TEKNOLOGI KOREA DAN MITOLOGI ICARUS
disini.....akuingin menempatkan bbrp dokumentasi tulisan yg kebetulan ada di ketikan. Yup...aku coba posting naskah2x lama. Biar terlambat, tp gpp kan dibuat dokumentasi biar sedikit lebih rapi. Masalahnya, bbrp tulisanku pada nyebar2x sie.
Utk kali ini, aku posting esai yang dulu aku ikutkan lomba menulis esai ttg Korea, tapi ya gitu deeeeh....hehehe, gak nyangkuT!
Oiya...ada sebuah cerita ttg ini. Dulu....krn saking penginnya ikut...tpnyaitu hrs pake dosen pembimbing...lalu aku ke PA...tp PA-nya gak mau nandatanganin krn merasa gak bisa membimbing nulis kayak gitu. Eh...dimintain gitu aja gak mau, pdhal itu udah hrs segera dikirim. JAdi sebel2x ketawa deh aku kalo ingat itu. Trus...minta aja ke dosen yg mau ngebantu...makanya aku ke Pak Prodjo. Alhamdulillah, dosenku yg satu itu kooperatif bgt. So....nikmati tulisan ini yang sebenernya belum maksimal dibuat krn sangking terburu2xnya.
TEKNOLOGI KOREA DAN MITOLOGI ICARUS
Oleh: Maya Fitrianingsih*
Perang Korea pada tahun 1950-1953 telah meluluhlantakkan kawasan di semenanjung Korea itu. Penyelesaian hanya dapat diperoleh dengan jalan gencatan senjata. Ketegangan pun berlangsung terus-menerus dan meninggalkan luka mendalam bagi kedua negara. Bahkan, hingga lima dasa warsa kemudian, sesekali luka yang diwariskan antargenerasi itu masih meletupkan api perang. Untungnya, hal itu tak membuat mereka terlena untuk menekuri perang saudara sehingga membuatnya lupa untuk berusaha membangun bangsa. Dengan lintasan terjal seperti itu, dibarengi kelelahan akibat perang saudara serta menebalnya semangat perdamaian, satu keajaiban muncul. Ada geliat bangun yang membawa tekad untuk bangkit dari sekadar menikmati mimpi buruk akibat perang.
Bayangkan! Dalam perjalanan sejarahnya, Korea merupakan negara yang miskin sumber daya alam. Kondisi Korea sepuluh tahun selepas perang, dalam hal penguasaan teknologi, hampir sama dengan bangsa Indonesia. Namun, empat puluh tahun selepas perang, kesenjangan menganga begitu lebar. Produk-produk hasil teknologi Korea marambah dan lekat berdiri di pasar Indonesia. Tidak saja di kawasan Asia, tapi juga mulai menyusup ke pasar global.
Keajaiban ini bukanlah sesuatu yang datang dalam sekejap. Mereka tahu bahwa manusia, beserta otak yang dimilikinya, merupakan investasi yang paling menjanjikan bagi perubahan di masa yang akan datang. Berbekal pemahaman ini, pilihan dan strategi untuk mengembangkan tradisi keilmuan pun dilakukan. Wajib belajar diberlakukan dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, sementara tradisi keilmuan terus ditumbuh-kembangkan. Mereka tak ragu-ragu menanam investasi besar-besaran pada sektor pendidikan.
Hasilnya dapat dilihat pada masa akhir abad ke-20. Korea mampu menjadikan dirinya sebagai raksasa di kawasan Asia. Kekuatan “macan asia” ini menempel ketat negara-negara maju, termasuk Jepang dan Tiongkok yang mengapitnya. Tentu saja ini bukan keajaiban yang datang dengan tiba-tiba.
Satu resep dapat kita liat dari apa yang dilakukan Samsung, merk dagang yang tetap eksis ketika pengusaha dan konglomerat Korea yang lain (chaebol) kelimpungan pada krisis ekonomi yang sempat melanda Korea pada tahun 1997. Pilihan strategi yang dipakai Samsung sejak awal pertumbuhannya, pada tahun 1970, adalah memasuki pasar barang kebutuhan rumah tangga. Implementasi dari skenario itu, dilakukan dengan upaya industrialisasi. Diawali dengan riset untuk memproduksi barang-barang yang dianggap sebagai “teknologi ketinggalan zaman” namun pada perkembangannya upaya itu diarahkan pada pengembangan teknologi modern sehingga produk-produk Samsung selalu up to date. Keunggulan kompetitifnya menjadi daya pikat untuk dapat saling kejar dengan pemain lain di kelasnya.
Hal senada juga dilakukan oleh pemerintah Korea. Orientasi pengembangan pendidikan telah dilakukan sejak awal. Komitmen untuk menyisihkan hampir 23 persen anggaran belanja negara telah dilakukan untuk sektor pendidikan. Pemerintah membebaskan rakyatnya dari semua biaya pendidikan dari SD sampai SLTA. Percepatan kemajuannya, dilakukan dengan membuat program Brain Korea 21 untuk membangun unit unggulan riset di institusi perguruan tingginya. Bandingkan kondisi ini dengan di Indonesia! Upaya proporsi ideal 20 persen untuk anggaran pendidikan saja diperkirakan baru dapat dilakukan pada tahun 2019, sementara pendidikan murah lebih banyak sekadar menjadi komoditas politik saat kampanye pemilu daripada orientasi untuk segera direalisasikan.
