FIRASAT, sebuah cerpen
Pagi ini, tidurku kembali terjaga dalam kelinglungan. Sebuah mimpi membabar kisah yang memaksaku tercenung sesaat. Aku meninggalkan rumah mencari sebuah tempat kost yang kiranya cocok untuk hati dan kantongku. Sebagai tenaga honorer yang masih baru, entah jadi honorer apa, nampaknya mimpiku tak memberi keterangan lebih rinci. Yang jelas penghasilanku terlalu pas- pasan untuk menyewa tempat tinggal. Namun semua harus kulakukan, entah untuk apa, alasan yang tidak secara jelas diceritakan dalam mimpi.
Maka aku menyusuri kawasan di pinggir sebuah perguruan tinggi. Tentu banyak tempat kost di sana. Ku cari yang bertarif agak miring, tentu dengan konsekuensi tempat kurang memadai. Setelah mencari kian kemari, akhirnya kutemukan pilihan yang lebih murah. Kata bapak kost, tempatnya bukan di samping rumah beliau, tapi di dekat kebun miliknya. Beberapa ratus meter harus berjalan, akhirnya ku ditunjukkan ruang yang dimaksud.
Sekejap ku dapat melihat petak rumah yang terdiri dari satu kamar utama. Entah ada kamar mandi atau tidak, entah ada dapur atau tidak. Beberapa meter di pojok belakang rumah, ada seekor sapi ditambatkan. Tanpa kandang. Kotorannya menumpuk demikian saja. Uh…..kelihatannya basah. Aku dapat membayangkan bagaimana telethong itu akan merembet airnya kemana- mana saat hujan tiba. Apalagi musim hujan seperti sekarang. Tentu kemarin dan kemarinnya lagi kotoran itu telah kena air hujan.
Kulihat lebih jauh, di sebelah sana, secara berjejer juga masih ada beberapa sapi dalam posisi yang sama. Pun masih juga petak rumah kecil di pojokannya. Seakan rumah- rumah itu adalah rumah bagi seorang penunggu yang merawat masing- masing sapi itu.
Menerima kost ini, berarti aku harus menghilangkan bayangan bahwa aku akan tinggal bersama lalat- lalat yang kemungkinan akan berkeliaran dari tumpukan kotoran sapi di pojok rumah kost ini. Kuteliti kembali. Hmmm, kurasa di dalam rumah kost ini tak banyak juga lalat seperti yang kutakutkan.
Membayangkannya lebih jauh, aku tak ingin terlalu memikirkan. Yang harus aku pikirkan, seberapa sisa gaji yang dapat aku sisihkan dari honor mengajarku. Sekiranya, sisa honor akan cukup kugunakan untuk membayar kost di sini. Jika mencari yang sedikit lebih layak, aku sendiri tak percaya untuk dapat membayarnya tanpa tersengal- sengal.
Hampir saja aku mengiyakan kepada pemilik kost untuk tinggal di sini. Aku tergeragap bangun. Kesadaranku sedikit demi sedikit mulai pulih. Memang kisah menengok rumah kost di dekat tambatan sapi itu tidaklah nyata, tetapi setting yang melatarinya hampir sama. Tak mampu aku mengelak pada pertanyaan mengapa bunga tidurku harus mirip dengan yang ada di pikiranku selama ini.
Aku ingin pergi dari rumahku. Lebih tepatnya, ingin pergi dari rumah rang tuaku ini. Sesak yang selama ini kurasakan bisa aku tahan, tapi tampaknya aku musti bertindak agar tidak terus- terusan ku memendam bara dalam diriku.
Dua tahun yang lalu, kakak keduaku meninggalkan rumah ini dengan sebuah paksaan. Diusir.
Ini seperti cerita kuno yang sudah jarang ditemui. Mungkin hanya ada dalam cerita- cerita masa lalu mengenai seorang anak yang diusir oleh orang tuanya karena si anak telah membuat aib yang terlalu membuat orang tua murka. Atau, karena si anak kawin lari dan memilih pasangan hidup yang tak direstui orang tua. Kalau tidak, boleh jadi karena si anak terlalu durhaka hingga orang tua mengusir dan mengutuk. Sedikit mirip dengan kutukan bagi Malin Kundang.
