sedih dan meratap. Hahahaa…seperti cerita- cerita picisan saja. Dan ini nyata terjadi padaku!!
Jatuh cinta, bahagia sekejap saja, lalu terluka karena ternyata dia telah memiliki dan dimiliki orang lain. Lalu, dia meninggalkan. Klasik banget!
Daannn, aku tetap bahagia. Bagiku, bukan persoalan kalah-menang karena segala sesuatu yang didasari cinta pasti menafikan urusan kalah-menang. Inilah yang namanya “mencintai”, sesuatu yang aktif, sesuatu yang secara tak sadar telah memberiku kekuatan untuk memberi. Semoga Raka di sana bahagia dan tak terulang seperti ini lagi di masa nanti. Aku tak peduli siapa Raka dan siapa perempuan itu. Aku hanya peduli bahwa dia adalah orang yang aku cintai, dan bahwa perempuan itu adalah istri dari orang yang kucintai. Dan aku tetap berhak mencintainya (hehhehe, muka badak ato muka tembok? Ato, muka badak nabrak tembok?)
Dan di atas itu, aku tak boleh aniaya terhadap mereka maupun terhadap diriku sendiri. Di atasnya lagi, di atas semua itu, di depan sana, akan ada seseorang yang harus aku cintai dengan cara yang sangat-sangat lebih. Seseorang tempatku bersandar dan seseorang yang harus aku peluk dan junjung agar dia tidak jatuh. Seseorang yang akan menemaniku berjalan dan berlari. Ya…seseorang tempatku berjibaku mengabdi.
Kesedihan selalu mengingatkan kita untuk merunduk dan sadar bahwa kita ini bukan apa-apa, bahwa kita tak kuasa dan bahwa ada sesuatu yang lebih wajib kita cintai di atas segalanya. Kerinduan dan rasa cintaku begitu lamat-lamat meski bukti cinta itu begitu lekat menyentuhku.
Buat Raka di sana, Maya sayang ma kamu, semua bagian dari kamu. Aku ingin bertemu Nyonya-mu, untuk melihatnya dari dekat dan agar aku bias lega menitipkan kamu padanya. Juga Raka-raka kecil juniormu. Maya saying kalian semua. Maya percaya, selagi ada cinta, akan selalu ada sesuatu untuk diberikan, meski hanya berupa harap di sela sengguk tangis, meski hanya doa di saat hening. Bahagia, dan bangunlah kembali bahagiamu di sana.

KOK BISA

Kadang aku tak habis piker, kok bisa ya orang yang aku cintai berlaku seperti itu ke aku. Aku jadi ingat pesan Bang Napi RCTI, kejahatan tidak hanya terjadi karena ada niat dari pelakunya tetapi juga karena ada kesempatan. Hmm…memanfaatkan kesempatan?
Kadang aku menyadari, naïf sekali aku ini. Culun. Mungkin karena itulah aku dibohongi, lagi.
Tapi, aku tak menyerah. Aku percaya, ketulusan akan selalu memberikan kebahagiaan pada akhirnya. Aku percaya, dari sikap tidak tulus seseorang, tidak akan pernah ada kebahagiaan yang sebenar-benarnya.
jadi, tak usah sibuk berpikir “kok bisa”.