Faktor Psiko-Sosial dan Kultural
Sebagaimana pernah diungkapkan oleh seorang guru besar ITB, ada faktor psiko-sosial dan kultural yang dipegang teguh oleh bangsa Korea sehingga mereka dapat melesat jauh meninggalkan negara-negara tetangga yang tadinya berada pada garis start yang sama.
Sangat beralasan jika faktor psiko-sosial dan kultural ini harus diperhitungkan. Faktor ini menjadi landasan yang kuat bagi pengembangan selanjutnya, ke arah mana pun perubahan itu akan dituju. Tanpa didukung kedua faktor tersebut, tak mungkin sebuah perubahan dapat dilakukan, apalagi untuk membangun transformasi teknologi. Ketika strategi pengembangan teknologi ini dijalankan dengan kopling pada strategi industri maka muncullah produk-produk industri yang kompetitif dan kuat di pasar perdagangan, seperti strategi Korea yang secara signifikan mampu mengurangi keterikatan dana dari pemerintah. Terbukti, misalnya pada anggaran riset mereka tahun 1999 yang sebesar 10 milyar USD atau sekitar 2,5 persen dari produk domestik bruto (PDB) itu, sebanyak 80 persennya dikeluarkan dari kantung industri swasta. Arah utama riset Korea terutama pada pengembangan (sebanyak 61 persen). Untuk riset dasar hanya dikeluarkan dana sebanyak 14 persen, yang terutama diambil dari anggaran pemerintah. Budaya kerja keras yang tertanam sebagai karakter mereka sebagai manusia, berpengaruh terhadap sistem dan struktur yang mereka bangun.
Dari pengembangan teknologi ini, Korea mampu menyejajarkan dirinya dengan negara-negara maju di dunia sehingga ia tak perlu mendongak ketika berhadapan dengan bangsa lain di dunia. Tak heran bila ia mampu menjadi tuan rumah bagi perhelatan-perhelatan prestisius tingkat dunia sekelas olimpiade ataupun piala dunia. Apalagi “sekadar” olimpiade fisika tingkat dunia! Mereka (Korea Selatan pada khususnya) telah menunjukkan bahwa bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengangkat harkatnya dari negara miskin puluhan tahun silam menjadi negara kaya saat ini.
Disamping membangun bangsanya hingga menjadi negara maju, Korea Selatan sebenarnya masih berjuang untuk memperbaiki hubungannya dengan Korea Utara, sebagai kelanjutan dari rencana reunifikasi mereka. Berbagai upaya dilakukan dalam menindaklanjuti kesepakatan “Kebijakan Matahari Terbit” yang pernah dicanangkan. Sementara citra yang melekat pada Korea Utara, meski mereka dinilai cukup miskin namun Korea Utara pun tak kalah teknologinya dari Korea Selatan. Harus diakui, meski Korea Selatan berhasil mengekstrak 0,2 gram uranium pada tahun 2000, namun teknologi nuklir pun mendapatkan prioritas khusus bagi Korea Utara. Kasus ini pulalah yang selalu membuat Korea Utara bersitegang tidak saja dengan saudaranya di semenanjung Korea itu, namun juga dengan barat. Terlebih dengan Amerika Serikat yang selalu “berlagak layaknya polisi dunia”. Ditengarai telah terjadi perdagangan teknologi senjata pemusnah massal antara Pakistan dan Korea Utara sejak tahun 1998. Korea Utara memasok teknologi nodong, sebuah rudal balistik ke Pakistan, dan sebagai imbal baliknya Islamabad memberikan gas dan teknologi pengembangan uranium untuk membuat bom nuklir kepada Korea Utara. Pada tahun 2000 pula, Korea Utara menegaskan bahwa ideologi, persenjataan, ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan tiga pilar penting untuk membangun negara yang kuat sehingga aspek-aspek tersebut akan mendapatkan perhatian yang cukup besar. Tak heran apabila GW Bush, presiden negeri Paman Sam itu, mengkategorikan Korut dalam axis of evil, bersama-sama dengan Irak dan Iran sebagai negara-negara yang mendukung para teroris dan mengembangkan serta mengekspor senjata pemusnah massal.
Penguasaan teknologi nuklir, sebagai satu teknologi yang prestisius, sebenarnya mampu dikembangkan oleh kedua negara di semenanjung Korea ini, mendahului negara-negara lain di dunia. Namun, ada aturan-aturan yang musti ditaati sebagai kesepakatan antar sesama penghuni komunitas dunia. Jangan sampai terjadi Icarus syndrome sebagaimana tercatat dalam mitologi Yunani, ketika pemuda Icarus dari Pulau Kreta terbang bersama sang ayah, Daedalus. Karena Icarus terbang terlalu tinggi dan mengabaikan peringatan ayahnya, sayap Icarus yang terbuat dari lilin akhirnya meleleh tersengat panas matahari. Icarus akhirnya jatuh dan mati.
Jangan sampai Korea menjadi Icarus yang harus mati karena kemajuan teknologinya yang dimanfaatkan dengan cara yang salah. Alih-alih kemanfaatan bisa diraih, sementara rencana perdamaian dalam cita-cita reunifikasi pun tak kunjung terlaksana. Aspek-aspek psiko-sosial dan kultural yang telah menjadi cirri khas bangsa Asia hendaklah tetap menjadi pedoman sebagaimana penerapannya yang terbukti digunakan pada upaya tansformasi/ perubahan di bidang-bidang lain.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home