mayadefitri

Monday, July 03, 2006

MEWASPADAI TV SEBAGAI ORANG TUA KEDUA BAGI ANAK, artikel opini

Seorang ibu sibuk dengan urusannya sendiri, sementara anaknya dibiarkan menonton televisi tak jauh darinya. Otomatis, televisi pun ditonton bersama-sama. Namun, pemegang kekuasaan bagi remote control adalah sang anak. Mereka terpaku pada adegan yang ditampilkan sinetron itu, sebuah pertengakaran dengan mimik yang berlebihan. Sebuah pelototan yang berlebih, umpatan yang berlebih, volume suara berlebih. Setelah tersadar oleh iklan, baru sang ibu menyarankan agar mengganti dengan tayangan yang lain yang tidak berisi pertengkaran. Dan tampaknya, sang anak lebih berkuasa. Remote control ada padanya sementara sang ibu tidak terlalu memaksakan pada sang anak.

Pemandangan seperti itu mungkin sudah mulai umum ditemui dalam beberapa keluarga di masyarakat klita. Inilah sebuah persoalan yang terlihat biasa-biasa saja namun membawa sejuta kekhawatiran yang semestinya menjadi kewaspadaan bersama.

Dimana-mana sering kita temui bagaimana keluhan orang tua atas perubahan perilaku anaknya, karena memang benar bahwa belasan stasiun TV mengunjungi pemirsanya hampir 24 jam, dari pagi hingga pagi lagi. TV menjadi kotak ajaib yang menawarkan beberapa mata acara, untuk beragam usia, beragam kebutuhan. Paling riskan adalah anak-anak. Pengetahuan yang dilihat dan dirasakan lebih mudah masuk dengan daya tangkap dan daya saring yang lebih terbatas jika dibanding dengan usianya. Program untuk anak pasti bisa dicerna oleh usia remaja ke atas, sementara semua umur bisa menonton tayangan untuk anak-anak. Artinya, ruang bagi anak jika ia diharuskan untuk menonton acara yang sesuai dengan umurnya, tentu sangat terbatas. Pada tahapan selanjutnya, anak butuh bimbingan orang tua untuk mengonsumsi tayangan yang mempunyai tingkat kerawanan lebih besar. Parahnya, tak selamanya tayangan untuk anak pun baik untuk anak, semisal tayangan Crayon Sinchan yang sejak awal tayangannya beberapa tahun lalu banyak menebar kekhawatiran dan protes orang tua karena menggambarkan anak yang terlampau “nakal” untuk ukurannya. Artinya, tetap harus ada bimbingan orang tua.

Belum lagi, tayangan-tayangan umum yang menyisipkan, bahkan mengumbar, kekerasan, gaya hidup materialisme, pornografi dan pornoaksi. Andai kita menilik ke belakang, saat “demam goyang inul”, gerakan yang dianggap sebagian orang sebagai pornoaksi itu mewabah pada segala usia. Bahkan, dengan bangganya seorang penyanyi cilik Tina Toon mengekornya dengan memperlihatkan keahlian layaknya seorang Inul. Dan, umumnya masyarakat umum pun menganggapnya sebagai bahan kelucuan, hiburan semata. Jika menilik lebih jeli lagi, bagaimana jadinya jika anak-anak ini besar kelak, akankah lebih “mengguncang” dalam hal kontroversial layaknya kontroversi seorang Inul? Dan anak-anak balita pun, beramai-ramai unjuk kebolehan dan keahlian yang oleh orang “yang merasa lebih beradab” sebagai tindakan pornoaksi.

Pngaruh media massa memang bisa dasyat. Satu contoh ekstrim bisa ditilik dari India pada tahun alu. Untuk pertama kalinya setelah dua puluh tahun, hukuman gantung dijatuhkan pada seorang Dhananjoy Chatterje (39 tahun) yang terbukti memperkosa dan membunuh seorang anak 14 tahun. Semua TV mempublikasikannya habis-habisan, termasuk rincian tentang bagaimana Dhananjoy menghadapi maut. Setelah pelaksanaan ekekusi, muncul permainan baru bagi anak-anak yang terinspirasi dari kasus Dhananjoy, yakni gantung ala Dhananjoy. Dari apa yang dilihat dan didengar, anak-anak meniru eksekusi Dhananjoy. Anak-anak antusias dan punya rasa ingin tahu yang besar terhadap detail eksekusi Dhananjoy. Naasnya, tak kurang dari 3 anak yang tewas ketika memerankan sebagai Dhananjoy, serta beberapa diantaranya cedera serius.

