mayadefitri

Monday, July 03, 2006

ANTARA RUANG PUBLIK DAN RUANG PDA, sebuah opini

ANTARA RUANG PUBLIK DAN RUANG PDA

Alun-Alun Kidul, boleh dibilang merupakan salah satu ruang publik yang ada di Yogyakarta. Cukup menarik jika menilik keberadaannya di malam hari, terlebih di akhir pekan. Alkid, demikian orang memberikan akronim, merupakan salah satu tempat nongkrong dan “jalan-jalan malam” yang menarik selain kawasan Malioboro dan Alun-Alun Utara yang sudah lebih dulu populer. Sementara pada pagi harinya, Alkid cukup banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk aktivitas olah raga dan jalan-jalan pagi.

Namun, ketika Alkid coba ditata oleh pemkot dengan penerangan yang lebih memadai, justru upaya ini kurang mendapat respon yang baik. Banyak diantara lampu-lampu tersebut yang dirusak dan hilang karena masyarakatnya yang tetap menginginkan suasana remang di tempat ini. Tak pelak, hal semacam ini menjadi hambatan bagi penataan ruang-ruang publik dan boleh jadi akan menjadi buah simalakama jika tak segera dicari jalan keluarnya.

Minimnya ruang publik (public space) di Yogyakarta memang diakui beberapa pihak. Dengan kepadatan penduduk mencapai 16.000 per kilometer persegi, hal ini menuntut perhatian bagi banyak pihak untuk memberikan atmosfer yang nyaman bagi segenap penghuninya.

Susahnya mendapatkan ruang yang nyaman semacam ruang publik ini, diakui pula oleh masyarakat, terlebih dari kalangan remaja dan anak muda. Maka, fasilitas-fasilitas umum semacam mall pun menjadi sasarannya. Bagi yang berkantong tebal, memungkinkan mereka untuk ke kafe dan klub malam. Tentu hal ini menjadi sesuatu yang rawan bagi “dompet” maupun perkembangan jiwa mereka. Bagi yang berkantong tipis dan tidak suka aktivitas tersebut, dibutuhkan kreativitas yang lebih jika ruang publik dirasakan minim.

Berinteraksi dan beraktivitas, demikianlah hal dasar yang dicari dari ruang publik. Interaksi bersama teman dekat, khususnya pada remaja dan anak muda, merupakan satu fenomena tersendiri yang sudah awam dikenal sebagai pacaran. Hanya saja, bagaimana definisi dan koridor dalam relasi pacaran itu sendiri sangat tergantung pada individu yang memandangnya. Boleh jadi ia sekadar teman dekat namun boleh jadi sebagian yang lain berpikiran lebih sehingga upaya saling mengenal itu berujung pada luapan emosi dan perbuatan yang merepresentasikan rasa kasih sayang secara lebih spesifik.

Sementara itu, masyarakat pun mulai permisif dan memaklumi bila sepasang remaja atau anak muda bermesraan di depan umum. Menunjukkan kasih sayang di depan umum, atau lebih dikenal sebagai PDA (Public Displays of Affections) yang dilakukan oleh remaja dan anak muda seringkali dianggap tabu oleh masyarakat awam. Namun, acap kali pemandangan sejoli ini yang bermesraan di tempat umum mulai ditemui secara tak sengaja (kepergok) ataupun secara terang-terangan, utamanya di tempat yang remang. “Paling-paling” hanya rasa jengah ataupun bisik-bisik dan umpatan tanpa kelanjutan

Persoalan PDA semacam ini memang sudah ada dan menggejala, namun, apakah dengan penataan ruang publik ini berarti “mewadahi perilaku PDA”?

PDA sebagai suatu ekspresi kasih sayang dan kemesraan seringkali menjadi masalah ketika pengungkapan itu berlebihan sehingga menmbuat orang lain jengah. Paad gilirannya, perilaku ini menjurus pada pornoaksi. Perilaku eksibionis ini didukung oleh pengakuan atas hak pribadi seseorang untuk mengekspresikan apa yan gingin ia lakukan, meski hal itu kemudian mengalami benturan dan tarik-ulur dengan kepentingan-kepentingan lain.

Begitu pun jika menengok ke negeri barat. Boleh jadi, di Amerika dan Eropa, keadaannya lebih bebas. Deep kissing sudah menjadi hal yang lumrah. Tanggapan masyarakatnya pun bermacam-macam, mulai dari yang menikmatinya sebagai kebebasan individu, bersikap biasa saja atau dari kaum konservatif yang hanya bisa berharap adanya sensitivitas lebih tinggi terhadap publik.

Menyikapi hal ini, di Eropa Timur dan Rusia telah dicanangkan gerakan moral. Sejak 2003, pelaku deep kissing di muka umum bisa didenda bahkan masuk penjara. Memang, tiap-tiap wilayah mempuyai aturan sendiri-sendiri, sesuai kultur dan kebijakan masing-masing. Bagaimana dengan di Indonesia?

