mayadefitri

Monday, October 22, 2007

APAKAH BEKAL CINTA (SAJA) CUKUP?

Sebagian besar orang percaya bahwa cinta, rasa saling menyukai, adalah unsure perekat paling penting dalam sebuah pernikahan. Ya, aku pun berpikir seperti itu, karena cinta adalah kekuatan. Cinta adalah energi yang memungkinkan seseorang mencapai apa pun di luar logika biasa. Cinta adalah energi yangmenggerakkan jiwa dan raga.
Namun, kebanyakan orang juga berpendapat bahwa cinta saja tidak cukup untuk sebuah pernikahan! Berarti, ada factor lain untuk keutuhan sebuah pernikahan. “Makan tuh cinta jika cinta bisa bikin kenyang,” demikian pesimisme orang-orang. Artinya, cinta pun butuh materi. Lalu, jika pasangan kita adalah seorang yang kekanak-kanakan, mau menang sendiri, dsb apakah cinta tidak akan luntur dan tetap tahan lama? Lagi-lagi, kekuatan cinta dipertanyakan.
Semua orang tak membantah jika dikatakan bahwa cinta diperlukan sebagai unsure pemersatu bagi keutuhan sebuah pernikahan. Namun, dikatakan pula bahwa cinta jauh dari cukup untuk semua itu, karena jatuh cinta dipandang sebagai pekerjaan yang amat mudah.
(Hehehe, aku jadi senyum sendiri. Boleh jadi iya, tapi apa iya? La iya lah, kalo jatuh cinta itu terjadi secara tiba-tiba tanpa disadari, meski kemudian kitya juga musti hati2x apakah benar itu jatuh cinta, atau sekadar suka, atau sekadar simpati. Lepas dari itu semua, bagiku, jatuh cinta bukanlah sebuah pekerjaan. Masa bisa sie kita pura2x jatuh cinta? Kecuali kalo kita memang mbakat jadi aktor, nkali) Jatuh cinta adalah sebuah perasaan yang menggerakkan disik dan jiwa seseorang untuk bekerja. Jadi, jatuh cinta bukanlah pekerjaan itu sendiri.
Jika umumnya orang memakai pertimbangan emosi sebagai langkah awal dalam keputusan memilih seorang pasangan, tentunya akan dipilih seseorangyang disenangi, disukai, seseorang yang membuatnya tertarik dan merasa nyaman bersamanya. Setelah emosi, pertimbangan selanjutnya adalah nalar, tentang bagaimana kepribadian dia, apakah menggambarkan terbinanya keluarga yangtentram di kemudian hari apabila kita hidup bersamanya kelak. Baru setelah kedua factor itu, pertimbangan “kepribadian” yang lain (baca: harta pribadi) berupa keamanan finansial dan dukungan keluarga. Perpaduan dari semua itulah yang menjadi pertimbangan sehingga seseorang berani atau tidak untuk meningkatkan status hubungannya ke tingkat pernikahan.
Ya, semua logika itu wajar, meski aku tak sepenuhnya menyepakati. Banyak juga anomali-anomali dari formula umum itu. Bagiku, cinta adalah energi yang bisa merubah manusia itu sendiri, sang pencinta. Dengan cinta, seseorang mau terus belajar dan bergerak untuk menjadi lebih baik, demi orangyang dikasihinya. Jika belum dewasa, ia akan rela menjadi lebih dewasa, tanpa dipaksa. Karena cinta, ia bisa lebih giat bekerja untuk menghidupi dan menghidupkan cintanya. Demi cinta, aku percaya seseorang mau dengan suka rela menyelaraskan diri dengan pasangan dan lingkungannya, selama itu untuk kebaikan.
Ya, bagiku, cinta cukup ampuh untuk itu semua. Pernikahan tak harus bermodalkan kemapanan finansial maupun kesempurnaan kepribadian. Bahkan, bagiku, pernikahan tak harus diawali dengan emosi cinta antara keduanya (dalam artian, cinta secara universal pun sudah cukup). Nah, lo!! Artinya, gak harus pacaran dulu. Ada nilai cinta yang lebih transenden, kecintaan kepada yang Maha Kuasa, sang maha pembuat skenario, sang maha yang memberikan semuanya, termasuk rasa cinta itu sendiri. Orang yang punya nilai-nilai seperti itu, percaya bahwa segala sesuatu ada jalannya.
Dengan bekal transendensi demikian, untuk orang-orang yang aku kira agung, untuk orang-orang yang berhati bersih, tentunya konsep sakinah-mawaddah-warahmah akan mengikuti. Untuk orangyang terlalu jauh dari kriteria agung itu, sepertiku, kukira jujur dan itikad baik untuk bertumbuh, sudah cukup bagus. Apalagi jika ditambah dengan cinta yang kualitasnya layak untuk dipertahankan.
(Ah, gw cuman berteori mulu, ya?! Heheheh…lum pernah sie!)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home