Tapi ini bukan cerita klasik masa lalu, meskipun tak lepas dari kepercayaan orang- orang jaman dulu yang percaya dengan dukun. Ayahku kena pelet. Begitu kata orang- orang.
Aku sendiri tak terlalu percaya tentang pelet, namun orang- orang di kampung ini masih mempercayainya. Bahkan, pamanku sendiri, dalam sikap diamnya, ia pernah bercerita kepadaku. Paman mendatangi seorang dukun yang tinggal di pinggiran pantai selatan. Sang dukun mengatakan alasan kenapa kakak laki- laki paman, yang selama 25 tahun menjadi rang tuaku itu, telah berubah sikap dan perilakunya. Ya, kata si dukun, ayahku telah dipelet. Meski tak terang- terangan menyebut siapa dalang yang menanam guna- guna itu, tapi menyiratkan bahwa pelakunya adalah saudara angkat kami.
Sudah begitu, beberapa bulan yang lalu, insiden pengusiran itu kembali terjadi. Kali ini terjadi pada kakak pertamaku. Entah karena alasan apa, aku sendiri malas untuk membahas ataupun memikirkannya. Mungkin ayah sedang gelap mata.
Yang harus aku waspadai, kini tinggal menunggu giliranku jika pengusiran itu akan terjadi pada semua anak kandung ayah.
“Savitri, apa saja yang kau lakukan di rumah? Manusia tak berguna. pergi kau!” Kalimat itu seakan- akan menggantung dan akan terjadi pada aku, anak kandung yang aling bontot.
Sebelum semua itu terjadi, aku harus berjaga- jaga. Ya, aku memang akan mencari tempat tinggal untuk pergi dari rumah ini. Aku selalu memikirkan itu, meski kepalaku serasa pusing saja jika mengingat hal itu. Aku sadar kemampuan. Apakah aku akan menemui kejadian serupa dengan mimpiku tadi malam?
Aku lalu pergi, selagi hari masih pagi. Bukan untuk apa- apa. Sementara ini aku hanya ingin menghirup udara segar. Aku ingin jalan- jalan dan lari kecil. Hitung- hitung sebagai olah raga ringan sembari menyegarkan pernafasan dan pikiran.
Aku mengitari kampung, lalu ke arah jalan raya, agak jauh. Kupikir.jalan yang lebih halus dan rata akan lebih baik daripada aku tersandung kerikil- kerikil di jalanan sini. Jika aku melepas sandal, bukannya dapat sehat sebagaimana pijat akupunktur, tapi hanya akan kesakitan yang kurasakan di kakiku.
Apa yang terjadi dalam mimpi tadi terus membuntuti. Sebagaimana kini aku ingin melarikan diri dari rumah, meskipun hanya sementara. Langkah- langkah kecil di kaki ini kukira sudah cukup lumayan untuk meminimalisir keinginan minggat dari rumah.
Ya, terlalu kasarkah jika memang intinya aku ingin minggat? Apa aku akan menjadi anak durhaka yang menghilang dari hadapan rang tua di usianya yang menginjak senja? Mana ucapan terima kasih dan bakti seorang anak yang dibesarkan selama puluhan tahun oleh ayah dan ibunya?
Ah…….Aku berlari kencang dan ingin menghambur menuju gerbang lain yang lebih nyaman dari dunia ini. Terus berlari dan berlari, tak hirau dengan jalanan yang mulai dilewati mereka yang mulai berangkat pasar.
Seakan kurasa sesuatu memburuku. Aku merasa harus segera pergi, secepat apa yang dapat aku lakukan. Secepatnya. Semakin kencang kularikan tubuhku, seperti kesetanan aku tak peduli untuk berteriak. Tak kusadari dimana aku berlari. Aku berteriak sekencang- kencangnya. Seperti hendak melompat, tapi tak bisa. Tak ada waktu untukku sadar dengan apa yang terjadi. Sesuatu hampir tercerabut. Semua terlambat untuk aku sadari. Dan aku tak ingat apa yang terjadi, hingga kurasakan tubuh ini berada dalam sebuah mobil yang juga berlari kencang. Disertai suara bising meminta perhatian supaya didahulukan untuk melenggang mencari jalan. pvroom, 18 des 2010
0 Comments:
Post a Comment
<< Home