KERETA MINI SATRIA BUANA, JALAN PENGHIDUPAN SANG MASINIS, sebuah profil
Hidup memang penuh dinamika. Menggelinding seperti roda. Adakalanya kita berada di atas, adakalanya kita terpuruk di bawah. Di situlah kita dituntut untuk kembali berusaha dan mempertahankan posisi agar tidak lagi berada di bawah.
Demikian pula yang dialami Ariyanto. Laki- laki 40 tahun yang sekarang tinggal bersama istrinya di Rukeman RT 3 Tamantirto Kasihan Bantul itu, kini memilih bisnis angkutan kereta mini sebagai sandaran hidupnya. “Ya, lumayan lah,” tuturnya.
Berawal dari bisnis mebel
Laki- laki bersahaja itu, mulanya menggeluti bisnis mebel sejak tahun 1990-an. “Bisa dibilang, waktu itu penghasilan saya secara materi cukup terpenuhi dengan usaha mebel yang juga memasok untuk pasaran ekspor. Sayangnya, kehidupan rumah tangga saya banyak konflik karena kami belum juga dikaruniai momongan. Ditambah lagi dengan kebangkrutan karena saya tertipu. Saat- saat itulah saya kemudian cerai,” ujarnya mengenang masa lalu.
“Waktu itu ada pembeli yang lancar. Hingga enam kali pesanan, tak ada masalah. Namun berikutnya, dia yang ngasih uang muka 200 juta rupiah, ternyata sisanya tidak dilunasinya sehingga saya rugi 750 juta. Untuk menutup kerugian tersebut, bisa dibilang, harta saya tinggal dua motor dan satu mobil colt saja. Akhirnya, saya nagih- nagih dari beberapa piutang ke teman- teman, sempat terkumpul 20 juta. Dari situlah saya membeli satu sapi indukan. Setelah sapi beranak, saya jual semua lalu saya belikan lagi “sapi doro” atau sapi muda dan satu anakan sapi, agar ternaknya tidak macet. Setelah satu tahun, baru dijual lagi, begitu seterusnya,” terang Ari.
Selain beternak sapi, Ari pernah juga “nyambi” menjadi sales. Dengan kulak sepatu dan sandal dari daerah Tugu, dipasarkannya dari kampung ke kampung, dari toko ke toko.
Kereta Mini sebagai Sumber Penghasilan
Suatu ketika, sekitar tahun 2005, ada salah satu kerabat yang memberi tawaran Ari untuk menjadi sopir kereta mini, angkutan yang didesain seperti kereta mini.
“Waktu itu dia punya dua kereta. Mendapat tawaran begitu, saya iya-kan. Lalu saya belajar selama tiga hari untuk menyopir. Maksudnya, menyopir mobil dan agak beda dengan menyopir seperti ini. Ya…hanya supaya lebih terbiasa saja. Lalu, saya pun menjadi sopirnya, cari jalan atau rute sendiri untuk “ngojek” anak- anak berkeliling kampung,” demikian Ari menuturkan.
Dari pendapatan menjalankan kereta mini tersebut, setelah dikurangi dengan setoran sebanyak 60 ribu dan biaya solar 30 ribu, sisanya dibagi antara sopir dan kernet dengan prosentase 60: 40. Dua tahun dijalaninya demikian, akhirnya, Ariyanto bekerja sama dengan seorang temannya untuk membeli kereta mini, yang selanjutnya kereta mini tersebut dapat ia beli sepenuhnya. Waktu itu belinya 19 juta dan sedikit perbaikan 2 juta.
Dengan kereta mininya yang dinamai “Satria Buana”, Ari menyusuri jalan- jalan di kampung untuk menjemput anak- anak berkeliling sesuai dengan rute yang dia persiapkan. Dengan bentuk kereta yang terbuka dan dipenuhi gambar- gambar yang menarik perhatian, anak- anak dapat dengan senang berkeliling menikmati pemandangan alam. Dari situlah, beberapa lembar uang ribuan akan menjadi penghasilan bagi Ariyanto dan seorang kernetnya.
Ariyanto biasa mengendarai keretanya dengan jadual yang sudah ditentukannya sendiri. Rute yang dipakai selang- seling agar anak- anak yang menjadi sasarannya tidak bosan. Hari Selasa biasa menempuh rute di daerah Tamanan hingga Pakelbaru, Rabu memakai rute Kalipakis hingga Salakan, Kamis mengambil rute Kasongan ke selatan, Jumat di daerah Ngebel hingga Kasongan, Sabtu biasa mengambil rute daerah Panggungharjo. Hari Minggu Ariyanto biasanya banyak carteran sehingga Ari tidak punya jadual pasti. Jika tidak ada carteran, ia dapat menjalankan keretanya di daerah- daerah baru yang tidak biasa ia lewati. Sementara hari Senin dipilihnya sebagai hari libur.
