ARIE
Entah berapa Arie telah aku kenal. Namun Arie yang satu ini aku yakin bukan sebenar- benarnya Arie. Biarlah namanya kucatat sendiri dalam memoriku.
Semestinya sudah lama aku mengenalnya, tapi entah kenapa baru intens dan didekatkan beberapa bulan ini. Ini sebuah de javu. Aku seperti telah lama mengenalnya. Mulanya seperti “Heri Suheri”, kakak yang sempat memanjakanku seolah aku ini anak kecil. Maklumlah, saat itu aku sedang sweet seventeen. Lalu, ku merasa ia seperti Kak Marten (Marten Rosevelt Tendean) yang cara ketawanya selalu berkesan dalam ingatanku. Tawa yang seperti bulir jagung jatuh ke bumi dan tawa itu akan menggantikan peran air saat hujan. Ups, ngeri bukan?
Yup, Kak Marten yang suka membalas kiriman suratku berlembar- lembar, memakai tinta boxy, dengan tulisan tangan yang miring sebagaimana orang- orang tua jaman dulu. (Ohoi….ini sudah mau hari Natal, tentu kakakku itu sedang berbahagia. Lama sudah aku tak pernah tahu kabarnya. Kabar terakhir duluuuu sie kudengar ia menjadi asisten dosen di almamaternya)
Setelah kembali ku sadari bahwa Arie bukan juga pas kupersamakan dengan Kak Marten, semakin hari kurasakan ia seperti Raka, Raka-ku yang kini “hilang” bersama jalan yang dipilihnya untuk meninggalkanku. Sebagaimana Raka, Arie mengorek dan asik dengan ketakjubannya yang sementara. Ia yang selalu mendengar segala cerita dan keluh kesahku, dengan komentar sekadarnya, selalu bisa menciptakan suasana nyaman untukku. Dia yang tak banyak cakap, namun perhatiannya kurasakan sangat dalam. Jarang sekali menghakimiku meski bukan berarti serba meng-iya-kan tindakanku. Begitu memahamiku.
Ya, keduanya pintar mengambil hati. Sebagaimana Raka yang aku ingat sangat fasih dalam hal kiat- menaklukkan hati perempuan. Ditambah lagi dengan tipologinya saat menanam ambisi, pelan tapi pasti tentu akan dikejar. Sedikit banyak ini kubaca dari seorang Arie. Pendekatan personal, sesuatu yang tak pernah luput dari perhatiannya.
Kemiripan ini kentara kurasakan ketika Arie melototkan ucapannya (bukan memelototkan mata, namun memelototkan ucapannya). Penekanan yang coba dia sampaikan, bahwa aku seorang manusia dengan fisik sempurna, tentunya punya potensi untuk berhasil meraih keinginan dan cita- cita. Maya yang semestinya “bisa” dan bisa mengenyahkan halangan- halangan kesendiriannya.
“Maya, kamu itu wanita yang cantik, bla-bla-bla,” terasa ngiang ucapan itu hadir kembali saat Arie mengatakan,” Coba kamu perhatikan itu, resapkan,” sambil memelototkan bahwa aku bisa seperti mereka.
Sejurus dengan momen dengan Raka yang hampir genap lima tahun lalu itu. “Maya, bayangkan jika aku meninggalkanmu saat ini,” sebuah tatapan sayang menusukkan pengertian yang ingin ia hujam. Tepat di ulu hatiku hingga air mata langsung membanjir disertai senggukan yang melompat tinggi.
Dalam kebersamaan dengan Arie, kembali kudapatkan hantaman saat Arie mengatakan,” Kamu musti membiasakan diri dalam kesendirian.” Yup, meski kadar hantamannya lebih lunak, aku seperti hadir kembali dalam suasana bersama Raka.
“Puih, apa- apaan ini?,” aku membela dalam hati. Apa dia pikir selama ini aku menjadi makhluk lemah yang harus dipapah dalam kebersamaan? Hanya senyum sinis kutujukan pada diri sendiri saat dia sebutkan argumen yang menguatkan sinyalemennya.
Untung saja Arie segera memberikan sedikit paparan yang melunak dan kembali memberikan impresi pada kalimat berikutnya.
“Semua orang yang kita cintai bakalan pergi, cepat atau lambat,” jelasnya singkat.
Dus. Aku seperti mendengar kembali ungkapan Raka itu,” Maya, bayangkan jika aku meninggalkanmu saat ini!”
Kembali hanya tangis menyatu dalam senyum. Nyinyit.
Dalam bahasa lain, aku teringat lagu yang sempat mempesona pendengaranku, “Tak Ada yang Abadi” milik Peterpan. Dan aku selalu merindukan untuk mendengar kembali lagu itu.
Ya, sesuatu yang baru, sebagaimana sebuah mainan baru, tak ingin hati melepas dari genggaman. Erat. Seakan tak rela ia terjamah orang lain, minimal untuk saat ini. Satu kesadaran yang selalu diingatkan Arie,” Suatu saat kita tidak bisa seperti ini lagi.”
Yup, kau akan pergi, tapi biarlah kubangun sebuah prasasti dari kebersamaan saat ini.
Kamu yang senang menyimpan sebagian besar milikmu, yang hanya membagikan secuil untukku, sama seperti Raka-ku yang bersenyawa dalam sumsumku. Raka yang selalu menyelimutiku saat dini hari, sebelum datangnya cahaya matahari. Embun yang menetes merelakan diri lenyap saat kusambut hangatnya pagi. Yup, saat aku pertamakali jatuh cinta ada “Sebelum Cahaya” Letto yang menjadi momentum keterpisahanku dengan Raka.
Arie, kamu bukanlah Raka. Kamu bukanlah dia yang bersemayam sebagai kekasih hatiku. Kamu adalah adikku. Adikku yang manja, nakal dan menjadi penghibur kakakmu.
Tak banyak ukiran yang bisa aku pahat dari kebersamaan kita, tapi kamu menempatkan diri dalam ruang hatiku. Duduk manis di situ sambil tersenyum manis untukku.
Dengan kesadaran yang penuh, dalam kebersamaan ku selalu ingat bahwa segala sesuatu ada risikonya. Pun dengan aku dan kamu. Berbagi isi hati berisiko untuk kelihatan bodoh. Berbagi kuping berisiko terlibat. Meski jarak sengaja kamu bangun, tak apa. Aku akan selalu bahagia tatkala kamu mengekspresikan sebagai diri sendiri. Biarlah, selagi kamu mampu menikmati perjalanannya.
Banyak nama Arie yang aku kenal. Mulai dari Arie yang lugu- konvensinal- kemayu, Arie yang ayu kemuayu plus sok-sokan, Arie yang alim- humoris, Arie yang oportunis, Arie yang brengsek, ataukah Ari yang kecil mungil anak tetanggaku, dan seabreg Arie yang lain. Tapi ini adalah catatan tentang Arie adikku.
Terima kasih Arie. Aku sayang dan respect ke kamu. Satu harap, sebagaimana orang- orang istimewa dalam hidupku, aku berharap akan menjumpaimu datang memberi jabat tangan saat aku menikah kelak. (So sweet) Amiin.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home