mayadefitri

Monday, July 03, 2006

ROMANTISME BBM, sebuah opini

ROMANTISME BBM
Emas, dimana pun dikenal sebagai logam mulia dan barang beharga. Karena ketersediaanya yang terbatas, eksklusivitas inilah yang menunjukkan citra dan gengsi pemilik emas, baik emas kuning maupun emas putih. Ketika minyak bumi mendapat julukan sebagai emas hitam, tentu tak lepas dari logika itu. Keistimewaan minyak bumi sebagai sumber energi utama yang digunakan masyarakat saat ini, membuat keberadaan minyak berimplikasi secara signifikan pada tiap sektor kehidupan. Minyak bumi bersentuhan secara nyata pada nilai-nilai ekonomi, politik, sosial maupun budaya, bahkan bisa berujung pada pertahanan nilai pertahnan dan keamanan secara lokal, nasional maupun internasional.

Menyusul Inpres No. 10 tahun 2005 oleh SBY beberapa waktu yang lalu., serta merta kampanye hemat energi kembali digaungkan. Beberapa sektor coba disentuh bahkan hingga rencana mengandangkan mobil-mobil tua. Lampu kuning pun mulai disorotkan untuk mengingatkan akan diberlakukannya kenaikan harga BBM. Berbagai reaksi pun bermunculan.

Hal ini mengingatkan kembali pada gejolak masyarakat atas kenaikan-kenaikan harga yang terjadi sebelumnya, baik pada masa pemerintahan Megawati maupun SBY. Kini, kenaikan dimulai pada pertamax dan peramax plus per 1 September 2005, sedangkan kenaikan secara umum dipastikan akan dilakukan pada bulan Oktober mendatang. BBM menyandingkan perannya dengan kebutuhan pokok sandang-pangan, papan.

Bukti kekuasaan BBM dalam dinamikanya dapat dirunut dari perjalanan sejarah BBM itu sendiri. Minyak dan gas bumi (migas) telah dikenal sejak 5000 tahun yang lalu dan dipakai secara kecil-kecilan dalam bentuk aspal, ter, minyak tanah dan sebagainya. Di Cina, sumur komersial minyak bumi telah dibor tahun 1000 SM sedangkan di Birma pada tahun 1000 M. sementara di AS, sumur komersial pertama baru dibor tahun 1859 di Pensylvania. Sejak itulah produksi minyak mulai dilakukan secara besar-besaran, ketika Rockefeller dengan kepemilikan saham sebesar 27% mendirikan joint stock company bernama Standart Oil Company pada tahun 1870. Enam tahun kemudian, ia membentuk Standart Oil Trust yang memiliki jaringan pipa minyak membantang di seluruh Amerika. Rockefeller lantas memborong ladang-ladang minyak dan berbagai perusahaan pengilangan sehinga menjadikan Standart Oil sebagai perusahaan minyak yang terintegrasi dan relatif berdikari . Dengan jaringan “teman-temannya”, Rockefeller mencapai masa kejayaannya. Kekayaannya sangat fantastis sehingga melampai kekayaan semua negara bagian Amerika. Masa surut harus diterima Rockefeller ketika terjadi gerakan anti trust yang menilai bahwa monopoli merupakan cara “mendepak orang lain dari wilayah perdagangannya sehingga merampas hak orang lain untuk berusaha”. Perjuangan gerakan ini membuahkan hasil dengan dibubarkannya Standart Oil oleh Mahkamah Agung Amerika. Maka, ke-30 anak perusahaan Standart Oil harus kembali ke negara bagian masing-masing. Tiga diantara anak perusahaan Standart Oil kemudian menjadi raksasa minyak dunia, yakni: Exxon, Mobil dan Socal. Bersama empat perusahaan minyak yang lain, dikenallah sebutan “The Sevent Sisters” sebagai pihak yang punya kekuatan besar dalam industri perminyakan. Begitu dominannya kelompok ini sehingga menginspirasi munculnya OPEC sebagai kekuatan baru untuk melawannya agar eksplorasi minyak memberi kontribusi yang adil bagi negara-negara produsen minyak.

