ANTO, PENJUAL ANGKRINGAN YANG MENGAKRABI PELANGGANNYA, sebuah profil
Tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Sapto Yuwono bahwa berjualan angkringanlah yang akhirnya membawa hoki baginya. Beberapa pekerjaan telah ditekuni selepas dari SMA, namun dengan berjualan angkringanlah yang memberikan kepuasan batin tersendiri baginya.
Bagi pria yang akrab dipanggil Anto ini, berwiraswasta adalah pilihan terbaik daripada bekerja pada orang lain. “Ya, meskipun kecil- kecilan, tapi dengan berjualan angkringan, saya mendapatkan apa yang sebelumnya tidak mampu saya raih dengan menjadi buruh di tempat orang lain.
Lajang kelahiran Jogja, 31 Oktober 1977 tersebut mengakui terus terang bahwa selama lebih dari delapan tahun bekerja pada orang lain, rasanya penghasilan yang diterima sangat pas- pasan.
“Selepas dari SMA Muhammadiyah Mrisi, tahun 1996, saya bekerja di Toko Ramai. Memang sih, dengan seragam yang tidak boleh kusut, penampilan harus selalu rapi. Namun, dengan bekerja di pusat perbelanjaan seperti itu, ternyata berbiaya mahal. Butuh duit bensin untuk perjalanan dari rumah saya di Kasongan (Bantul) hingga ke Malioboro. Sementara standar biaya makan di Malioboro juga tentu lebih mahal daripada jika saya bekerja di tempat lain. Sudah begitu, hari- hari kerja juga sangat ketat. Sangat susah untuk mendapatkan ijin kerja. Misalnya ada famili yang menikah, jika mau minta ijin datang di acara resepsi pernikahan yang biasanya dilakukan siang hari, paling- paling kalau minta ijin hanya diberi waktu dua atau tiga jam untuk menghadiri resepsinya. Lah iya kalau tempatnya dekat, kalau jauh gimana coba?” paparnya panjang lebar.
Setahun menjadi karyawan toko, akhirnya Anto pindah kerja ke peternakan ayam petelur di daerah Cangkringan. Merasakan pahit- getirnya bekerja di tempat yang jauh dari rumahnya, yang mengharuskannya “tidur dalam”, Anto pun beralih kerja di tempat yang tak jauh dari rumah orang tuanya di Kasongan. Finishing gerabah cukup awet ditekuninya hingga tiga setengah tahun lamanya.
Selepas dari gerabah, Anto sempat menjadi crew bus jurusan Wonosari- Jakarata meski kemudian beralih kerja lagi untuk membantu meracik susu di tempat yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Hampir setahun meracik susu kadaluarsa untuk pakan ternak, Anto pun beralih untuk menjaga counter pulsa dan konveksi di daerah Manding (Bantul).
“Setahun di sana, saya memutuskan untuk keluar. Saya sendiri bingung, mau ngapain.Selama tiga bulan jadi pengangguran, akhirnya ada yang menawari untuk berjualan angkringan,” ujarnya.
Pak Muji, demikian Anto menyebut nama lelaki yang memberikannya peluang untuk berwiraswasta. Dari Pak Muji, Anto diberi pinjaman gerobak angkring, serta diajari membuat wedang jahe khas angkringan. Bimbingan pun didapatkannya dari Pak Muji, karena dari orang tersebut Anto mendapat bimbingan dan dorongan.
“Awalnya, saya survey dulu antara Pojok Beteng Kulon hingga Diro, Saya mengamati malam- malam, kira- kira tempat mana yang cocok. Kayak pelamun itulah,” ucapnya serius.
Akhirnya, diputuskan untuk menempatkan gerobaknya di trotoar sudut depan kampus UPP 2 UNY, sekitar 600 meter dari Pojok Beteng Kulon ke arah selatan. Di sanalah Anto berjualan hingga sekarang.
Berangkat dari rumah pukul 3 sore untuk mempersiapkan perlengkapan dan dagangannya, baru kemudian pukul 5 sore angkringannya buka. Melayani pelanggan hingga habis, sekitar pukul 2.30 dini, Anto pun pulang ke Kasongan setelah membereskan gerobak angkringannya untuk dititipkan di tempat warga yang letaknya tak jauh dari warung angkringannya.
Setahun pertama berjualan, diakui Anto sebagai saat- saat mencari pasar. Ketika sedikit demi sedikit pasar mulai didapatkan, pada tahun kedua usahanya justru sepi malahan.
“Adanya warung bebek goreng di sebelah selatan angkringan saya, membikin angkring saya kurang kelihatan karena letak warung lesehan tersebut lebih menjorok ke badan jalan sehingga angkringan saya tidak terlihat dari arah selatan,” ujarnya mengingat masa- masa sulit itu.
Baru ketika warung tersebut tutup/ gulung tikar, angkringan Anto pun mulai ramai lagi hingga sekarang di tahun keempat ia berjualan. Dengan omset per hari sekitar dua ratus ribu rupiah per malam, penghasilannya dirasakan cukup untuk menghidupi diri sendiri dan sedikit membantu ibunya di rumah.
“Dari berjualan angkringan ini, saya justru baru merasakan dapat membeli apa yang saya ingin. Misalnya saja motor, meskipun bekas, tapi saya kira saya tidak dapat membelinya jika saya masih bekerja pada orang lain seperti dulu,” tutur Anto bersyukur.
Dalam lubuk hartinya, pria humoris ini masih memendam keinginan bahwa suatu saat nanti warung angkringannya akan menyerupai kafe, dengan tempat yang nyaman sehingga semua pembeli akan betah berlama- lama di warungnya.
Membedah kiat- kiatnya dalam berjualan, Anto menuturkan kepada Inspirasi Bisnis bahwa menjaga keakraban, merupakan salah satu kuncinya mempertahankan pelanggan.
Kadang Anto menyapa pembeli yang baru saja datang,” Kemana aja kok lama gak kelihatan, dah setahun je.”
“Padahal baru sehari- dua hari dia tidak datang, saya dapat mengatakan seperti itu. Ya…..namanya juga bakul,” ujarnya dengan tawa renyah.
Dengan humor ataupun celetukan- celetukan kecil, Anto mengakrabi semua pembelinya, baik yang sudah jadi pelanggannya maupun yang baru pertama kali datang ke warungnya. Tak pelak, banyak pelanggan yang senang berlama- lama duduk lesehan di beralaskan tikar yang digelarnya di samping gerobak angkring.
“Yang namanya berjualan makanan, harus punya kelebihan. Panggon kudu enak, bakule yo kudu enak lan kepenak,” imbuhnya dengan senyuman. maya
Catatan: tulisan ini aku persembahkan untuk Inspirasi Bisnis
0 Comments:
Post a Comment
<< Home