PENCARIAN JATI DIRI SEORANG PEREMPUAN
Judul: Perempuan Badai
Penulis: Mustofa W. Hasyim
Penerbit: P-Idea, Yogyakarta
Cetakan: I, 2006
Tebal: viii + 180 halaman
Wacana gender dan feminisme memang mulai pikuk dalam masa
peralihan milenium ini. Tema perempuan terus digali lebih
dalam agar mencapai titik temmu dengan prinsip bahwa
laki-laki dan perempuan tidak boleh menindas satru sama
lain.
Zaman terus berubah. Jika menjadi puritan untuk menentang
arus, perempuan dianggap sebagai perempuan batu dan siap
menindas keinginan dan kemauannya sendiri. Jika mengikuti
arus, perempuan haarus siap menghadapi gelombang besar
patriarki. Lebih jauh, perempuan musti siap dicap sebagai
pemberontak yang kehilangan identitas fitrahnya sebagai
perempuan. Di sinilah dilema itu menyajikan beragam
kemungkinan dan pilihan bagi perempaun.
Dalam ranah pencarian dan upaya pengambilan keputusan
inilah, Nurjanah berada. Sebagaimana dilukiskan dalam
novel Perempuan Badai karya Mustofa W Hasyim ini, tokoh
Nurjanah sebagai seorang dosen muda ini menyandang nilai
lebih kehidupan sosialnya. Cantik, punya karir intelektual
yang lumayan dan kehidupan rumah tangga yang menyenangkan.
Belum hadirnya seorang anak tak menjadi persoalan yang
penting bagi Nurjanah dan Anwar, suaminya yang juga
berprofesi sebagai dosen. Toh Nurjanah merasa terganggu
ketika kerap kali ditanya mengenai anak karena orang
umumnya memandang seolah-olah merupakan sesuatu yang
ganjil jika dalam perkawinan belum ada anak sehingga
kebahagiaan tidak akan lengkap karenanya.
Sedikit demi sedikit, Nurjanah mulai berubah setelah
mengenal Narsih, seorang tokoh feminisme yang menularkan
paham padanya tentang hak seseorang atas diri sendiri.
Nurjanah seakan tersadarkan bahwa ia telah kehilangan
kediriannya. Perkawinan telah merebut diri, tubuh dan
hidupnya. Sebagai perempuan, seseorang harus otonom,
memiliki diri sendiri dan bukannya terkungkung oleh
identitas-identitas lain yang dikonstruksikan oleh
lingkungan di luar dirinya.
Anwar yang memandang bahwa paham seperti ini adalah konsep
yang banyak diwacanakan namun minim pengikut, pun
merasakan ketersentakan sesaat manakala mengetahui
Nurjanah mulai berubah ke arah sana. Ketika disadari,
dirasakan sudah terlambat untuk menghambatnya. Dari
sanalah, pelarian dilakukan oleh Anwar.
Yup, pilihan pragmatis sebagai kontra aksinya untuk
menindas rasa kecewa dan sakit hati. Anwar menjalin
hubungan terlarang dengan tokoh Bulik, perempuan paruh
baya tukang cuci dan setrika di rumah mereka. Semenatar di
sisi lain, Nurjanah pun diam-diam menjalin cinta yang
lain, cinta sejenis dengan Narsih.
Ketegangan justru muncul manakala dengan dalih kebebasan
dan otonomisasi diri, Nurjanah mulai menanggalkan
kerudung. Baginya, beragama itu dalam hati, mengakui Tuhan
dan menyembahnya serta melayani sesama. Doa bukanlah
kewajiban tetapi kebutuhan. Jika butuh doa, ya berdoa.
Jika tidak, ya untuk apa berdoa.
Dalam perjalan berikutnya, Nurjanah ke Amerika sementara
Anwar ke Perancis. Pasangan ini masing-masing melanjutkan
program doktornya, tentu saja sekalian untuk mencari jati
diri tanpa tahu bagaimana masa depan kehidupan rumah
tangga mereka.
Secara lengkap, novel berukuran fisik 12x18 cm ini memang
menyajikan berbagai harapan dan wacana mengenai perempuan.
Bagaimana konsep “mrungsungi” sebagai proses
pencarian jati diri membuka banyak kemungkinan dan
harapan. Semenatra wacana kebebasan dan daya tarik dunia
begitu memikat dan saling menawarkan diri untuk dimasuki
dan dijamahi. Apakah akan merunduk sembari mendamba mata
air Tuhan di gurun gersang ataukah meledak-ledak yang
mengesankan gerak dinamis dan bebas.
Dengan muatan novel yang acapkali menyuguhkan denyar
romansa persintaan dalam episode-episodenya, hubungan
anntarmanusia yang dilakoni tokoh Nurjanah merupakan
poilihan nonkonvensional yang rentan akan risiko,
sebagaimana badai yang tetap akan mengikuti pusarannya.
Sementara muaranya, tetap dibuka oleh pengarang agar
pembaca bebas untuk berpihak dan membuat ending sendiri
dari pencarian jati diri tentang perempuan, oleh perempuan
itu sendiri maupun oleh laki-laki sebagai partner
perempuan. ***
Catatan: buku ini merupakan buku yg saya terima sebagai hadiah dr Radio Eltira
1 Comments:
maya deblog...arif talang, aku bisa angkat bicara hebat deh
Post a Comment
<< Home