SABAR DAN EI (Emotional Intellegence)
Coba bayangkan, sekeranjang penuh permen ditaruh di depan kelas. Anak- anak sekolah diperbolehkan mengambil masing- masing satu permen. Tak ayal, mereka pun berebut mengambilnya. Ada yang mengambil satu, ada yang curang dengan sekaligus mengambil dua atau tiga permen.
Tetapi bayangkan, apabila anak- anak juga diingatkan bahwa jika mau menunggu hingga 10 menit, mereka diperbolehkan mengambil dua permen. Tentu respon yang terjadi akan lebih bermacam. Disamping siswa yang tetap mengambil saat itu juga, ada yang curang dengan mengambil lebih dari satu, dan ada yang menunggu hingga 10 menit untuk mendapatkan dua permen sesuai ketentuan. Lalu, apa hasilnya?
Di Amerika, hasil akhir dari cerita tersebut telah dibuktikan. Ketika nama- nama mereka dicatat berikut pilihannya dan diamati perkembangannya, terlihat bahwa anak- anak yang sabar menunggu pemuasan dirinya atas permen, ternyata lebih sukses di sekolah maupun di dunia kerja.
Dari sedikit contoh di atas, terlihat bahwa sabar merupakan salah satu kunci kesuksesan. Mengapa demikian? Sajauh ini, selain kecerdasan intelektual (IQ/ Intelectual Quotion) sebagai tolok ukur konvensional untuk mengukur tingkat kecerdasan anak yang diharapkan dapat mengantarkan seorang anak mencapai kesuksesan di masa depan, muncul pula konsep kecerdasan emosional (EQ/ Emotional Quotion) dan spiritual quotion (SQ/ Spiritual Quotion). Dan, kesabaran berkaitan erat dengan kedua konsep tersebut. Dengan kata lain, tingkat kesabaran akan berkorelasi positif terhadap tingkat kesuksesan seseorang.
EI
Adalah Daniel Goleman (1999), salah seorang yang mempopulerkan jenis kecerdasan manusia yang dianggap sebagai faktor penting yang dapat mempengaruhi terhadap prestasi seseorang, yakni Kecerdasan Emosional (Emotional Intellegence, walaupun secara marketing disebut secara salah kaparah sebagai Emotional Quotient/EQ). Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.
Jika kita perhatikan penjelasan tentang kecerdasan emosional, ternyata konsep kecerdasan ini juga tercakup dalam konsep kesabaran. Setidaknya, ada dua ciri kecerdasan emosi.
Pertama, seorang dikatakan memiliki kecerdasan emosi ketika ia mampu mengendalikan emosinya. Orang yang tidak pandai mengendalikan emosi, atau orang yang sering dikendalikan oleh emosinya, merupakan orang yang tidak cerdas secara emosi.
Emosi memiliki banyak bentuk. Bisa berupa kemarahan, rasa takut, rasa cinta dan keinginan yang kuat, rasa cemas dan sebagainya. Dengan kata lain, orang yang cerdas merupakan orang yang dapat mengendalikan emosi.
Ciri kedua dari kecerdasan emosi adalah kemampuan dalam menunda pemuasan. Biasanya hal ini didasari oleh keinginan untuk mendapatkan kepuasan yang lebih sempurna di masa depan. Dengan contoh sebagaimana diceritakan pada awal tulisan ini, orang yang cerdas secara emosi memiliki potensi yang lebih besar untuk meraih keberhasilan dalam hidup.
Goleman menyebut banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa inteligensi emosional ini lebih menentukan kesuksesan hidup seseorang dibanding dengan IQ. Apa yang ditulis oleh Daniel Goleman tersebut sangat sesuai dengan ajaran agama yang mengajar agar orang bersifat sabar, dan lebih baik diam kalau tidak bisa memilih kata-kata yang baik.
SQ
Kecerdasan intelelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EI) dipandang masih berdimensi horisontal-materialistik belaka dan belum menyentuh persoalan inti kehidupan yang menyangkut fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan (dimensi vertikal-spiritual). Menyadari bahwa sehebat apapun manusia dengan kecerdasan intelektual maupun kecerdasan emosionalnya. pada saat-saat tertentu, melalui pertimbangan fungsi afektif, kognitif, dan konatifnya manusia akan meyakini dan menerima tanpa keraguan bahwa di luar dirinya ada sesuatu kekuatan yang maha Agung yang melebihi apa pun. Penghayatan seperti itu menurut disebut sebagai pengalaman keagamaan/ religious experience (Zakiah Darajat, 1970).
