mayadefitri

Wednesday, December 22, 2010

PETASAN, MASIH SAJA MEWARNAI RAMADAN

Seorang anak dengan bersemangat menceritakan bahwa dirinya baru saja menyulut mercon leo. Apa itu mercon leo? Ditanya demikian, dengan bersemangat pula ia menggambarkan bahwa petasan yang disebutnya mercon leo itu dibuat dengan kertas yang digulung- gulung sehingga membentuk selongsong untuk kemudian diisi obat mercon yang disebut karbit.
Lebih lanjut ia menjelaskan, setelah gulungan kertas diisi dengan obat karbit, kreasi petasan tersebut ditutup dengan meneteskan lilin sebagai lem sehingga kertas- kertas tadi akan terlihat rapi. Jangan lupa, harus ada lilitan kertas yang sedikit ditarik keluar sebagai pemicu agar ketika dibakar maka apinya akan merembet dan membakar obat mercon yang ada di dalam. Jika pembuatannya berhasil dengan sempurna, petasan akan menimbulkan ledakan. Besar kecilnya suara tergantung dari banyaknya obat serta kepiawaian dalam membentuk petasan.
Demikian bersemangatnya si anak bercerita, tentu sedemikian bersemangat pula ketika ia bermain- main dengan petasannya. Bahkan, ia sendiri mengaku kesakitan ketika petasan itu mengenai tangan. Toh, ia katakan tangan yang sempat sedikit melepuh itu sudah akan sembuh. Seakan ia ingin mendahului sebuah nasihat yang akan diterimanya, sekadar untuk menghilangkan rasa khawatir bagi orang yang diajaknya bercerita.
Entah dari mana anak berusia sepuluh tahun ini mendapatkan ketrampilan membuat petasan. Memang, dari sekawanan anak- anak, tak selamanya mereka mampu membeli petasan. Maka, ketrampilan membuat petasan ini menjadi bentuk kreativitas yang dirasakan pas di tengah keterbatasannya dalam memenuhi keinginan bermain petasan.
Berbeda dengan anak yang mempunyai uang saku berlebih. Tak masalah baginya mengeluarkan uang untuk membeli petasan. Hal ini didukung dengan kenyataan mudahnya mereka menjangkau penjual petasan. Meski sudah dilarang, kita masih dapat menjumpai para penjual petasan yang menggelar dagangannya di jalan. Tinggal menyerahkan uang, maka penjual akan menukarnya dengan petasan sesuai keinginan anak- anak ini. Tak heran jika suara petasan dan anak- anak yang menyulutnya pun masih sering kita temui.
Dari sini kita dapat menengok ulang bahwa petasan adalah sebuah ironi. Polisi sering mengancam para pembuat dan penjual dengan UU Darurat No 12 Tahun 1951 tentang bahan peledak, utamanya tentang penguasaan/pemilikan dan penjualan bahan peledak berbahaya di tempat umum tanpa izin. Bahkan ancaman hukuman maksimalnya bisa mencapai 20 tahun penjara.
Namun ironisnya, penjual di pinggir jalan pun banyak. Boleh jadi dalam gelaran dagangannya para penjual menonjolkan kembang api sebagai dagangan utama karena kembang api memang tidak dilarang. Namun penjual musiman ini acap kali menyediakan petasan juga diantara barang dagangannya. Seakan mereka melupakan larangan petasan. Toh, satu-dua contoh korban petasan pun masih dapat kita temui di media.
Suyono salah satunya. Dua hari menjelang Ramadhan, lelaki 45 tahun asal Bangkalan Madura itu membuat kaget warga ketika melintas di jalan. Dia mengendarai sepeda motornya untuk mengangkut dua karung petasan yang dipersiapkannya untuk dijual pada Ramadhan ini. Naas, sebelum niat itu terlaksana, ia harus merelakan motornya terbakar. Cara mengangkut yang Suyono lakukan terlampau rendah hingga gesekan dengan aspal menyebabkan timbulnya api. Terbakarlah motor itu hingga sekadar menyisakan kerangka saja. Untung Suyono segera menyadarinya sehingga nyawanya terselamatkan. Peristiwa ini seolah kembali mengingatkan bahwa petasan bisa mengancam keselamatan orang.