Di negara kita, perilaku PDA boleh dikatakan belum terlalu berlebihan, meski gejala perilaku ini mulai banyak menimbulkan kekhawatiran dan keprihatinan. Peraturan hukum, dengan sanksi hukum yang jelas dan mengikat, pun belum ada. Pelaku PDA hanya dapat dijerat jika benar-benar telah meresahkan masyarakat. Penerapan hukum atas hal ini pun jarang sekali kita dengar. Sanksi yang ada lebih bersifat sosial dan moral. Beruntung sekali, seiring dengan keasadaran masyarakat untuk mengatur hal ini, sekarang sedang digodok UU tentang pornografi dan pornoaksi. Diperlukan batasan yang lebih jelas antara pornografi, pornoaksi dan karya seni, menyusul banyaknya perdebatan antara karya seni yang menggambarkan sensualitas manusia dengan pornografi dan pornoaksi yang vulgar.

Jika menengok ke belakang, hal ini mengingatkan kita pada kasus Sophia Latjuba dan Sarah Azhari beberapa tahun yang lalu. Meski tak ada sanksi hukum atas pelaku pemotretan (fotografer maupun objek foto) namun pemimpin redaksi media yang mempublikasikan gambar kontroversial itu akhirnya berhasil dijerat dengan pasal-pasal hukum di meja peradilan.

Pembuatan UU mengenai hal yang masih menjadi silang pendapat ini, diharapkan mampu memberi regulasi bagi kenyamanan semua pihak. Kita tunggu saja perkembangannya. Namun, di lain pihak, fenomena semacam ini suaah ada di depan kita. Pornografi-pornoaksi-PDA merupakan tiga hal yang saling terkait. Kenyataan banyaknya remaja yang nongkrong di mall, kafe, di jalanan, atau di tempat umum lain yang bukan untuk peruntukannya, atau mereka yang sengaja mencari-cari tempat yang “nyaman” untuk melakukannya, telah membuat keprihatinan banyak pihak. Bahkan seorang warga masyarakat dengan gaya menyindirnya memberikan kata-kata dalam sebuah surat kabar,” Mau melihat pemandangan hot? Lihatlah di Kaliadem, Bebeng, Kaliurang. Dilakukan oleh remaja, bagai pasar bebas, bahkan pada Sabtu malam banyak mobil goyang”.

Memang, fenomena yang ada dipicu oleh banyak faktor. Tidak cuma sekadar minimnya ruang publik namun juga pengaruh media, cara pandang dan atmosfer kebebasan yang menyelimuti lingkungan kita. Lebih rentan lagi dengan anak-anak. Prinsip modelling memungkinkan mereka untuk meniru apa yang mereka lihat dan rasakan dari lingkungannya. Apalagi dengan akumulasi stimulus sex, kekerasan dan perilaku hedonisme yang bertebaran di media dan lingkungan secara nyata. Bagaimana mereka menyikapinya?

Di tengah menyempitnya lahan di perkotaan serta beban hidup masyarakatnya, hal ini menyulitkan mereka dalam mendapat tempat yang nyaman untuk bersantai. Lalu, apakah itikad untuk menambah ruang-ruang publik itu merupakan untuk mewadahi para pelaku PDA? Tentu (dan diharapkan) tidak sekadar pemikiran seperti itu yang ada dalam visi dan misinya. Untuk dikatakan sebagai ruang publik yang memadai, diperlukan beberapa persyaratan sehingga ruang ini menjadi menarik dan menyenangkan untuk berinteraksi dan beraktivitas. Akan lebih baik jika disediakan fasilitas-fasilitas yang menunjang unsur prokreasi untuk bermain, bersantai dan belajar dalam arti luas. Bagi yang ingin berolahraga basket, skate board, lari, senam dan sebagainya, tersedia fasilitas untuk itu. Bagi yang ingin ngobrol santai, diskusi di ruang terbuka, ataupun berlatih seni budaya pun ada tempatnya di ruang terbuka sehingga bisa menajdi “tontonan” pula bagi yang lain. Bahkan, bagi yang sekadar menggembalakan anjingnya pun, bisa!

Penulis jadi membayangkan bagaimana nantinya realisasi kompleks Taman Budaya- Taman Pintar-Benteng Vredeburg. Tiga aktivitas dalam menikmati dan menyelami produk-produk seni dan budaya, menimba ilmu dan pengetahuan serta internalisasi nilai-nilai kepahlawanan lewat penghargaan terhadap sejarah bangsa, bisa dimulai secara santai dengan one stop step. Jadi, penataan taman-taman kota dan ruang publik semacam ini mampu meminimalisir perilaku menyimpang, bukannya sekadar memberi tempat untuk duduk-duduk santai tapi mesra.

Catatan:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home