mayadefitri

Monday, July 03, 2006

BAPAKKU KEKASIHKU, sebuah cerpen lama

BAPAKKU KEKASIHKU
Oleh: Maya Fitrianingsih

“Dek, apa yang kamu cari dalam hidupmu sekarang ini? Apa yang ingin kamu dapatkan? Walaupun aku ini bukan malaikat, aku harap, aku bisa mewujudkan keinginan-keinginanmu. Paling tidak, bisa membantumu. Semua tergantung padamu, apa kamu percaya padaku, atau tidak,” kata-kata Okan tidak terlalu persuasif. Meski begitu, sudah cukup menyentuh hatiku untuk mempertimbangkan apa yang dia tawarkan.
“Aku ingin banyak hal yang tidak aku dapatkan selama ini. Aku benci keterbatasan-keterbatasan ini, Kan! Aku ingin hidup bebas dari himpitan persoalan yang melingkar-lingkar dan membentuk spiral di tubuhku ini. Aku ingin lari, Kan,” aku menjerit lirih tanpa menjawab pertanyaannya.
Sebenarnya kurang sopan juga aku memanggil laki-laki di hadapanku ini dengan “njangkar” tanpa embel-embel apapun di depan namanya. Tapi, nama Okan tampak begitu familiar di telingaku. Lagipula aku bisa menganggapnya seperti teman sebaya. Dia tidak mempermasalahkan. Dia selalu bisa menanggapi apapun yang aku perbincangkan, meski usianya dua belas tahun diatasku. Bicara dengannya tak ada matinya. Kadang tak ada ujung pangkalnya, tapi lebih seringnya aku mengiyakan pendapatnya. Dia bukan orang yang mau menang sendiri. Ia menghormati pendapat-pendapatku dan meluruskannya jika dirasa kura ng tepat. Bersamanya, aku diajak untuk lebih bijaksana melihat persoalan dan memandang sesuatu dengan lebih sederhana. Di waktu-waktu yang lain, ia bisa menjadi bapak sekaligus kekasih yang aku dambakan.
Secara emosi aku belum terlalu tergantung padanya. Ada beberapa orang yang menjadi tempat pelarianku manakala pikiranku kacau dan butuh ketenangan. Ada teman dan sahabat yang concern dengan apa yang terjadi padaku. Okan adalah salah satu alternatif yang selalu bisa menentramkan dan menenangkan hatiku. Seperti sebuah kebetulan, ia selalu ada manakala aku membutuhkan.
Aku dekat dengannya. Sering ketemu dengannya, secara sengaja ataupun tidak. Kalau tidak ada kesempatan untuk bertemu secara kebetulan, biasanya aku merasa perlu untuk mencarinya, sengaja agar bisa bertemu dengannya. Bukankah alasan itu bisa dibuat sedemikian rupa sehingga tampak tidak terlalu dibuat-buat. Dan nyatanya aku merasa selalu perlu sosok orang seperti dia. Untuk bercerita tentang hal-hal yang menyenangkan atau sebaliknya, berkeluh kesah. Padanya aku meluapkan semua isi dalam kulit tubuhku ini. Tapi, kadang-kadang aku juga merasa agak sungkan untuk mencurahkan semua padanya. Aku ingin terlihat lebih tegar di hadapannya. Namun aku perlu mengekspresikan apa yang ada di kepala dan tubuh ini, menjadi diriku sendiri, karena hal itu hanya bisa aku lakukan pada segelintir orang, teristimewa pada Okan.
“Kan.....apa kalau aku sering bertemu dengan Okan di sini, istri Okan di rumah tidak curiga?” kembali pertanyaan itu meluncur, berbarengan dengan kepalaku yang mulai bersandar dalam dekapannya. Hawa dingin yang menghangat mengagetkan bulu kudukku manakala tangan Okan maraih leherku.
”Dek, kenapa perlu dipertanyakan lagi. Percaya ama aku, dan itu tanggung jawabku,” kata-kata itu selalu membuatku tenang. Lagian aku juga tak mau digelisahkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak pasti seperti itu.
Hari ini adalah hari ini, esok adalah tanggungjawab esok. Yang penting, hati-hati dan tidak berlebihan. Itu saja, aku kira sudah cukup. Dan aku pikir, aku bukan perempuan gampangan yang bisa dibeli orang dengan sebegitu mudahnya.
Aku mengenal Okan beberapa waktu lalu ketika seorang teman kampus mengadakan syukuran kelulusan. Kebetulan agak gedhe-gedhean sehingga banyak relasi bapaknya yang diundang. Aku yang sebenarnya malas untuk berpesta, untuk menghormatinya, aku datang juga. Dan dari sanalah perkenalan itu membuahkan kedekatan yang makin lama makin lekat.
Setiap ke Jogja, Okan selalu meluangkan waktu untuk menemuiku. Menuruti dan melimpahiku dengan kebutuhan fisikku. Ia ingin aku tampil lebih trendi dan wangi sehingga terlihat lebih menarik di setiap kesempatan. Katanya, untuk menutupi kemuraman di wajahku. Apa iya, pikirku. Aku pikir dari dulu wajahku ya seperti ini. Sendu. Apa iya lebih tepatnya muram? Ah....peduli setan! Setan muram atau setan sendu, memangnya apa urusanku. Toh, manusia saja pada tidak peduli nasibku!
