SEKELUMIT PERASAAN HATI, tulisan hikmah
SEKELUMIT PERASAAN HATI
Berpasangan dalam ikatan pernikahan merupakan dambaan tiap manusia
karena telah menjadi keinginan fitrah yang dituntunkan dan dihalalkan oleh
Alloh. Bahkan karena keutamaannya, menikah dikatakan sebagai setengah
tiang agama. Dalam ranah ini, menikah merupakan gerbangmenuju kekuatan
dakwah hingga jauh ke depan dalam wadah keluarga sakinah, mawaddah,
warahmah. Dalam cita-cita, imajinasi dan keinginan untuk mendapatkan nilai
lebih dari ikatan pernikahan inilah, saya pun mendambakannya. Adalah
wajar jika saya merasa haru dan terbersit perasaan sedih manakala
mendapati kaum hawa lain yang menikah.
Menurut saya, satu unsur penting dalam pernikahan adalah kasih sayang.
Perjalanan hidup dari kecil hingga sebesar ini, tentu membawa konsepsi
tersendiri dalam otak saya tentang cinta, meski cinta tetap akan
menjadi misteri untuk dapat didefinisikan secara sempurna. Cinta lebih
merupakan perasaan personal yang dianugerahkan kepada manusia, untuk
dilakoni, bukan sekadar berujung pada teorisasi.
Alloh tentulah pemegang skenario hidup saya, termasuk kapan saya akan
menikah. Tapi, kebutuhan akan cinta-sayang (dalam bentuk yang lain
daripada pengalaman yang telah lama dan dapat saya rasakan dari keluarga dan
lingkungan sosial saya) kadang menguntit juga. Pacaran, demikianlah.
Memang, banyak sisi negatif dari sana sehingga menggiring pada
perbuatan-perbuatan dosa.
Maka, satu niat kembali saya tekadkan: ingin segera menikah. Taip
dengan siapa? Dibuat enjoy sajalah, demikian pikir saya. Kalau tiba waktunya
Alloh memberikan pada saya, ketika hati saya mengatakan “ya” maka
saya akan melangkah.
Pada saat itulah, muncul seorang ikhwan yang baru saya kenal, tanpa
saya tahu keadaan fisiknya karena hanya melalui alat komunikasi. Agak
terkaget juga manakala dengan cepat dia mengatakan sedang mencari istri.
Ada rasa takut pada saya, kenapa harus secepat itu tema pembicaraannya?
Saya menginginkan nikah tapi saya tak mau “grusa-grusu”. Saya coba
lawan kata-kata dan niatan dia yang saya anggap kaku: “kalau dekat,
sekalian dekatkan, kalau jauh, sekalian jauhkan”. Kenapa harus seperti
itu sementara waktu itu, saya belum pernah bertemu muka dengannya.
Dalam waktu tak lama pula, kami pun mulai dekat. Namun, saya kurang
sepaham/ sekufu dengannya mengenai beberapa hal. Saya kira, cara beragama
yang dia pahami dan laksanakan tergolong kaku sementara saya sendiri
lebih longgar/ moderat dalam cara pandang beragama. Hati saya tak mampu
meyakini sebagaimana cara pandangnya. Jika dipersatukan, tentu akan
banyak benturan dalam aplikasinya.
Maka, sedikit demi sedikit kami mulai berjauhan. Ada rasa kehilangan,
kehilangan teman untuk bicara dan bertanya. Saya jadi ingat, betapa
sombongnyasaya waktu itu dengan mengatakan bahwa: selama saya masih punya
sahabat-sahabat atau teman dekat yang peduli sama saya, saya tak perlu
takut hanya karena belum punya pasangan hidup. Saya musti introspeksi
diri mengapa ada rasa kehilangan. Apa pula kaitannya dengan rasa suka,
kesepian, kesombongan, pengharapan dan sekelumit perasaan hati lain yan
gmungkin menyertai. Tentang cinta dan jodoh, lagi-lagi, saya ,usti
qanaah dan istiqomah. Insya Alloh, dengan positif thingking dan keyakinan
penuh, Alloh akan berikan yan gterbaik buat saya.
Catatan:
Ditulis Oktober 2005, pernah aku masukin ke majalah UMmi, tp kayaknya GAK DIMUAT
0 Comments:
Post a Comment
<< Home