Berdagang petasan adalah tindakan yang tak dapat dibenarkan, apalagi memproduksinya untuk diperjual-belikan. Baru- baru ini kita mendengar adanya operasi penggerebekan pabrik petasan di kabupaten Magelang (21/8). Hasilnya, disita seribu selongsong petasan siap isi dan 2 kg bahan peledak petasan. Tentu ini hanyalah sebuah fenomena gunung es diantara kenyataan banyaknya petasan yang bisa diperoleh di pasaran dengan relatif mudah.
Tak heran jika operasi penertiban pedagang petasan musiman ini kerap kali kita dengar di media. Diantaranya, penangkapan yang dilakukan aparat dari Poltabes Ygyakarta di Jalan Magelang (6/10) yang berhasil menyita 750 ribu butir petasan yang hendak disetorkan kepada pemesan. Penertiban semacam ini juga berlangsung di daerah- daerah lain di Indonesia. Toh, petasan masih saja ada dan relatif mudah didapatkan.
Jika beberapa tahun yang lalu ada anggapan bahwa Ramadan identik dengan petasan, kini anggapan tersebut mulai berkurang, meski tetap saja ada. Apalagi pada hari- hari tertentu saat anak- anak libur sekolah. Kita patut merasa beruntung, dengan dilarangnya petasan beberapa tahun terakhir, secara umum frekuensi penyulutan petasan menjadi berkurang. Berita mengenai korban akibat petasan pun tidak seramai beberaa tahun yang lalu. Boleh jadi ini merupakan bukti kesadaran masyarakat untuk mengesampingkan keinginan menyulut petasan yang harus diperolehnya dengan uang.
Awal Ramadan lalu, sebuah peringatan disampaikan oleh Ustadz Abdul Karim, pengasuh salah satu pondok pesantren di Lampung. Diingatkannya bahwa membeli petasan merupakan perilaku konsumtif yang membutuhkan antisipasi. Sebab, dalam tuturannya, petasan menjadikan anak-anak tidak produktif dan tidak kreatif.
"Efek pembelian dan penggunaan petasan sangat tidak baik bagi anak-anak karena membuat mereka tidak hemat dalam menggunakan uang sehingga membuat mereka terdoktrin untuk hura-hura. Meski setiap orang dalam hal menggunakan petasan mempunyai hak asasi, namun kebebasan seseorang itu dibatasi orang lain dan lingkungan. Meski setiap orang mempunyai hak asasi namun ada batasnya, tidak bisa menyalakan petasan semaunya sendiri, ada tetangga dan lingkungan yang harus diindahkan," papar Abdul Karim.
Di lain pihak, ini merupakan hasil dari sosialisasi dan upaya penertiban yang dilakukan oleh aparat sehingga memangkas jalur produksi dan pendistribusian petasan. Dengan meminimalisir jalur perdagangan petasan dari awal, kemungkinan sampainya petasan hingga ke tangan konsumen pun diperkecil kemungkinannya.
Dengan menurunnya konsumsi petasan, diharapkan ibadah masyarakat dalam bulan suci Ramadan semakin khusyuk dan tidak terganggu. Bunyi petasan sudah pasti mengganggu ketertiban umum karena menimbulkan kebisingan akibat bunyi petasan yang mengganggu lingkungan. Belum lagi bahaya yang mengancam apabila petasan mengenai diri penyulut, orang lain maupun barang- barang yang ada di sekitarnya.
Hal negatif lain yang ditinggalkan petasan adalah sampah sisa petasan yang akan mengotori lingkungan. Jarang sekali kita temui penyulut petasan yang dengan sukarela membersihkan sampah sisa pembakaran petasannya, bukan?
Hal kondusif semacam ini hendaknya dilakukan secara berkesinambungan, tidak hanya di awal- awal Ramadan saja. Dengan demikian, diharapkan para produsen dan pengecer tidak memanfaatkan kelengahan petugas yang tampaknya mengendor dalam pengawasannya pada peredaran petasan selama pertengahan Ramadhan. Jangan sampai mereka menyusun kekuatan untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar pada akhir masa Ramadan dan menjelang hari raya Idul Fitri.  *dibuat saat Ramadhan 2010 yll

0 Comments:

Post a Comment

<< Home