mayadefitri

Monday, October 22, 2007

AKAL YANG TIDAK SEHAT?

Aku ingat waktu itu, di penghujung Juli. Aku ingat bener, karena waktu itu adalah deadline pemubuatan dummy Mager sari. Stres, janji besok-besok terus…terus susah dicari dan tak ada kejelasan. Aku mulai pesimis, meski aku tetap berusaha mencari alternatif pengganti. Dengan segala keterbatasan, ditambah bahan-bahan yang dipegang oleh “cah bagus”, aku memang punya harapan yang tipis, meski aku tetap berusaha semaksimal mungkin untuk tidak segera menyerah.
Dan, akhirnya aku buka juga beban itu, bahwa blablabla yang sedang kuhadapi saat itu. Kubilang pada Niko tentang apa yang terjadi. Tentang kekecewaan yang mana masalah kerjaan begitu saja diabaikan oleh “cah bagus”. Kalaulah masalah pribadi, selakan saja karena penyelesaiannya bias ditunda, sementara ini berkaitan dengan banyak orang.
Akhirnya, dia menyelidiki hubungan semacam apakah antara aku dengan “cah bagus”.
Kubilang, aku sendiri telah mengatakan pada “cah bagus” bahwa Dia mo punya pacar bejibun orang, silakan. Dia mo punya temen mesra seberapa pun silakan. Bahkan, jika dia telah menjadi suamiku pun, silakan saja jika dia mau mencari dan bersama perempuan lain, perempuan bebas maupun perempuan komersil, dengan syarat-syarat tertentu. Bagiku, dia sudah dewasa dan bisa membedakan apa yang seharusnya dan tidak seharusnya. Sebagai istriseseorang hanya bias mengingatkan, selebihnya adalah pilihan si lelaki. Syarat kedua, tidak ada tekanan ataupun aniaya antara si laki-laki dan si “perempuan alternatif” itu. Ketiga, mintalah ijin dan ngasih tahu ke aku, bias saja justru aku yang akan mencarikan “perempuan lain” itu.
Aku pernah utarakan seperti itu ke “cah bagus”. Cah bagus mengingatkan untuk hati-hati dan tanggungjawab dengan kata-kataku. Ya, memang demikianlah bagiku. Aku mengatakannya dengan penuh kesadaran.
Mengetahui cara pandangku, sontak Nikomengatakan,”Wa, kamu gak sehat!”
“apa? Gak sehat?” tanyaku memastikan.
“Ya, kalau seperti itu, akal kamu gak sehat.”
Kurang ajar, dibilang akalku gak sehat! Bagiku, cara pandangku ini logis!
Niko menambahkan bahwa akalku gak sehat dan nalarku gak benar. Ia berusaha menyeretku untuk tegas dan tak mau tertindas. Feminisme! Ya, aku melihat dia mendorongku punya pemikiran sebagaimana yang sekarang kulihat diperjuangkan kaum feminis. Seharusnya, Maya yang hidup dalam masa sekarang, seorang intelek yang semestinya punya wawasan luas dan terbuka, seharusnya bias berpikir logis.
Ah, terserahlah. Apakah mo dibilang aku konservatif ato apa, silakan saja. Bagiku, seseorang tak perlu dikekang-kekang. Kita sudah dewasa. Dan kita juga punya hati nurani yang akan selalu menuntun langkah kita. Sebagai seorang istri, perempuan punya kewajiban untuk mengingatkan (hehehe…semestinya termasuk juga mencegah dengan “tangan” ya…gak Cuma lisan?). Dan aku juga telah mengingatkan posisinya, bahwa sebagai seorang suami, dia punya kewajiban pula untuk menjaga diri sehingga ia musti memikirkan bagaimana nanti jika anak-anak tahu sepek terjang bapaknya, bagaimana pula dengan keluarga besar dan tetangga. Artinya, dia telah berpikir dan memilih dengan sadar.
Ingat pula, bahwa syarat ketif
Ga dariku adalah minta ijin dan ngasih tahu ke aku. Artinya, aku gak mau ia “bermain di belakangku”. Hehehe, padahal, teori dari mereka yang berselingkuh mengatakan bahwa nikmatnya justru karena sembunyi-sembunyi, ya? Hehehe, kayaknya gak juga! Sesuatu yang tanpa beban, seseatu yang dilandasi pemaknaan yang lebih, justru di situlah kenikmatan yang lebih tinggi bias dicapai.
Aku percaya, saat melakukan sesuatu yang tidak semestinya dilakukan, sebenarnya hati kita berontak. Seseorang tidak perlu dikekang-kekang karena masing-masing punya tali kekang untuk dirinya sendiri. Dan cinta pun punya daya kekangnya sendiri. Tak usah repot-repot dengan aneka rupa aturan karena kita juga bias berupaya bagaimana caranya merawat apa yang ada.
Lalu, jika aku mau “berbagi laki-laki”, apakah aku mau dan siap di-poligami? Hehehe…..topik pro-kontra sepanjang jaman. Aku sendiri, konservatif , memang. Tentang semua takdir, itu urusan Tuhan.
Bagiku, ukuran poligami ada dua. Satu, aku melihat kualitas dari laki-lakiku, apakah dia cukup kompeten untuk berpoligami. Dua, aku melihat kemampuanku sendiri apakah mampu merelakan diri berbagi suami. Cuman itu. Kalo persoalannya adalah aku yang disuruh jadi istri muda….waduhh!!Ijinnya ke banyak orang. Dan setelah semua argumentasi, aku menyerahkan pada orang tua dan istri terdahulu. Hahaha, emangnya seberapa besar pengandaian itu sehingga musti berpikir andai-andai.
Berandai-andai ataupun tidak, hal semacam ini telah jadi fenomena umum yang menuntut penyikapan. Secara pribadi, begitulah penyikapanku. Apakah aku masih gak sehat?

0 Comments:

Post a Comment

<< Home