Kelahiran OPEC dapat dipandang sebagai kemenangan negara-negara dunia ketiga dalam melawan pola dominasi dan ketergantungan. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, negara berkembang berhasil mengambil kekuasaan ekonomi dari perusahaan-perusahaan multinasional itu serta memperbaiki term of trade negara-negara industri.

Produksi minyak di negara-negara berkembang pun menunjukkan peningkatan yang pesat hingga tahun 1972 (5 % per tahun) dengan disertai harga minyak yang murah. Tentu saja ini menggembirakan bagi negara-negara industri. Konsumsi energi per kapita mereka mencapai 16 kali konsumsi negara-negara berkembang. Artinya, dengan harga minyak yang rendah, negara-negara berkembanglah yang menghidupi negara-negara industri. Ketergantungan energi berbasis minyak pun terjadi. Negara-negara produsen minyak menganjurkan penggunaan minyak, sedemikian rupa agar minyakhanya digunakan untuk noble use atau bahan baku industri dan pengangkutan. Mereka menyadari, apabila harga miyak tetap dibiarkan rendah, tidak hanya akan menekan pengembangan sumber energi lain, tapi juga menimbulkan pemborosan minyak tanpa memperhatikan prinsip konservasi. Aliran minyak pun dipepatkan. Tahun-tahun tersebut (1973-1974) dinilai senagai tahun tidak normal. Embargo minyak telah menyebabkan resesi ekonomi. Negeri-negeri dingin pun meringkuk dalam musim dingin yang gelap. Akibanya, krisis terbesar untuk pertama kalinya dalam sejarah perminyakan dunia.

Disinilah kemudian negara-negara industri mulai menyadari untuk mengurangi ketergantungan impor dari negara-negara dunia ketiga. Sedapat mungkin, mereka mengembangkan potensi minyak dalam negeri serta mengembangkan alternatif energi lain.

Sebagai negara yang ikut tergabung dalam OPEC, isu-isu global seperti ini pun tak terkecuali juga disadari oleh Indonesia. Apalagi Indonesia bukanlah negara yang betul-betul kaya minyak sehingga tidak dapat disejajarkan dengan level negara Saudi Arabia, Kuwait ataupun Iran. Oleh karena itu, himbauan untuk melakukan penghematan dan pengencangan diversifikasi pun sudah didengungkan dari awal. Beberapa pihak pun sudah meramalkan kemerosotan persediaan minyak bumi. Namun, kemudian yang terjadi dan dapat kita amati, ketergantungan itu kian menjadi-jadi. Indonesia masih juga mengandalkan minyak sebagai sumber pendapatan negara. Produk-produk teknologi yang umum dimiliki dan dipakai masyarakat tetap juga berbasis BBM. Subsisi BBM dinilai terlalu “memanjakan” tanpa dibarengi dengan keberhasilan untuk membudayakan penggunaan sumber energi terbarukan. Ketika pemerintah mulai kelimpungan membayar subsidi serta terjadi disparitas antara harga minyak di Indonesia dengan yang ada di negara-negara tetangga, mau tak mau langkah kenaikan harga lah yang dilakukan. Gejolak kenaikan ini, dalam beberapa tahun belakangan masih dapat kita rasakan sehingga SBY meredamnya dengan kompensasi bagi masyarakat miskin, pada kenaikan per 1 Maret 2005 lalu. Meski begitu, keberhasilan upaya kompensasi ini pun masih perlu dicermati lebih lajut. “Untungnya” telah ada “wanti-wanti” (pesan bernada mengingatkan) bahwa kenaikan harga dilakukan secara gradual. Artinya, kenaikan masih akan terjadi. Rencana paling gres, kenaikan akan diberlakukan mulai Oktober ini.

Parahnya, krisis minyak yang sebenarnya telah diramalkan sejak puluhan thun yang lalu, selama ini kurang dibarengi dengan upaya yang masif untuk betul-betul menyediakan alternatif energi lain secara memadai dan mampu mengimbangi penggunaan BBM. Maka, kenaikan harga pun dilegitimasi sebagai cara satu-satunya untuk mengatasi krisis keuangan negara dalam jangka pendek. Risikonya, justru terjadi krisis baru di tengah-tengah masyarakat, bagaimana masyarakat coba mengencangkan ikat pinggang untuk tetap eksis dan menjaga keseimbangan.