Ariyanto biasa memberangkatkan keretanya pukul satu siang sampai petang sehingga selepas maghrib ia sudah sampai ke rumah. Dikurangi biaya makan dan solar, setelah sebagian penghasilan hari itu diberikan kepada kernet, ia biasa membawa pulang 100 ribu, bersih. Jika melayani carteran, yang didapatkannya bisa dua hingga tiga kali lipatnya. Masa- masa ramai carteran biasanya saat liburan, atau pada peringatan hari- hari besar seperti 17-an ataupun takbiran.
Rombongan yang mencarter biasanya untuk piknik ke ataupun pengajian. Bahkan kadang ada juga untuk melayat, terutama jika jaraknya tidak terlampau jauh. Dengan penumpang campur antara anak- anak dan orang tua, kereta mini Satria Buana milik Ariyanto dapat menampung kapasitas 45 orang.
Untuk carteran, semisal mengantar ke pantai selatan, Ariyanto biasa memasang tarif 750 hingga 800 ribu. Itu kalau dengan kawalan polisi. Kalau tanpa kawalan polisi, bisa dikurangi 150 ribu. “Bagaimana pun, akan lebih aman kalau dengan kawalan polisi, karena sesuai aturan, kan, angkutan seperti ini hanya boleh melewati desa, kampung dan daerah perumahan. Tidak boleh melewati jalan- jalan besar dan jalan protokol. Kalau ke daerah pantai, tarif segitu karcis masuk sudah saya yang menanggung, tetapi kalau carteran menuju Gembiara Loka atau Prambanan, mereka membeli karcis masuk sendiri. Untuk jarak yang lebih dekat atau jauh, tarif disesuaikan. Demikian juga jika acaranya adalah keagamaan, tentu tarifnya juga beda. Bagaimana pun, musti ada tepo seliro,’ demikian laki-laki ini menjelaskan.
Ditanya suka- duka menjalankan bisnis kereta mininya, Ari didampingi oleh Muryani, perempuan yang dinikahinya pertengahan 2002 itu menuturkan,”Adakalanya kereta dicegat pemuda yang mabuk di jalan, jadi ya terpaksa kita ngasih “mel” ke dia, daripada nanti kenapa- kenapa, kan? Kadang juga, missal mengantar carteran piknik ke pantai, kadang masih ada juga pungutan liar.”
“Susahnya lagi, tentu kalau musim hujan atau kalau kereta butuh perbaikan, semisal ganti roda atau servis, hehehe,” timpal istrinya.
“Terkadang pula, nomor telepon yang tertera pada belakang badan kereta, diganggu oleh orang- orang usil. Katanya mau dating mencarter dans sebagainya, ternyata tidak jadi dating. Jadi, kalau ada telepon yang masuk, kadang lebih baik kita yang ke sana saja untuk memastikan,” ujarnya.
Peluang
Dengan pengandaian sebulan libur 4 hari, menjalani rute seperti biasa selama 20 hari dan carteran selama 6 kali, maka penghasilan Ari per bulan sebesar (20 x Rp.100.000) + (6 x Rp.300.000) atau sebesar 3,8 juta rupiah. Jika dikurangi biaya tak terduga sebesar 15 persen saja, jelas penghasilannya Ari tak kurang dari 3 juta. Angka yang tak dapat dianggap[ kecil untuk ukuran Yogyakarta.
Kini, kereta mini menjadi jalan penghidupan bagi Ariyanto untuk menafkahi rumahtangganya yang telah dikaruniai seorang putri berusia 3,5 tahun bernama Nadia Putri Monalisa. Disamping juga tentu dengan ternak sapi yang masih ditekuninya sebagai kerja sampingan.
Ariyanto dan Muryani yakin, bisnis kereta mininya masih punya prospek yang cukup bagus. “Selama ada laki- laki dan perempuan, usaha seperti ini masih akan jalan, karena anak- anak butuh hiburan. Bahkan tak cuma anak- anak, kan, yang bisa menumpang kereta ini,” papar Muryani.
“Tapi, yang namanya usaha tentu juga harus tetap ulet, rajin, menjalani dengan senang hati, dan tak kalah penting juga, tidak boleh pelit. Harus punya tepo seliro,” ujar “sang masinis” memaparkan inspirasi yang diperolehnya selama menjalani bisnis. maya, November 2009
Catatan: tulisan ini aku persembahkan untuk Inspirasi Bisnis
0 Comments:
Post a Comment
<< Home