Brightman (1956) menjelaskan bahwa penghayatan keagamaan tidak hanya sampai kepada pengakuan atas kebaradaan-Nya, namun juga mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang abadi yang mengatur tata kehidupan alam semesta raya ini. Oleh karena itu, manusia akan tunduk dan berupaya untuk mematuhinya dengan penuh kesadaran dan disertai penyerahan diri dalam bentuk ritual tertentu, baik secara individual maupun kolektif, secara simbolik maupun dalam bentuk nyata kehidupan sehari-hari (Abin Syamsuddin Makmun, 2003).
Sementara itu, temuan ilmiah yang digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, dan riset yang dilakukan oleh Michael Persinger pada tahun 1990-an, serta riset yang dikembangkan oleh V.S. Ramachandran pada tahun 1997 menemukan adanya God Spot dalam otak manusia, yang sudah secara built-in merupakan pusat spiritual (spiritual centre), yang terletak diantara jaringan syaraf dan otak.
Ditambah lagi dengan hasil riset yang dilakukan Wolf Singer, terdapat adanya proses syaraf dalam otak manusia yang terkonsentrasi pada usaha yang mempersatukan dan memberi makna dalam pengalaman hidup kita. Suatu jaringan yang secara literal mengikat pengalaman kita secara bersama untuk hidup lebih bermakna. Pada God Spot inilah sebenarnya terdapat fitrah manusia yang terdalam (Ari Ginanjar, 2001).
Kajian tentang God Spot inilah pada gilirannya melahirkan konsep Kecerdasan Spiritual, yakni suatu kemampuan manusia yang berkenaan dengan usaha memberikan memberi makna atas sesuatu serta untuk memfungsikan dan mengintegrasikan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi sehingga diharapkan menjadi manusia seutuhnya dengan pemikiran yang integral. Inilah yang disebut sebagai Kecerdasan Spiritual.
Kecerdasan Spiritual berpusat pada hati (qalb) serta bertujuan untuk membentuk atau mendidik jiwa menjadi bersih yang terealisasi dalam ketaatan dan kegiatan beramal saleh dalam hidup atau mendidik keseimbangan baik dalam beribadah (hubungan vertikal), maupun dalam bermuamalah (hubungan horisontal) yaitu dengan senantiasa menghiasi diri dengan akhlak terpuji dan sebagai puncaknya adalah untuk mendapatkan kebahagiaan abadi.
Sementara ilmuwan al-Ghazali menyebut bahwa sabar mempunyai relevansi (hubungan) dengan kecerdasan spiritual yaitu sama-sama mempunyai sifat tidak mudah menyerah pada keadaan (tidak mudah putus asa), tapi selalu mencari solusi terbaik dan sebagai akhirnya menyerahkan segalanya kepada Allah (tawakkal). Sabar juga sebagai indikator untuk menyatakan bahwa seseorang cerdas spiritualnya. Sabar dalam perjalanan spiritual merupakan suatu tahapan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan puncak yaitu ma'rifatullah dan insan kamil. Sabar dan kecerdasan emosional, keduanya berpusat pada hati (qalb) seorang hamba.
Berkembangnya pemikiran tentang kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) menjadikan rumusan dan makna tentang kecerdasan semakin lebih luas. Kecerdasan tidak lagi ditafsirkan secara tunggal dalam batasan intelektual saja. Menurut Gardner bahwa “salah besar bila kita mengasumsikan bahwa IQ adalah suatu entitas tunggal yang tetap, yang bisa diukur dengan tes menggunakan pensil dan kertas”.
Sabar Itu Bagaimana?
Dalam bukunya The 7 Law of Happiness, Arvan Pradiansyah menyebut adanya tujuh rahasia hidup bahagia. Dan sabar, menempati urutan pertama dari rahasia yang dijabarkannya.
Sabar dapat dijabarkan sebagai menunda respon untuk beberapa saat sampai merasa tenang dan pikiran berfungsi kembali secara jernih. Dengan demikian, sabar mengasah kecerdasan dalam menghadapi amarah. Sabar juga diartikan sebagai menyatukan badan dan pikiran pada satu tempat. Sabar adalah melakukan satu hal di satu waktu, denan demikian, sabar haruslah “mindfull”, meencurahkan perhatian sepenuhnya pada apapun yang dilakukan.
Sabar adalah menikmati proses tanpa terganggu pada hasil akhir, menyesuaikan tempo kita dengan tempo orang lain ataupun dengan hukum alam.