Tentang cadangan minyak Indonesia yang hanya 1,1 % dari cadangan dunia, sebuah prediksi mengatakan bahwa jumlah itu akan habis dalam dua dasa warsa ke depan. Data tahun 2000, posisi Indonesia berada pada peringkat 17 sebagai produsen minyak bumi dunia dengan hasil sekitar 1,9 % dari total produksi global. Karena tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri, Indonesia pun mengimpor minyak mentah tetapi tetap menjadi eksportir minyak.

Bayangkan jika 20 tahun lagi cadangan minyak kita habis! Jika tetap harus menggunakan minyak, jika bahan bakar pengganti BBM belum mampu dikembangkan dari sumber nabati ataupun hewani, jika tetap harus menggunakan minyak, tentu tak ada yang dapat dilakukan selain menjadi importir secara penuh. Atau, kalau itu pun tak dapat dilakukan, mesin-mesin alat transportasi kita akan menjadi besi-besi tua.

Secara nyata, hal ini melengkapi daftar ironi di negeri “gemah ripah loh jinawi. Dulu, semangat swasembada beras membuat kita bangga ketika mampu mengekspor beras, namun akhirnya kita pun menjadi pengimpor beras. Dulu pula, banyak calon intelektual Malaysia yang berguru ilmu di Indonesia sementara sekarang justru sebagian orang-orang Indonesia berbangga bisa ikut eksodus ke Malaysia untuk mendapatkan pendidikan. Akankah minyak mengalami nasib yang serupa? Seberapa besar kita mampu menjaga optimisme?

Ibaratnya, ada 1001 cara menuju Roma. Sudah dikenalkan mobil-mobil berbahan bakar gas untuk alasan diversifkasi bahan bakar dan alasan kesehatan lingkungan, namun seberapa jauh masyarakat tertarik dan memilih mobil ber-BBG jika sulit dijumpai SPBU untuk BBG? Orang tahu bahwa energi matahari dan energi angin merupakan sumber gratis yang dapat dimanfaatkan sebagai alternatif pengganti BBM, namun seberapa besar hal itu dapat diproduksi secara massal sehingga bisa memasyarkat dalam penerapannya pada skala rumah tangga? Seberapa besar kita mampu membangun optimisme di tengah kekhawatiran-kekhawatiran itu?

Menilik lebih jeli, saya jadi teringat penjelasan filosofis Dhaniel Dhakidae bahwa pada hakikatnya kekhawatiran itu sendiri tercipta sebagai sebuah paradoks. Bencana itu bukan karena kelemahan tetapi karena kekuatan. Bencana itu bukan karena kegagalan tetapi karena keberhasilan. Seseorang yang menyadari keterbatasannya lantas menjadi seorang yang romantis. Seperti juga Hittler yang berbicara cinta dan keindahan di saat ia telah menghancurkan kota-kota dan menghabiskan nyawa manusia dalam jumlah besar. Artinya, kekhawatiran kita akan adanya krisis BBM ini merupakan buntut dari keberhasilan kita menggali sumber energi minyak bumi serta keberhasilan kita mengembangkan teknologi berkaitan dengan BBM itu.

Masih beruntung jika masih ada romantisme-romantisme itu, kesadaran atas ketamakan penggunaan sumber daya minyak. Dalam kondisi terpojok, ada dua kemungkinan. Pertama, bersikap pasrah karena melihat tapi tak memahami, apalagi mencari cara berkelit. Atau, sikap kedua, menghadapi dengan menjadikannya krisis sebagai daya lecut untuk melakukan perubahan secara kreatif dan melompat lebih tinggi. Ia akan menunduk, menggali ke dalam diri sendiri seraya “mendengarkan kembali bisikan angin dan menyantap sinar matahari”. Tapi tentu saja, tanpa memahami, perubahan tak akan terjadi sekadar dengan “bertanya pada rumput yang bergoyang”.

Catatan: dibuat awal September 2005 karena ribut2x kenaikan BBM itu. Dikirim ke mana...lupa...tp intinya: GAK DIMUAT!

0 Comments:

Post a Comment

<< Home