Bagi orang dewasa, boleh jadi pengaruhnya tidak secepat itu. Berbagai stimulus yang hadir lewat media ataupun pada lingkungan sosialnya, akan berpengaruh tidak dengan serta merta. Faktor intelektual bisa menjadi andalan bagi seseorang untuk mampu mengendalikan dirinya terhadap stimulus-stimulus, baik berupa stimulus imajinatif maupun erotik. Joseph Klapper yang pernah meneliti secara komprehensif tentang efek media massa, menyebutkan bahwa media akan efektif dalam mengubah sikap pada bidang dimana pendapat seseorang ada pada titik lemah. Artinya, pada kondisi di titik lemah, boleh jadi seseorang berusia dewasa dapat naik dan berubah sikap akibat stimulus media. Apalagi ketika stimulus itu selalu datang, menumpuk, menumpuk dan terakumulasi sehingga acap kita dengar berita yang kurang masuk akal, ketika misalnya seorang ayah tega memperkosa anak kandungnya, ketika seorang dosen yang semestinya punya nalar intelektual lebih pun bunuh diri, dan sebagainya. Miris lagi, ketika seorang anak usia delapan tahun “bisa” memperkosa anak di bawah umurnya, dengan alasan setelah melihat tayangan televisi dan vcd porno.

Berberapa bukti telah menyebutkan adanya korelasi antara kekerasan di media dengan dorongan untuk melakukan hal yang sama. Semisal, hasil penelitian seorang dosen FISIP Undip menyebut bahwa 33 anak dari 40 anak mengaku memperoleh pengetahuan kekerasan melalui TV. Diantara anak-anak itu, 26 anak mengaku terdorong dan menikmati berbagai adegan kekerasan tersebut. Dengan demikian, agresivitas anak yang sering melihat adegan kekerasan pun meningkat.

Pada posisi seperti ini, media dipojokkan sebagai “biang keladi”. Tapi, apakah cukup demikian? Toh, media punya apologi dan tak semua hal itu disebabkan oleh media an sich.

Apabila dikembalikan pada hakikat manusia yang memiliki tahapan-tahapan tertentu untuk mengambil keputusan secara moral dan intelektual melalui penalaran kognitif, maka dikatakan bahwa perilaku atau perubahan sikap menunjukkan tingkat kematangan individu untuk mengambil keputusan moral atas berbagai stimulus yang diterima dari media.

Melalui kebutuhan anak akan tayangan TV yang “bagus” dalam artian menarik, edukatif, nir-kekerasan dan sebagainya, sudah selayaknya anak diarahkan pada tayangan yang berkualitas. Sayangnya, meski ada pengkotakan tayangan sesuai umur, namun tak selamanya tayangan anak ataupun tayangan untuk segala umur baik untuk anak. Cobalah cermati beberapa tayangan anak. Tayangan-tayangan itu tentu saja menampilkan konfilk, sesuatu yang wajar, untuk mengajarkan adanya sisi hitam-putih sebagai realitas kehidupan. Namun, kadangkala begitu dominannya adegan permusuhan, mata yang melotot berlebihan ketika bertengkar, perilaku-perilaku kekerasan, umpatan-umpatan yang tak sepatutnya diberikan kepada anak-anak, dan sebagainya. Lihatlah pula bagaimana tayangan anak pun dibumbui rasa ketertarikan layaknya drama percintaan remaja. Bagaimana pula seorang Brutus berusaha mengambil hati Olive dan mencelakai Popeye?

Seorang anak memang tidak mungkin diisolir dari konflik dan gambaran konflik dalam kehidupan ini. Hanya saja, perlu diwaspadai bagaimana memberikan pemahaman yang tepat, untuk mengimbangi kemungkinan negatif dari apa yang mereka serap. Artinya, lagi-lagi, inilah tuntutan bagi orang dewasa dan orang tua yang ada di sekitarnya. Juga pemerintah yang bertugas untuk memberikan regulasi pada peningkatan kualitas masyarakatnya menuju kehidupan yang lebih bermartabat.

Ya, TV memang membawa dua kemungkinan, yakni ke arah positif dan ke arah negatif. Dalammenyikapinya, ada sebagian masyarakat tradisional ekstrim yang bahkan “no way for TV”. Tapi, bukankah dari TV pula kita tahu informasi tetnang kebijakan pemerintah, kejadian-kejadian aktual di bumi ini, perkembangan iptek dan sebagainya? Dari TV pula kita bisa tahu bahwa adat dan budaya suku-suku lain, tempat wisata, bahkan mengkaji kitab suci. Dari tayangan anak “Surat untuk \Sahabat” pun orang dewasa bisa menikmati bagaimana kita merasa dekat dan dapat merasakan keseharian serta kearifan suku-suku mereka. Maka, untuk mengambil sisi positifnya, diperlukan kearifan dari orang tua untuk lebih bersikap kritis membaca media, termasuk TV ini. Dengan kearifan ini pula kita mendidik dan memberi bekal yang cukup bagi mereka dalam menghadapi kehidupannya kelak. Orang tua lah the gatekeeper bagi anak-anak mereka. Dengan demikian, TV sekadar menjadi alat bantu, bukannya justru menjadi orang tua kedua bagi anak, apalagi menggantikannya!

Catatan:
dibuat Agustus 2005, dikirim ke koran Merapi...kayaknya dimuat...karena ada honor mampir ke rumah tp aku tak tau tulisan yg mana itu yg dimuat

0 Comments:

Post a Comment

<< Home