Okan tidak terlalu memperhitungkan apa yang telah ia lakukan dan berikan untukku. Aku lihat sikapnya itu tidak Cuma ditujukan padaku, tapi pada siapapun. Aku respek terhadapnya. Sikapnya yang tidak memandang sesuatu dari segi manfaat secara kasat mata. Dia tidak berpikiran bahwa dengan sesuatu ia harus mendapatkan sesuatu. Easy going adalah nilai plusnya yang lain. Selagi ia bisa, ia selalu menyempatkan diri menemuiku. Hampir tiap hari juga selalu ditanyakan kabarku, meski itu bukan menjadi kewajiban untuk tiap harinya.
Mobilitas yang dijalani Okan lebih banyak dijalani antara Semarang dan Jogja. Juga kota-kota sekitarnya yang terkait dengan bisnis otomotif yang sejak beberapa tahun lalu digelutinya, menyusul melemahnya bisnis real estate (yang katanya kecil-kecilan itu) yang melemah sejak krisis moneter. Jatuh bangun usaha telah membuatnya fleksibel dan teruji dalam mengelola usaha. Karena bisnisnya meluas ke perdagangan produk makanan dan kerajinan khas Jogja maka kesempatanku untuk bertemu dengannya menjadi lebih mudah.
“Kan, aku bahagia dengan apa yang ada selama ini,” akhirnya aku angkat bicara.
”Baiklah, aku percaya Okan. Aku percaya Okan bisa memunculkan gairah hidupku lagi. Aku ingin melupakan masa laluku, aku ingin melupakan cintaku. Aku ingin membahagiakan diriku sendiri. Kan...maafin aku ya, kalo aku belum bisa melupakan dia. Aku masih mencintainya, tapi susah untuk mencari pengganti. Aku tak percaya orang-orang...,” aku ingin cerita panjang lebar tentang Nando yang telah meraih dan menghempaskan aku., namun Okan segera memotongnya perlahan dengan kecupan di keningku.
”Iya, aku tahu. Itu adalah hakmu untuk mencintai siapapun. Dan aku akan tetap mengiringimu. Dati, masih banyak masa depan yang bisa kamu gapai. Gapailah apa yang kamu inginkan. Kamu pasti bisa,” ucapnya.
“Itu hanya satu sisi tentang laki-laki. Masih banyak sisi lain, Dati. Kamu sudah cukup dewasa untuk berpikir hal-hal seputar itu,” lanjutnya.
Sejenak Okan diam untuk meneruskan kembali kata-kata saktinya padaku,“Nanti, jika kau telah dapatkan pengganti yang mana mampu membuat hatimu mantap, berikan cinta dan seluruh dirimu padanya. Aku yakin, pada waktunya, kau akan dapatkan apa yang kamu inginkan, sebagaimana yang telah engkau berikan dengan ketulusan.”.
Aku salut pada Okan. Dia bisa menjadi segalanya untukku.
“Terima kasih,” hanya itu yang bisa aku imbuhkan ke dia.
**
Kegelapan malam merayap di paviliun yang kamu sewa ini. Tempat yang cukup sederhana, namun aku suka. Arsitektur bernuansa lokal seperti ini lebih aku sukai daripada paviliun atau hotel kebanyakan yang lebih suka meniru bangunan modern. Kesannya menjadi biasa dan tidak istimewa. Bukan karena upaya penghematan atau apa, tetapi kadang aku jengah sendiri jika harus bersentuhan dengan hal-hal berbau modernitas. Toh buat apa juga aku mencari fasilitas yang sama saja dengan apa yang aku dapatkan di rumah? Justru akan menjadi semakin tidak istimewa dan membosankan.
Baru pertama kali aku tinggal di paviliun ini, seakan aku telah lama dan akrab tinggal di dalamnya. Dan aku tidak ingin bergegas pergi. Aku mendapatkan suasana berbeda yang aku cari. Di sini.
Bilur-bilur kabut belum terlihat. Pagi masih terlalu dini untuk dimulainya terpaan hangat sinar matahari. Yang aku rasakan hanyalah dinginnya udara bercampur uap air, merayapi udara dan kulit pembungkus tubuhku. Diantara telusupan dingin itu muncullah kehangatan yang menyeruak silih berganti, mencubit dan sesekali menyengat refleks pada ujung syaraf perasaanku.
“Dati, kau sudah lelah? Masuk yuk, udara malam kurang baik untukmu.”
“Tidak, Okan. Aku senang udara ini. Aku tahu nantinya aku akan merindukan saat-saat seperti ini. Aku ingin menikmatinya bersamamu,” pintaku lewat genggaman jemariku di tangannya.
“Baiklah. Aku juga ingin kamu masuk angin, kok!”
“Loh....kok gitu sih alasannya? Jahaaaat deh,” aku sapu dagunya dengan cepat.
“He-he, biar aku bisa mengerik badanmu, bisa menghangati tubuhmu,” simpulnya.
Dan benar, aku semakin lekat padanya.
Malam terus merayap, seperti hari juga yang merangkak kian cepat. Hari berganti minggu, merangkaki bulan. Setengah tahun telah berlalu. Sayangnya, Nando yang telah aku lupakan, belum juga kudapatkan gantinya, selain hanya Okan yang kian lekat di hatiku. Bapakku kekasihku. Mungkin untuk sementara waktu. Aku tahu, suatu waktu, akan kudapatkan pelabuhan terakhirku.
***
utk bapakku-kekasihku, 26 mei 2k4

0 Comments:

Post a Comment

<< Home