RAMADHAN DAN LEBARANKU

Sebelum Ramadhan kemaren, rasanya pengeeen sekali segera menjumpaina. Ada harap-harap cemas menantikan keagungannya.
Setelah Ramadhan tiba, ya…..satu bekal yang kucatat adalah apa yang disampaikan Bu Nunung bahwa sepuluh hari pertama ramadhan Alloh melimpahkan kasih sayang. Sepuluh hari pertengahan Alloh melimpahkan maghfiroh/ ampunan, sedangkan sepuluh hari terakhir Alloh menjauhkan dari api neraka.
Ya, memang benar, kasih sayang itu tampak begitu nyata saat aku “ditolak”. Hehehe, sebuah lompatan yang besar dalam hidupku, dan aku diberi kemudahan. Lega. Apalagi setelah itu dia mulai “membuka” diri secara tidak langsung. Kiranya semua itu bentuk kasih sayang Alloh untukku, dibukakan fakta-fakta itu.
Sepuluh hari berikutnya, aku manfaatkan untuk introspeksi diri. Kalopun mohon ampunan, Tuhanlah yang paling tahu seberapa besar taubat dan rasa sayangku. Kadang terasa begitu susah dan ironis sekali tatkala aku mengatakan cinta. Toh kelakuanku tetap seperti itu-itu juga.
Sepuluh hari terakhir, mulai lelah. Kondisi sekeliling dan semangat Ramadhan mulai meluntur, dan lalu disibukkan dengan kegiatan-kegiatan keseharian menjelang lebaran. Capeeeeek bgt.
Di akhir Ramadhan, lalu masalah baju baru. Hehehe, ponakan-ponakan mulai disibukkan nyari-nyari baju. Yang gedhe pada sibuk nyari duit, menyeretku juga untuk ikut capek-capek. Urusan semacam parsel dan sebagainya yang tak ada hubungannya denganku terdengar begitu riuh. Hahaha….tapi aku cuma melompong.Orang-orang bersibuk mikir baju, lah aku mo ngapain? Maksain beli baju? Aku sendiri jadi malu saat kuingat kualitas puasaku, apakah aku cukup bisa dibilang mendapatkan kemenangan? Apakah aku pantas merayakan kemenangan?
Hingga suatu hari, kakak laki-lakiku ngasih duit, lima puluh ribu. Heheh….mo buat apa? Apakah musti beli baju ? Hehehe, tanggung juga….dan sekali lagi, aku malu.
Aku ingat sekali, saat aku masih kecil, begitu jarang aku mendapatkan hadiah baju baru saat Idul Ftri. Jaraaaang sekali. Bajuku hanya itu-itu saja di saat-saat hari besar, karena memang baju itu jarang dipakai, hanya dipakai saat hari istimewa.
Saat remaja, aku ingat banget, pertama kali aku “ngelengke”/ menyempatkan beli baju dari uangku sendiri. Saat itu kelas 3 SMA, saat datang kiriman duit hadiah lomba nulis yang baru dikirim menjelang lebaran. Entah, aku dulu belanja apa, sepertinya sie sedikit saja, bukannya terus foya-foya. Yang utama adalah beli rok hitam panjang (entah apakah aku juga beli blusnya atau tidak). Hanya rok itu yang aku ingat, di Ramayana Malioboro.
Setelah itu, perayaan lebaran dari tahun ke tahun pun tetap, tidak harus dengan baju baru. Sesekali ada kiriman dari kakak ipar, sesekali aku beli blus saja, ya….sesekali saja. Aku lebih sering mendapat “warisan” dari kakak-kakak. Hehehe, nasib jadi manusia terkecil di rumah ya seperti ini. Ah, peduli amat!
Sekarang-sekarang, saat kakak-kakakku pada lebih dewasa dan tua, justru kulihat seakan-akan mereka mewajibkan adanya baju baru di hari lebaran. Awalnya diniatkan membeli untuk anak-anak mereka, toh akhirnya mereka membali juga untuk diri mereka sendiri. Ah, baju baru!
Hari terakhir Ramadhan, saat nganter Simbok ke pasar, aku dipaksa ikut ke los-los pakaian dan kain. Aku dipaksa-paksa membeli baju. Duuuh, bingung juga aku. Layaknya anak kecil yang ditunggui memilih dan membeli baju. Pusing. Akhirnya , aku berjanji,” Iyaa deh, nanti aku beli sendiri.”
Daaan, sampai sekarang, aku belum beli juga. Aku akan membelinya nanti. Nanti-nanti, maksudku, gak tahu kapan.
After Ramadhan n lebaran, now….ya…seperti ini. I’m fine.

Tuesday, October 16, 2007

Slamaaaaaaat, slamat

Selamat utk diriku sendiri! Sekarang aku bisa ngeblog lagi!!G tau nie gimana dengen otakku ini sehingga aku mpe lupa ma paswordku sendiri. Hehehe...emang lagi rada eror kmaren. Sekarang mah enggak :)
So, selamat datang dunia baru. Kapan2x kuposting beberapa hal yang pengen kupostingkan. yang jelas...sekarang aku legaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa