PERSEMBAHAN UNTUK PENGHUNI PANTAI SELATAN, sebuah pengalaman
Dengarlah curahan rahasiaku ini, cerita yang baru sekali ini aku ungkap. Dengarkan olehmu cerita tentang cinta yang aku alami dengan berdarah- darah dalam jiwaku, yang aku alami dengan segenap hati dan ragaku. Dengarkan paparan pengalamanku yang aku ulik lagi dari lembaran kenangan mengenai “laku” mengatasi problem cinta.
Yup, gila! Rasanya, tak ada kekuatan yang lebih dasyat daripada kekuatan cinta. Itulah yang aku selami ketika aku merasakan dan menghayati alunan perjalanan cinta. Cinta pertama yang memautkan diri dan tak mau lepas dari hatiku hingga rasanya begitu berat aku melepaskan.
Entah bagaimana tiba- tiba aku terinspirasi untuk ke pesisir/ pantai selatan. Tiba- tiba saja aku ingin pergi ke pantai di sebelah selatan kota Jogja. Aku ingin melihat cakrawala sebagai garis pertemuan bumi dengan langit. Dengan ngenggar- enggar hati dan pikiran, di alam terbuka seperti ini aku harap bisa membuang segala gundah, segala sial dan segala perasaan yang aku rasakan sebagai akibat negatif dari pengalaman cintaku bersama Raka.
Maka, tiba- tiba pula aku memutuskan untuk naik bus menuju pantai Samas, pantai di pesisir/ pantai selatan yang sudah lama sekali tidak aku kunjungi. Pantai Samas merupakan pantai yang lebih tenang karena sepi pengunjung. Maklumlah, kalah pamor dengan Parangtritis yang sederetan dengannya.
Pukul 14.30 WIB aku sudah sampai ke sana. Tapi, rasanya, di pantai Samas dan merenungi nasib seperti inhi, tidak akan memberikan kepuiasan juga untukku. Dan tentu, tak cukup heroik karena tak cukup istimewa. Maka, aku pun berjalan ke arah timur. Terus, teruus dan teruuuus.
Rasanya sudah lebih dari satu jam aku berjalan menyusuri pentai, dengan langkah yang tak bisa bergegas. Pasir pantai yang kulalui dengan kaki telanjang, tidak mungkin tidak akan menguras tenagaku. Aku tak peduli lagi bagaimana nantinya.
Namun tiba- tiba, kutemui sebuah sungai. Yup, aku ingat, ini adalah Kali Opak, sungai yang bermuara ke pantai selatan itu. Seingatku, muara sungai ini tidak akan cukup dalam, tentu aku masih bisa memilih di sebelah mana aku akan menyeberang. Namun, kucoba kesana kemari, sungai ini terlalu dalam untukku, dimana pun! Yup, mungkin air yang mengalir sedang banyak sehingga membuatnya berkedalaman yang lumayan. Duh.... jika aku harus kembali ke Samas, tentu terlalu jauh juga. Sudah satu jam aku berjalan. Tak ada orang yang bisa aku ajak bicara. Kecuali mungkin satu orang yang bisa aku tanyakan di seberang sana jika aku mau, yakni seorang berpakaian compang- camping. “Sepertinya sie orang gila. Masa sieh aku mo nanya ke orang gila? Yang bener aja,”aku membatin tidak terima dengan keadaan ini.
Untunglah, di tengah kebingungan itu, kulihat seseorang yang terlihat datang mendekat. Sepertinya ia dari penduduk setempat. Dengan segera kutemui bapak tua itu. “Pak, bagaimana ya saya bisa menyeberang ke sana? Kira- kira di sebelah mana yang tidak terlalu dalam?” tanyaku.
Dan hasilnya, tentu saja aku harus menjawab serentetan pertanyaannya yang cukup heran kenapa ada seorang perempuan yang sendirian di tempat itu. Untunglah si bapak tidak terlalu keheranan ataupun curiga yang tak perlu. Padahal, dalam pandangan mata, sungguh tak ada orang lain yang terlihat selain aku, si bapak tua dan seorang gelandangan di seberang sana! Tapi tak apalah, yang penting aku segera mendapatkan jalan keluar, pikirku.
Dan ternyata, tak ada sisi yang dangkal untuk tubuh bertinggi 150 cm ini! Duuh......mungkinkah aku harus berbasah- basah dengan sekujur tubuhku? Jika aku coba nekat pun, aku tetap tidak berani menyeberang. “Nyawaku cuma satu eiiiyy,” pekikku dalam hati. Maklumlah, aku tak bisa berenang karena memang tak pernah belajar berenang!
“Tuhan, tolong aku,”ingin aku menggenggam hatiku erat- erat agar hatiku ini tak jatuh dan lenyap dari tubuhku. Maka, aku pun meminta saran dari si bapak tua. Dan, tak disangka tak dinyana, si bapak langsung jongkok dan menyuruhku untuk duduk di atas pundaknya!