Dengan penjabaran yang demikian, jelaslah bahwa sabar merupakan satu bentuk kerja aktif, bukan pasif. Belajar pada tokoh- tokoh yang luar biasa pengaruhnya bagi manusia, kita dapat menilik pada buku The 100, a Ranking of the Most Influential Person in History (1978) yang menempatkan Nabi Muhammad SAW sebagai manusia paling berpengaruh sepanjang sejarah. Muhammad dipandang sebagai manusia yang menjalankan hidupnya dengan sabar yang sebenar-benarnya sabar.
Bayangkan perjuangannya. Muhammad tidak saja pasif dan mengurut dada atas hambatan- hambatannya dalam menyebarkan kebenaran. Ia me memperjuangan atau melakukan sesuatu dengan segenap kemampuan. Ini menjadi suri tauladan untuk terus sabar. Sabar tidak membuat seseorang stagnan tetapi justru memicu dan memacu keluarnya kemampuan terbaik.
Sabar mengharuskan seseorang untuk terus berusaha, pantang menyerah. Jiwa teguh dengan semangat bergelorauntuk menciptakan kiat-kiat baru dalam meraih prestasi.
Dengan kata lain, sabar pemicu kreatifitas berlandaskan kecerdasan, dan … sekaligus mengasah kecerdasan. Segala sesuatu yang berhasil didapat melalui perjuangan dan perjuangan itu dibekali sikap sabar. Sabar adalah pantulan kecerdasan terkendali. Orang cerdas pasti berpikirnya kuat, teratur, memahami apa yang harus dilakukan.
Arvan menjelaskan bahwa kesabaran tidak dapat dilepaskan dari peran Tuhan. Kesabaran berbanding lurus dengan kedekatan kepada Tuhan.
EPILOG
Sorang entrepreneur sukses, trainer dan penulis buku The Rich Plan, Achiever, Opprtunity Quotient menyimpulkan bahwa terdapat tiga kunci sukses yang tak terbantahkan karena telah berulangkali digunakan oleh semua orang sukses sehingga bisa menjadi pelajaran bagi siapaun yang ingin sukses. Tak peduli orang-orang sukses tersebut tadinya miskin, cacat, didiskriminasi, bodoh, mau bunuh diri, atau bagaimana pun. Ketiga kunci tersebut adalah: tujuan yang jelas, berani merubah tradisi dan kesabaran yang tiada akhir.
Dengan tujuan yang jelas, otak akan bekerja dan mencapai resonansi sebagaimana yang dibutuhkan tujuan tersebut. Dengan tujuan yang jelas, otak dan tindakan akan mengikuti untuk mencapai resonansi tersebut, tentu dibutuhkan energi yang selaras Dengan itu, otak dan tindakan anda akan mengikuti.
Supardi Lee menyebut, harga tujuan mengikuti tujuannya. Bila tujuan rendah, maka harganya juga rendah. Bila tujuan tinggi, maka harganya juga tinggi. Untuk mencapai tujuan dan harga yang tinggi, seseorang musti merubah banyak tradisi. Termasuk diantaranya tradisi dalam pikiran diri sendiri.
Tujuan dan perjuangan tersebut disertai dengan kunci yang ketiga, yakni kesabaran yang tiada akhir, kesabaran untuk bekerja mengatasi masalah dan kegagalan, Sebagaimana Thomas Alfa Edison yang pernah mengalami kegagalan hingga 10.000 kali. Untungnya, Edison bersabar. Tujuannya tidak berubah. Ia harus menemukan logam yang tepat untuk bola lampunya.
Disinilah ditekankan bahwa bersabar yang benar harus cerdas. Apa artinya? Bila satu cara untuk mencapai tujuan gagal, maka bersabarlah untuk melakuan cara lain yang berbeda. Bila masih berpikir dan berlaku dengan cara yang sama, maka pasti tindakannya juga sama. Bila tindakan anda sama, maka pasti hasilnya juga sama. Itulah sebabnya bersabar harus cerdas, yakni terus berpikir cara-cara lain yang berbeda untuk mendapat hasil yang berbeda.
Disinilah letak penting kreatifitas dalam bersabar. Bila anda bersabar tapi tidak kreatif, maka anda akan seperti keledai yang jatuh berulang kali di lubang yang sama.
Dengan demikian, jelaslah bahwa kesabaran merupakan sesuatu yang aktif, bukan tindakan yang pasif dan menunggu.
Kesabaran yang dibarengi dengan kecerdasan emosi dan dilengkapi dengan kecerdasan spiritual, niscaya didapatkan prestasi dan kesuksesan yang diharapkan.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home