“Gila, coy.....seorang perempuan 28 tahun dipanggul di atas pundak seorang bapak- bapak 70 tahunan yang berperawakan kecil seperti ini? Ampyuuun, apa kata dunia nantinya? Apa aku akan menjadi makhluk yang tidak berperikemanusiaan? Apa pantas?” sejuta pertanyaan yang menyergapku tak memberi waktu bagiku untuk berpikir berlama- lama. Maka, dengan setumpuk rasa malu dan takut, aku mohon permisi kepadanya. Dan.....tap, tap, tap, kaki si bapak mulai melangkah di bawah kakiku yang menggantung di atas tubuhnya! Kaki si bapak pun menyeberangi sungai sementara kakiku sendiri juga menyentuh air yang mengalir. Celana panjang telah aku singsingkan sehingga satu tanganku berpegangan pada kepala si bapak untuk menjaga keseimbanganku dan menyelamatkan tas yang aku bawa.
Ups......sejenak aku teringat masa kecilku ketika bapak kandungku sesekali memanggulku. Tapi itu saat aku masih balita, bayi dibawah lima tahun. Dan itu sudah lebih dari 23 tahun sebelumnya!
Satu keajaiban serasa kuraih manakala aku berhasil menyeberanginya. Dengan amat sangat, aku ucapkan terima kasih kepada si bapak yang sangat tulus mengetahui ketakutanku. Entah kapan aku bisa menjumpaimu lagi dan mengucapkan terima kasih kembali untuk peristiwa yang akan aku kenang ini.
Maka, kulanjutkan perjalananku ke arah timur, menuju Parangtritis. Dan, sudah cukup sore aku sampai di sana. Tapi, aku terlanjur capai. Maka, aku duduk dan mengambil catatan- catatan di tasku. Catatan apalagi jika bukan catatan curahan hatiku mengenai Raka, laki- laki yang telah membuatku merasa jatuh dan terbangun dalam cinta itu?
Yup, kenapa aku memilih pantai selatan ini, mungkin juga bukan sesuatu yang tiba- tiba. Dalam bawah sadarku, Parangtritis memang menjadi tempat yang sangat bersejarah bagi perjalanan cintaku dengannya. Di sanalah benih- benih cinta itu muncul dan bertumbuh. Maka, di pantai ini pulalah ingin kutuntaskan semua problema yang menyelumuti perjalanan cinta di garis akhirnya ini.
Catatan- catatan kecil itu pun aku buka dan baca kembali. Kupuaskan untuk menyelami kembali perasaan itu agar ku bisa merasa mantap untuk membuangnya. Lalu, kurelakan kertas- kertas itu kusobek, dan......kubuat prosesi larung, menghanyutkan kertas- kertas itu agar menuju ke laut. Kupersembahkan untuk penghuni laut selatan. Jika memang Nyi Rara Kidul memang ada, semoga persembahan kertas- kertas bertahtakan perasaan cintaku ke Raka ini dapat diterima. Bukan uba rampe sebagaimana biasanya orang melakukan prosesi labuhan dalam tradisi Jawa sebagai ungkapan rasa syukur dan permohonan berkah kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar senantiasa diberi kemudahan juga keselamatan. Persembahan sobekan- sobekan ini saja yang bisa aku berikan sebagai permohonan berkah kepada Tuhan dan segenap isi alam raya ini, disertai harapan agar aku diberi kemudahan untuk melepaskan cinta ini.
Dan, selesailah prosesi ini. Tapi, tahukah kamu apa yang terjadi kemudian? Aku yang sok tahu mengenai pukul berapa bus umum terakhir dari Parangtritis menuju kota Jogja, segera kutuju terminal dan jalan menuju kota Jogja. Dan ternyata, tak ada lagi bus yang bisa mengantarku ke kota Jogja yang jaraknya lebih dari 25 kilometer ini! “Duuh, Gusti.....lelakon apa maneh iki?” aku memekik dalam hati. Tetap bersabar menanti pun, tetap tak ada bus yang bisa kutumpangi. Maka, ku harus menerima nasib bahwa aku harus menghabiskan malamku di Parangtritis.
Dan tentu, dengan bekal yang apa adanya, tak mungkin aku menyewa satu kamar diantara berpuluh hotel melati yang ada di situ. Harus kucukupkan untuk menghabiskan malamku di pinggir pantai. Itu pun, masih ada sedikit gangguan dari seorang laki- laki paruh baya yang merasa janggal dengan keadaanku yang sendirian di situ. “Oupsss, jangan- jangan, dia menganggapku sebagai perek (wanita tuna susila) sebagaimana yang banyak ditemui dalam sisi buram pantai Parangtritis? Oh, my God!”
Dan tak mungkin, kan, aku akan lari terbirit- birit? Masih semalaman aku di sini untuk menunggu bus keesokan hari. Tak ada jalan lain untukku selain ku tetap mencoba eksis dalam ujian ini. Kuajak saja dia ngobrol hingga saat tertentu dimana aku tidak ingin lagi diganggu. Dengan hati yang bersih dan perilaku yang sopan, aku yakin aku bisa menyelamatkan diri semalaman ini di pesisir selatan ini. Dan, kupersembahkan sekalian segala pengalaman ini untuk segenap penghuni laut selatan, termasuk juga penguasa dan para penjaga pesisir selatan pulau Jawa ini. Inilah labuhan dan upaya larung yang aku lakukan untuk menghanyutkan segala penderitaan cintaku. Maya de Fitri
Catatan: tulisan ini aku ikutkan dalam audisi tulisan ttg crazymoments oleh mas wiwit